Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH),

Mandulnya UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 (bag.1)

09.47 Ena Nurjanah 0 Comments




Belakangan ini, permasalahan anak tidak ada habis-habisnya. Baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku kekerasan/ kejahatan. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan/kekejaman para orang dewsasa. Anak korban pelecehan/ kekerasan seksual. Anak sebagai pelaku kekerasan. Anaksebagai  pelaku perbuatan pencabulan/pemerkosaan. Ada apa dengan anak-anak Indonesia?
            Rasa-rasanya ...negeri ini tidak kurang-kurangnya menunjukkan perhatian terhadap anak. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB  dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996, Indonesia juga sudah  membuat UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002.
            Tapi..apakah perhatian dalam bentuk tertulis saja  sudah cukup ??  Bagaimana  realisasi UU Perlindungan Anak itu? Sudahkah berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang itu? Siapakah yang menjadi pengawas untuk memastikan bahwa UU itu berjalan pada jalurnya?
            Sebagai aktivis/relawan yang selama ini mendampingi anak. Saya melihat banyak sekali terjadi ketidaksesuaian antara UU Perlindungan Anak dengan kenyataan terhadap perlindungan anak di Indonesia.
            Saya cenderung mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak ini mandul. Karena, hampir sebagian besar isi dari  Undang-Undang ini tidak  sungguh-sungguh untuk direalisasikan. Yang perlu mendapat perhatian kita juga, sejak disahkannya UU Perlindungan Anak tahun 2002 hingga saat ini belum pernah ada Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya  (ini adalah bunyi ayat  2 pasal 5 Bab III ‘Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara’ dari UUD 1945, yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”). Kasihan sekali anak-anak Indonesia. Belum punya tempat yang layak untuk menjadi prioritas dalam pembangunan negeri ini.
            Banyak hal yang membuat hati rasanya tercabik-cabik jika melihat hak-hak anak dengan begitu mudahnya dilanggar hampir oleh semua orang yang mengatakan dirinya pintar, berpendidikan, bermoral. Demi alasan yang dicari-cari untuk kepentingan orang dewasa, sekali lagi ‘demi kepentingan orang dewasa’ bukan kepentingan terbaik bagi anak.
            Kita bisa saksikan sendiri pelanggaran itu. Pelanggaran yang sangat besar dan massif seiring dengan begitu banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku (konteks anak sebagai pelaku pun sesungguhnya ia adalah korban dari kelalaian orang-orang dewasa).

 Yang paling mudah dan sangat kasat mata untuk dilihat oleh setiap orang adalah pelanggaran terhadap hak anak untuk dirahasiakan identitas dirinya ketika anak berada atau tersangkut masalah hukum.
Pasal 17 UU Perlindungan anak ayat (2) berbunyi “ Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Kemudian Pasal 64 ayat (2) point ‘g’ berbunyi “ Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui  Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Jelas sekali bunyi pasal tersebut dan tidak butuh penafsiran lagi. Namun dalam kenyataannya pasal ini sangat-sangat mandul, tidak ada artinya, tidak memberi dampak apapun bagi anak-anak yang berada dalam kondisi tersebut. Anak dibiarkan disorot habis-habisan diberbagai media. Ada yang wajahnya disamarkan ada juga yang dengan telanjang orang bisa tahu siapa anak itu. Kalaupun anak itu tidak diperlihatkan tetapi orangtuanya berbondong-bondong dikunjungi, dihadirkan ke media untuk berbicara di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Apakah dengan menghadirkan orangtua berarti anak tidak tertutupi identitasnya? Logika apa yang mengatakan anak dan orangtua tidak ada kaitannya. Namun pada kenyataanya semua itu  terus dan terus terjadi . Anak dibiarkan terlabelisasi sebagai korban kekerasan seksual. Anak dibiarkan dicap sebagai penjahat, pelaku kekerasan seksual ataupun pelaku kekerasan lainnya. Apakah pihak yang berlomba-lomba membuat berita itu tidak memikirkan kalau hal itu terjadi pada anak mereka?. Apakah mereka tidak berpikir bahwa anak-anak itu masih punya kehidupan yang panjang?. Bagaimana mereka menjalani hidupnya kelak dengan pelabelan yang melekat pada dirinya sepanjang hidupnya?
Padahal..dalam UU Perlindungan anak  jelas-jelas disebutkan dalam pasal 76 point (a) berbunyi : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertugas:.......dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi....sebenarnya ada yang diamanahkan dalam UU untuk menjadi pengawas. Tapi..lagi-lagi pengawasan ini tidak berjalan, KPAI tidak pernah menyatakan protes keras terhadap semua media yang menunjukkan wajah anak korban/pelaku kekerasan.  Termasuk tidak pernah ada teguran ke media ketika menghadirkan keluarga korban. Tidak pernah protes jika keluarga korban dihadirkan ke media. Tidak pernah protes ketika anak yang jadi korban pelecehan /kekerasan  seksual di wawancarai oleh para awak media. kenyataan malah anggota KPAI ikut hadir di media dan duduk satu forum dengan keluarga korban/pelaku kekerasan. Sangat sulit diterima akal  kalau pengawas malah bersikap sangat permisif terhadap  pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini bisa berdampak bahwa sesuatu yang harusnya dilarang menjadi  menjadi sesuatu yang normal. Sebuah kesalahan fatal dalam memperlakukan anak menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah. Kalau sudah begini, apakah UU nya yang salah? Sudah  tidak  relevan lagi dengan keumuman yang ada ?
Seharusnya kita mulai belajar dari negara-negara maju dalam memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).  Kita sering mendengar terjadi kekerasan seksual atau kekerasan penggunaan senjata baik menimpa pada anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku di negara-negara maju. Pernah kah kita melihat si korban atau si pelaku? Pernahkah kita lihat Korban, keluarga korban/pelaku yang di tanyai oleh wartawan? Pernah kah kita melihat rekonstruksi kekerasan itu di televisi. Kita tidak pernah tahu siapa korban dan siapa pelaku karena semua identitas sangat dirahasiakan demi kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana amanah dari Konvensi Hak Anak PBB.
Apa yang dituangkan dalam Undang-Undang tentunya sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang. Bukan hasil berpikir sesaat. Harusnya kita semua belajar untuk lebih menahan diri, terlebih bagi para  pekerja maupun aktivis perlindungan anak. Jangan menodai perjuangan kita terhadap anak. Kita tidak boleh tergoda dengan popularitas pemberitaan. Banyak cara yang lebih bijak untuk memberikan pelajaran bagi semua pihak, tanpa merugikan hak anak-anak. Jangan sampai para pekerja/ aktivis anak diibaratkan mencari popularitas di atas derita anak-anak.
Sadarkah kita semua. Apa sih manfaatnya mengeksploitasi identitas anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan ? Kecuali menaikan rating sebuah media/ stasiun televisi karena memenuhi hasrat manusia untuk selalu mau tahu urusan orang lain.
 Dengan adanya tayangan-tayangan yang vulgar mengenai kejadian kekerasan seksual atau kekerasan lainnya justru akan menambah pengetahuan tentang kekerasan pada anak. Karena,  apa yang selama ini tidak ada di benak anak-anak menjadikannya dengan mudah begitu saja hadir dengan menyaksikan beraneka tayangan kekerasan.
 Kemudian juga.. untuk apa anak harus ditanya-tanya oleh wartawan? Apa relevansinya dengan upaya 'pertimbangan yang terbaik bagi anak '? Kebaikan apa yang didapat anak? Sudah tertimpa masalah masih harus pula ditanya-tanyain oleh pihak yang tidak punya kepentingan apapun selain bisnis. Padahal jika cara nya tidak tepat, maka pada saat anak ditanya-tanya sama saja dengan menorehkan masalahnya semakin dalam didalam diri anak. 
Alasan untuk menjadi pelajaran dari berbagai kasus yang terjadi, rasanya terlalu dicari-cari. Hal ini karena yang terjadi justru malah peniruan-peniruan yang dengan mudah menginspirasi otak anak-anak. Padahal, masih banyak sekali  cara untuk mengambil pelajaran tanpa harus mengeksploitasi para ABH dan keluarganya. Kalau semua pihak menyadari betapa pentingnya masalah ini bagi anak-anak, saya yakin tidak ada yang tidak bisa untuk dilakukan. Kenyataan negara-negara maju mampu menjaga hak anak dari pemberitaan identitasnya di media, mengapa Indonesia  tidak ?.
Seharusnya anak menjadi  korban maupun pelaku hanya bisa ditanya oleh pihak Unit PPA dari kepolisian demi sebuah penyidikan dan penuntasan kasusnya, yang kedua oleh psikolog atau pendamping ahli  yang memang berkepentingan untuk memulihkan kondisi anak. Selebihnya anak harus dikembalikan pada kondisi semula, di hilangkan traumanya,  jiwa kanak-kanaknya jangan sampai hilang karena peristiwa yang dialaminya.
Kapan  yaa...kita  bisa saksikan anak-anak  di televisi maupun media  dalam konteks anak-anak yang bahagia, berprestasi dalam hal apapun tidak hanya prestasi bidang akademis. Tentu itu akan menginspirasi perilaku positif untuk anak-anak lain. Tak ada lagi peniruan perilaku kekerasan.
Kapan yaa??

To be continued...

 



You Might Also Like

0 komentar: