Penjara bukan tempat terbaik bagi anak (bag.4)

16.23 Ena Nurjanah 0 Comments

 Selepas  kunjungan ke rumah S, saya melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi rumah A. Saya berniat  untuk menemui ibu A dan menanyakan perkembangan A .  Saat kami tiba di rumah kaka A, hanya ada ibunya A yang memang sangat berharap kedatangan saya. Beliau langsung menyambut saya dengan gembira. Ibu A kemudian menceritakan bahwa pihak polres menyarankan untuk menggunakan penasehat hukum bapak H. Bapak H ini akan memberikan jasanya secara probono kepada A.
 Untuk memastikan bahwa beliau yang menjadi penasehat hukumnya saya pun langsung menelpon beliau pada saat itu dan berharap bisa bertemu beliau untukberkoordinasi terkait pemenuhan hak A sebagai anak yang kebetulan ia sbenentar lagi akan mengikuti ujian akhir di tingkat Sekolah Dasar. Dari bapak H ini juga saya mendapatkan informasi yang pasti tentang keberadaan A. yaitu di lapas yang menyediakan tempat khusus bagi tahanan anak.
Sebelum saya beranjak pulang, saya meminta ibu A untuk mengabari saya  setiap perkembangan yang ada dalam penanganan kasus A. Tujuannya adalah agar saya bisa mempersiapkan  segala hal untuk bisa memberikan bantuan yang maksimal bagi A.

22 Maret …..

Selepas dari sebuah kegiatan dan walaupun waktu sudah beranjak menjelang magrib saya paksakan untuk tetap datang mengunjungi bapak H. Saya tahu bapak H sangat sibuk, jadi saya harus tetap mengunjungi di hari yang sudah kami tetapkan bersama.
         Pertemuan dengan bapak H cukup menyenangkan , sekalipun ketika kami terlibat dalam pembicaraan di telpon waktu itu situasinya cukup tegang, karena adanya mispersepsi. Syukurnya..pertemuan pertama itu mencairkan  semua kesalahan persepsi diantara kami. Bapak H sangat welcome dan apresiasi dengan usaha yang saya lakukan. Beliau paham bahwa saya masih buta hukum, saya pun jujur berharap arahan dari beliau yang sudah senior dalam kancah dunia peradilan . Beliau banyak membantu saya dalam melakukan pendampingan terhadap A di pengadilan. Karena saya dan bapak H sama-sama berniat menolong A maka semua kendala yang kami temui bisa kami  atasi bersama-sama dengan penuh saling pengertian.
         Kepada bapak H saya menyampaikan harapan saya agar bisa mendapat  arahan beliau mengenai apa yang harus saya lakukan untuk anak yang berhadapan dengan hukum terkait dalam pemenuhan hak A untuk bisa ikut ujian dan seandainya A mendapatkan hukuman kurungan bisa mendapatkan hukuman tidak di lapas melainkan di panti. Karena setiap kali penanganan terhadap ABH selalu terngiang-ngiang di telinga saya bahwa  “Penjara bukan tempat terbaik bagi anak”.

29 Maret.....

Menjelang hari-hari dimulainya persidangan Saya  menelpon bapak S. Saya menanyakan perkembangan kesehatan S. Menurut bapak S, S sudah bisa makan tanpa disertai muntah. Namun kondisi S masih lemah, tidak bisa banyak melakukan aktivitas. Setiap habis bermain sebentar akan langsung terasa lelah dirasakan oleh S. Yah..memang sangat kasihan kalau melihat kondisi S. Luka tusukannya cukup banyak dan dalam sehingga butuh waktu lama untuk bisa memulihkan kondisinya. Berkaitan dengan persiapan di persidangan saya berjanji pada bapak S bahwa saya akan mendampingi S agar bisa menghadapi situasi persidangan dengan tenang dan tidak cemas.
Selanjutnya…Saya menelpon ibunya A. Dari ibu A saya mendapat informasi mengenai perkembangan A. Ibunya A telah menemui A di lapas. Perkembangan terakhir ternyata para guru tempat A bersekolah tidak ada yang bisa masuk ke lapas sehingga ada kemungkinan A hanya akan diikutkan dalam ujian paket padahal A sudah terdaftar sebagai peserta ujian nasional seperti siswa sekolah formal.
Apa yang saya dengar dari ibu A adalah wujud dari ketidakseriusan banyak pihak untuk memenuhi hak A untuk bisa tetap ikut ujian sekolah formal. Maka saya pun mulai berpikir cara apa yang bisa saya lakukan agar A bisa tetap ikut ujian sekolah dan ujian nasional sebagaimana siswa sekolah formal. Namun pada saat itu saya belum tahu harus apa dan bagaimana. Saya sudah berdiskusi dengan beberapa pihak namun tetap belum ada solusi.
       Sebelum saya memutuskan harus melakukan apa, yang pertama-tama saya inginkan adalah bisa menemui A di lapas. Saya ingin mendengar langsung dari A  apa yang terjadi pada A dan bagaimana kondisi dan perkembangan A selama  di lapas.
        Saya sangat berkeinginan untuk bisa masuk lapas, namun saya juga tahu bahwa tidak mudah untuk bisa masuk ke lembaga itu. Hanya pihak keluarganya lah yang bisa masuk ke dalam lapas. Sedangkan saya sebagai penasehat hukumnya pun bukan.
      Saya sudah coba berkoordinasi dengan beberapa pihak yang mengerti kondisi lapas dan ternyata beberapa kali menemui jalan buntu. Padahal saya sudah berbicara dengan pegawai lapasnya, berhubung saya hanya temannya teman orang itu, jadilah saya diberi prosedur yang cukup rumit untuk bisa masuk ke sana. Susah rasanya kalau orang baru seperti saya ini. seperti tahu rumah yang mau dituju tapi tidak tahu dimana pintu  masuk  rumahnya. Dan… pada akhirnya, cara terakhir yang  mungkin adalah saya ikut masuk mengunjungi A di lapas bersama-sama ibu A yang akan datang berkunjungi pada kamis minggu ini.
       Rupanya Tuhan berkehendak lain. Hari rabu saya dikabari oleh ibu A bahwa harusnya sidang hari rabu ini, namun berhubung pengadilan negeri sedang dalam keadaan berkabung sehingga sidang di tunda menjadi esok hari atau hari kamis. Saya juga sempet kaget kok begitu mendadak informasi persidangannya dan mengapa juga si ibu A baru menelpon saya?..yah..sudahlah..saya tidak mau berpikir lebih jauh, bagi saya yang penting si ibu masih mau tetap kooperatifkepada saya . Tapi sangat disyukuri kalau ternyata ada penundaan hari rabu ini, sehingga saya masih berkesempatan untuk bisa menghadiri sidang pertamanya.
    Saya bersyukur….yang semula akan terbayang sulitnya saya berargumen agar bisa ikut  ibu A untuk  menjenguk A di lapas, malahan dengan mudah bisa bertemu dengan A di sidangnya yang pertama. Akhirnya, hari itu saya segera menyiapkan surat permohonan dan surat tugas untuk hakim agar diizinkan ikut dalam persidangan tertutup kasus A.


 to be continued

0 komentar:

Penjara bukan tempat terbaik bagi Anak (bag.3)

21.51 Ena Nurjanah 0 Comments

Hari Kesepuluh

Agenda saya hari ini adalah mendatangi Polres setempat untuk bertemu Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) dengan tujuan untuk menanyakan perkembangan kasus A dan juga menanyakan siapakah yang akan menjadi penasehat hukum A.

Kanit PPA nya seorang polwan. Ibu Z yang ramah dan sabar mendengarkan berondongan pertanyaan dari saya yang jujur bisa dikatakan pemain baru untuk terlibat dalam penyelesaian kasus hukum seperti ini.
Dari informasi ibu Z diketahui bahwa A masih berada di sel tahanan Polsek tertentu yang memiliki tempat yang layak bagi tahanan anak. Ibu Z juga mengatakan bahwa telah banyak penasehat hukum yang datang menawarkan diri untuk menjadi penasehat hukum A.
Ibu Z menjelaskan bahwa penentuan siapa yang akan menjadi penasehat hukum bagi A sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga A. Pihak Polres dalam hal ini melalui PPA hanya member saran saja kepada keluarga, namun pilihannya tetap ada pada keluarga A.
….

Waktu terus berjalan hingga memasuki bulan maret. Itu artinya A sudah menjalani masa penahanan penyidikan hampir 13 hari.

……

Pertengahan maret

Saya mengontak ibunya A. Saya menanyakan kepada beliau siapakah yang akan menjadi penasehat hukum bagi A. Hal ini penting bagi saya agar segera bisa berkoordinasi dengan penasehat hukum A dalam pemenuhan hak-hak A sebagai anak sekaligus sebagai pelajar yang sudah berada diambang Ujian Nasional.
Saya juga tidak lupa mengontak keluarga S yang menjadi korban kebrutalan A. Saya menanyakan kondisinya dan mendo’akan kesembuhannya.

….

Dua hari kemudian..
Setelah saya menelpon keluarga korban dan keluarga pelaku saya pun mengunjungi kediaman mereka.
Kunjungan pertama adalah rumah S. kunjungan saya kali ini pun  ternyata belum berhasil bertemu dengan S. Ternyata, kemarin S dibawa kembali ke Rumah sakit. S yang sudah memasuki hari ketiga di rumah ternyata masih kesulitan untuk mencerna makanan. Sehingga setiap makanan yang masuk ke perutnya akan membuat ia menjadi mual dan muntah dan kemarin S mengalami kondisi yang mengkhawatirkan sehingga keluarganya membawa kembali S ke rumah sakit yang selama ini sudah merawat S.
Saya hanya bertemu dengan bapak S. Bapak S mengungkapkan unek-unek yang dirasakannya mengenai keadaan anaknya kepada saya. Bapak S khawatir bahwa anaknya tidak akan menjadi sempurna kondisinya karena begitu banyak tusukan yang dideritanya. Bapak S tidak setuju dengan banyaknya pemberitaan bagi si pelaku, karena menurutnya seharusnya anaknya lah yang  menjadi korban yang seharusnya mendapat perhatian dari berbagai media bukan malah mengekspos si pelaku dan seakan-akan hanya mengasihani si Pelaku yang ditahan sedang anaknya yang menjadi korban malah sangat minim pemberitaan. Bapak S berharap anaknya lah yang banyak mendapat pertolongan dan bukan kepada pelaku.
Saya menyadari keterbatasan pemahaman bapak S, namun saya tidak berani banyak menyela. Suatu hal yang wajar jika pada saat ini  bapak S marah. Saya biarkan bapak S menumpahkan kemarahannya pada saya.  Hingga kemudian akhirnya kemarahan bapak S mereda.
Dalam pertemuan dengan bapak S dengan berat hati saya harus jujur  mengatakan bahwa keberadaan saya adalah untuk membantu kedua belah pihak baik korban maupun pelaku, karena kedua-duanya masih anak-anak jadi harus tetap dilindungi hak-haknya.
Namun, saya juga menegaskan kembali kepada bapak S, bahwa apa yang saya lakukan karena ada landasan hukumnya bukan tindakan semau saya yang tanpa dasar. Bantuan yang saya berikan kepada pelakupun sesuai dengan apa yang memang sudah ada dalam undang-undang perlindungan anak maupun dalam undang-undang yang terkait dengan ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum)
Saya juga mengingatkan bahwa bantuan terhadap korban telah dilakukan oleh  pihak pemkot. Sesuai dengan aturan yang ada bahwa anak yang menjadi korban wajib mendapatkan biaya pengobatan gratis. Untuk selanjutnya saya berjanji pada bapak S akan mencoba berkoordinasi dengan pihak kementerian sosial terkait bantuan biaya pendidikan bagi korban.
Saya juga menanyakan apa yang menjadi keinginan bapak S terhadap A dan keluarganya. Bapak S sangat ingin pihak keluarga A mau datang ke rumahnya dan mau meminta maaf dengan tulus kepada keluarga korban. Bapak S mengatakan bahwa ia tidak dendam. Sebagai orang yang beragama ia mengaku bahwa ia harus bisa memaafkan si pelaku, namun demikian ia tetap berharap bahwa hukum bisa ditegakkan seadil-adilnya bagi pihak korban yang sudah menderita luka berat.
Setelah cukup lama perbincangan saya dengan bapak S, akhirnya saya pun pamit pulang. Saya berjanji pada bapak S akan menyampaikan apa yang menjadi keinginan bapak S terhadap keluarga pelaku.
Kedatangan saya ke rumah S hari ini ternyata bersamaan dengan  kehadiran wartawan salah satu stasiun TV. Rupanya kasus ini sedang menjadi berita menarik, namun saya tetap berharap tidak perlu ada ekspos identitas anak dalam pemberitaan mereka.

to be continued...




0 komentar:

Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH),

Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.2)

09.49 Ena Nurjanah 0 Comments

Post ini merupakan kelanjutan dari post sebelumnya: Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.1)

Dalam waktu yang teramat singkat, kasus yang terjadi antara dua anak SD ini sudah menjadi pemberitaan Nasional. Hal ini mendorong pimpinan daerah setempat untuk datang menemui pelakunya juga yang masih anak-anak. Dan ternyata, kasus ini juga menarik banyak pihak termasuk tokoh anak yang dikenal secara nasional turut hadir untuk menemui A (pelaku).

Akhirnya terjadilah pertemuan yang tanpa direncanakan sebelumnya di kantor Polsek setempat antara saya, pimpinan daerah, tokoh anak, dan kapolres setempat. Kami semua duduk bersama untuk merundingkan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Semua pihak nampaknya punya visi yang sama agar mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Pihak kepolisian sangat mengharapkan dukungan dari para pemerhati anak dalam penyelesaian kasus anak ini.

* * *

Seminggu setelah kejadian

Hari ini saya akan berkunjung ke rumah korban dan pelaku. Rumah keduanya berada di satu kelurahan yang sama. Jadi, saya mengagendakan untuk mengunjungi kedua rumah tersebut.

Kunjungan pertama saya adalah ke rumah korban. Meskipun agak sulit dicari, namun setelah bertanya kesana sini ke beberapa orang yang saya temui akhirnya saya pun bisa menemui rumah korban. Tetangga korban rupanya cukup mengetahui peristiwa yang terjadi bahkan saya sempat bertanya dengan seorang bapak yang ternyata beliau yang turut mendampingi keluarga korban ke rumah sakit. Sehingga ketika saya bertanya nama S mereka langsung nyambung dengan peristiwa yang sedang hangat di media.

Tiba di rumah korban, saya hanya berhasil menemui kakak tiri korban. Kedua orangtua korban ternyata masih berada  di rumah sakit untuk menjaga S. saya memperkenalkan diri kepada kaka S dan memberikan kartu nama. Tidak banyak informasi yang bisa kami dapat  dari kakak S, ia tidak banyak tahu tentang permasalahan yang terjadi. Saya pun hanya sebentar di rumah S, sebelum pamit saya berjanji akan datang lagi untuk bertemu dengan S dan orangtuanya.

Kunjungan berikutnya adalah ke rumah A. Juga bukan perkara mudah mencari rumah A, karena rumah A ternyata berada ditempat yang lebih tersembunyi di sebuah gang buntu di rumah petakan yang berjejejer di sebuah gang sempit.

Mencari rumah keluarga pelaku tidak lebih mudah dari mencari rumah korban, hingga saya pun harus berputar dua kali untuk mencari gang rumah yang di maksud. Ternyata Gang yang saya tuju lebih sempit dari gang sebelumnya dan  hanya muat untuk kendaraan roda dua.

Gang tersebut lebih mirip sebuah lorong, dan ujung nya pun buntu, seperti nama yang diberikan untuk gang itu: Gang buntu.

Lewat satu meter dari gang tersebut, saya langsung menemui rumah-rumah bedeng berderet panjang, yang tiap rumah lebarnya tidak lebih dari tiga meter dan panjang ke belakangnya kira-kira hanya enam hingga tujuh meter.

Saya kebingungan, rumahnya yang mana? Karena alamat yang saya terima tidak mencantumkan nomor rumah. Setelah kami tanya kesana-kemari, akhirnya saya pun ditunjukkan pada sebuah rumah bedeng yang terletak di ujung lorong. Rumah yang sangat sederhana. Dengan ruang tamu, satu kamar tidur, dan sedikit ruang untuk dapur dan kamar mandi.

Rupanya A tinggal dengan keluarga kakanya disebuah kontrakan kecil. Saya disambut oleh seorang perempuan tua yang kurus. Dapat terlihat dari urat wajahnya bahwa wanita ini telah menanggung beban hidup yang berat sekali sejak lama. Dengan air muka yang menyiratkan sedikit rasa curiga, ibu itu mempersilahkan kami memasuki ruang tamunya.

Ruang yang sangat sederhana. Hanya diisi dengan kursi-kursi tua dan bufet. Ada televisi kecil, dan perabotan diletakkan seadanya tanpa diatur dengan rapih. Kami pun segera memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari lembaga perlindungan anak kota Depok. Ternyata ibu ini adalah ibu dari pelaku yang baru saja datang dari pulau seberang. Rumah ini adalah rumah kontrakan kakak pelaku yang selama ini berprofesi sebagai satuan pengamanan di suatu kantor di Jakarta.

Pada saat itu juga ternyata ada kaka A yang kebetulan ada di rumah. Saya pun terlibat pembicaraan dengan H kakak dari pelaku dan ibu A. Saya menjelaskan maksud kedatangan saya yaitu untuk membantu A yang akan mendampingi A sekaligus juga menawarkan penasehat hukum dari lembaga saya. Namun ternyata dari  Ibu A  kami tahu bahwa sudah ada beberapa pengacara yang menawarkan diri untuk menjadi penasehat hukum bagi A. Hanya ibu A belum berani memutuskan penasehat hukum yang akan membantu mereka. Ibu A akan berkonsultasi dulu dengan pihak kepolisian. Mereka percaya bahwa pihak kepolisian bisa menjadi tempat bertanya dan berkonsultasi bagi mereka

Setelah saya tahu bahwa sudah banyak penasehat hukum yang menawarkan diri kepada keluarga A, saya pun menjelaskan bahwa keluarga A bebas untuk memutuskan siapa yang akan menjadi penasehat hukum A.  Kami datang menemui keluarga A karena  selaku lembaga perlindungan anak kota setempat kami punya kewajiban untuk membantu A selaku anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam penyelesaian kasus hukumnya. Seandainya keluarga memutuskan penasehat hukum dari luar lembaga saya,  maka saya meminta izin agar bisa ikut memantau jalannya proses hukum bagi A. Agar hak-hak A sebagai seorang anak tetap terlindungi.

* * *

0 komentar:

Bogor,

Apresiasi bagi PA Bogor

08.57 Ena Nurjanah 0 Comments


Kamis, 16 Oktober 2014 , 08:04:00

BOGOR - Dalam hukum, tak hanya barang yang bisa disita oleh pengadilan, anak pun juga bisa menjadi sengketa hingga berujung pada penyitaan.  
 Pengadilan Agama (PA) Kota Bogor berencana melakukan eksekusi empat anak dalam perkara hak asuh anak (Hadhanah). Eksekusi direncanakan bulan ini.
Humas PA Bogor, Agus Yuspiain mengatakan, keempat anak tersebut berada dalam asuhan bapaknya selaku tergugat yang berdomisili di Kota Bogor. “Perkaranya sudah sampai pada putusan PA. Keputusan tersebut  mengamanatkan kepada tergugat untuk menyerahkan anak mereka kepada ibunya. Namun tak diindahkan,” tukasnya.
Untuk teknis eksekusinya, beber Bagus, penjemputan akan dilakukan oleh Tim eksekutor PA yang dipimpin langsung oleh panitera didampingi para anggota tim sekaligus sebagai saksi. “Setelah diambil, anak itu akan diserahkan kepada ibunya sebagai penggugat atau pemohon,” tutur Agus.   
Menurut Agus, perkara hak asuh anak cukup tinggi seiring dengan tingginya tingkat perceraian di Kota Bogor yang mencapai hingga 460 kasus terhitung sejak Januari hingga September.
“Dalam tiga bulan ini bisa terdapat puluhan perkara. Kebanyakan kasusnya melibatkan anak di bawah umur sehingga keputusan pengadilan terkait hak asuh diberikan kepada ibu,” tukasnya.
Kata Budi, meski telah mendapat penjelasan oleh hakim, kebanyakan masyarakat belum memahami tugas dari kedua belah pihak. Meskipun sang ibu yang diberikan hak asuh, sambung Agus, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) si ayah tetap memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah.
“Kalau keputusan PA ibu yang mengasuh anak, sang ayah tetap bertanggung jawab untuk menafkahinya. Ini yang sering kali tidak dipahami masyarakat. Ketika diasuh oleh sang ibu, anak itu tidak lagi mendapat nafkah dari bapaknya,” tukas dia. (azi)


Berita ini saya copas karena bagi saya ini sebuah berita yang sangat bagus.
Memberi harapan bagi banyak kaum ibu yang tidak berdaya dengan pelaksanaan putusan yang tidak berpihak pada mereka.
Kepedulian Pengadilan Agama kota Bogor terhadap putusan yang dibuatnya terhadap permasalah sengketa hak asuh anak sangat-sangat saya apresiasi.
Selama ini, ketika menyangkut sengketa hak asuh anak yang jelas-jelas jatuh ke tangan sang ibu seringkali tidak benar-benar bisa dilaksanakan oleh pihak yang bertikai. 
Kaum ibu hampir selalu menjadi pihak yang harus menderita dengan tidak berjalannya putusan pengadilan. 
Dan kaum ibu seringkali tidak berdaya dengan semua pengingkaran putusan pengadilan tersebut. 
Kalau kali ini saya membaca bahwa pengadilan agama kota Bogor yang akan bertindak mengeksekusi agar anak-anak bisa berada di tangan ibunya , maka ini sungguh-sungguh hal yang luar biasa. Saya sangat apresiasi akan usaha Pengadilan Agama Bogor yang mau peduli dengan pelaksanaan putusan pengadilan Agama tersebut.
Semoga hal ini menjadi pertanda baik bagi penegakan hak-hak anak dan hak kaum ibu.
Semoga juga  apa yang dilakukan oleh PA Kota Bogor bisa dijadikan contoh bagi Pengadilan Agama di kota-kota lain..
Semoga...

0 komentar: