anak Indoensia,

Ketika Remaja ‘Pacaran kebablasan’, Apa yang bisa kita lakukan?

23.10 Ena Nurjanah 0 Comments


Sebutlah namanya Bunga (bukan nama sebenarnya), berusia sekitar 23 tahun. Bunga mengalami keguguran akibat kehamilan yang tidak dikehendaki. Bunga telah melakukan hubungan di luar nikah dengan pacarnya. Rupanya pacarnya ini sangat pandai merayu, sehingga dengan setengah terpaksa terjadilah hubungan badan yang tidak diharapkan oleh bunga.

Bunga mengalami kekacauan dalam hidupnya sejak peristiwa itu. Pacarnya dan keluarga pacarnya ingkar janji. Padahal awalnya mereka telah sepakat akan menikahkan bunga dengan pacarnya. Perbedaan agama  yang menjadi alasan mereka ingkar janji.

Bunga bersikeras untuk menikah dengan pacarnya tersebut. Ia mengupayakan segala cara untuk menikah dengan pacarnya. Ia mencari tempat menikah beda agama, ia melaporkan pacarnya ke atasan pacarnya, ia meneror pacarnya melalui social media. Intinya adalah agar pacarnya mau bertanggung jawab menikahinya.

Jika ditelusuri, Bunga sendiri punya pekerjaan yang mapan, bahkan jauh lebih baik dibandingkan pacarnya. Status social antara Bunga dan pacarnya juga tidak bisa dianggap setara. Namun alasan ia telah ternodai oleh pacarnya membuat ia memaksakan diri harus menikah dengan pacarnya itu. Atau, Bisa jadi memang perasaan cinta bunga masih sangat kuat  terhadap pacarnya.Selama masa pacaran,   pacar Bunga  memiliki  tutur kata yang santun, dan  sangat  romantis.

Dari Kisah tersebut apa yang bisa kita pahami dan yang bisa kita lakukan?
  • Satu hal yang kita pahami bersama, bahwa Bunga adalah remaja yang melangkah sendiri dalam kehidupan pergaulan dengan teman-temannya.
  • Bunga  tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada kedua orangtuanya,  ini menunjukkan adanya hambatan komunikasi yang terjadi antara anak dan  ke dua  orang tuanya.
  • Saatnya semua orang dewasa menyadari, bahwa ada kesalahan  dalam pengasuhan dan segeralah bantu Bunga mengatasi masalahnya.
  • Membantu Bunga mengatasi masalah adalah dengan sikap penuh penerimaan akan dirinya dan kesalahan yang sudah diperbuatnya. Bukan dengan menolaknya sebagai remaja nakal, bermasalah dan berbagai label yang menjauhkan Bunga dari kita.
  • Harus dipahami, Bunga masih dalam keadaan kasmaran, pikirannya masih dibutakan oleh cinta, setiap kalimat yang memintanya untuk melupakan pasti dijawabnya dengan tangisan.
  • Bunga tidak bisa dimarahi,dia akan lari dan menjauhi orang yang memarahinya.
  • Bunga harus didekati dengan cinta yang tulus, oleh orang-orang  dewasa yang bertanggung jawab, dan itu bukan dengan mencari pacar yang baru tentunya.
  • Bantu bunga memahamai emosinya. Bantu bunga untuk bisa mengakui bahwa pada saat ini dia memang masih dalam keadaan kalut antara rasa cinta yang sangat dalam  terhadap pacarnya,  rasa marah atas pemaksaan pacarnya itu sekaligus kecewa atas sikap menghindar pacarnya.
  • Sebagai penganut agama yang taat, Bunga  sangat menyesali  apa yang telah terjadi pada dirinya. Bantu Bunga agar tidak terus menerus menghakimi dirinya hingga menganggap tidak ada lagi pintu bertaubat, menutup ruang bagi dirinya untuk keluar dari masalah yang tengah dihadapinya.
  • Bantu Bunga untuk memahami bahwa setiap orang pasti pernah berbuat salah, berbuat dosa. Meskipun demikian,  setiap orang  masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri, termasuk Bunga masih bisa memperbaiki  kesalahan dirinya, yang paling penting  ia berjanji/ bertekad dalam dirinya untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
  • Bunga selalu beranggapan bahwa  dirinya telah ternoda, telah kotor oleh pacarnya  sehingga ia memaksakan dirinya harus menikah dengan pacarnya, “sudah terlanjur.”  Kata-kata itulah yang selalu dikatakan oleh Bunga. Anggapan ini secara perlahan harus di sadarkan oleh bunga. Cara pandang tersebut  tidak sepenuhnya benar. Kalimat ‘sudah terlanjur’ sama sekali tidak tepat. Bunga harus diajak berpikir, apakah  bunga siap  meneruskan hidupnya dan  membangun  sebuah rumah tangga  dengan laki-laki yang  tidak bertanggung jawab, yang dengan begitu mudah meninggalkan Bunga dalam kesulitan.
  • Katakan pada bunga, cinta memang tidak mudah untuk hilang tiba-tiba.. perlu waktu..tapi bukan tidak mungkin  perasaan itu  bisa hilang. Bunga harus  terus melakukan kesibukannya, apalagi Bunga sudah bekerja dan cukup padat jadwal bekerjanya.
  • Bunga juga perlu orang terdekat yang selalu bisa mensupport dirinya, ketika bunga sedang down, ingat pacar, ingin menumpahkan perasaan kesal-marah-kecewa-rindu dll yang bercampur jadi satu. Orang terdekat itu tidak perlu menasehati, cukup menjadi pendengar yang baik bagi bunga.
  • Bunga harus menghapus tulisan-tulisannya di social media milik dirinya ataupun pacarnya yang bernada pengungkapan dirinya yang telah ternoda. Karena hal ini sebenarnya untuk melindungi dirinya. Kalimat-kalimat yang dia tulis di sosmed bisa menjadi boomerang bagi dirinya di saat dirinya sudah kembali move on
  • Usahakan agar bunga menghentikan usahanya untuk menghubungi pacar, orang tua  pacar ataupun kerabat pacarnya. Hal ini penting  untuk menjaga  perasaan Bunga.  Bunga  harus dibantu agar bisa bersikap konsisten dalam upayanya untuk menghilangkan perasaan cinta yang masih ada terhadap pacarnya. Tujuannya agar rasa cinta bisa benar-benar pupus suatu saat, tidak dengan cara harus up and down dalam mensikapi pacarnya. Jika Bunga tetap menjalin hubungan dengan pacarnya ataupun pihak kerabat pacarnya, maka hal ini akan berdampak semakin lamanya proses yang harus dilalui bunga untuk kembali move on.
  • Yang harus diperhatikan lagi oleh bunga adalah ketika bunga sudah move on, biasanya si pacar akan berusaha untuk mengejar bunga, mencari bunga dan lebih parah ketika bunga menolak akan muncul sikap-sikap arogansi dari mantan pacar. Hal ini harus bisa diantisipasi oleh bunga dengan menghapus jejak bunga dari mantan pacarnya tersebu.
  • Dalam menghadapi masa-masa sulit terebut Bunga harus terus didampingi oleh orang-orang terdekatnya. Jangan hakimi Bunga dengan segala kesalahannya, Tapi bantu Bunga agar bisa bangkit dari keterpurukannya akibat pergaulan bebas yang tidak terkontrol.
  • Secara hukum, Bunga memang bisa mengajukan  pengaduan  atas tindakan pemaksaan  hubungan badan. Namun, kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) masih sangat sulit bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, dengan alasan sudah dewasa dan dilakukan suka sama suka. Sehingga seringkali untuk kasus-kasus seperti ini, kaum perempuanlah yang harus menanggung semua akibatnya.
  • Menghadapi masa-masa sulit ini, Orang yang paling baik dalam kehidupan Bunga seharusnya adalah kedua orangtuanya. Mencari bantuan  kepada  ahlinya adalah pilihan terakhir ketika orang tua tidak mampu lagi mengatasinya.


0 komentar:

Anak dan Pornografi

Ketika Sekolah Terjerat Masalah, Bagaimana Mengambil Sikap?

20.13 Ena Nurjanah 0 Comments




Pornografi & Anak Didik, Bagaimana Sekolah & Mediator Mengambil Sikap? 

Di era kemudahan akses informasi telah menimbulkan banyak gejolak yang tidak diharapkan. Dampak yang paling utama adalah dampak yang terjadi pada. Mereka menjadi sasaran empuk apapun yang datangnya dari berbagai pihak termasuk media, baik itu hal yang baik ataupun yang buruk.

* * *

Kisah perbuatan anak yang lepas kontrol dan mengarah kepada tindakan pornografi tidak hanya membuat orang tua kebingungan, namun dampaknya ternyata juga dirasakan oleh pihak sekolah. Guru di sekolah kini pun menjadi lebih sulit untuk menjaga perilaku anak-anaknya. Sekarang, kontrol guru harus menjadi lebih ekstra dalam mengawasi tingkah polah anak didiknya.

Ada satu kejadian yang telah membuat sekolah kelimpungan dalam menghadapinya. Seorang siswa lak-laki kelas satu SD berulangkali mencium bibir siswa perempuan sekelasnya. Peristiwa itu terjadi beberapa kali, selang beberapa hari. Sang guru pun tidak tinggal berdiam diri saja, ia telah berusaha keras menegur dan memperingatkan siswa tersebut dan juga kepada seluruh siswa yang ada di kelas tersebut mengenai perilaku yang tidak pantas tersebut. Entah apa yang ada dipikiran anak tersebut, sehingga kejadian itu harus terulang kembali. 

Kisah lain tak kalah mengkhawatirkan, terjadi pada anak yang masih duduk di kelas satu SD juga. Kali ini dilakukan antar sesama anak laki-laki. Seorang anak bernama A berulang kali berusaha menggiring temannya yang juga seorang laki-laki (sebut saja B) ke pojok lemari agar tersembunyi dari penglihatan orang. Si A kemudian memelorotkan (membuka paksa) celana si B dengan tujuan untuk memegang kemaluan si B.

* * *

Kejadian pertama (re: cium), terjadi di dalam kelas saat situasi sedang ramai, dan anak laki-laki tersebut spontan mencium si perempuan. Guru yang mengetahui pun segera mengambil sikap.

Pada kejadian yang kedua, ternyata pada awalnya tidak diketahui siapapun. Kejadian ini baru diketahui oleh orang tua B pada saat di rumah menjelang malam. Si B yang pemalu dan penakut saat di sekolah, pada saat di rumah pun menjadi lebih ceria. Semua terungkap saat si B bermain loncat-loncatan di tempat tidur bersama adiknya, yang secara spontan bercerita kepada ibunya. 

"Ibu.. Celanaku dipelorotin lagi sama si A”, ucapnya polos sambil bermain-main. Sang ibu tersentak kaget. Ternyata kejadian ini sebenernya bukan yang pertama kali, beberapa minggu sebelumnya pernah terjadi. Si ibu pun meminta agar pihak guru kelas memperhatikan kondisi tersebut dan memberi perhatian terhadap kasus ini dan berharap agar si A bisa dikonseling oleh psikolog sekolah, khawatir ada sesuatu dalam dirinya yang butuh untuk diberi 'perhatian' lebih.

* * *

Dari kedua peristiwa tersebut, yang merasa sangat dirugikan adalah orangtua yang menjadi korban (meskipun pada hakekatnya ketika berbicara tentang anak, maka anak yang dianggap sebagai pelaku, atau anak yang telah berlaku salah itupun merupakan korban juga; yaitu korban dari interaksi yang ada di lingkungan sekelilingnya, baik itu dipengaruhi oleh orangtua, keluarga, kerabat, tetangga, media ataupun dari sekolah).

Pihak sekolah pun tentu saja menjadi kebingungan menyikapi kondisi yang telah menimpa dan terjadi pada anak didik mereka tersebut. Tidak ada satu sekolahpun yang sebenarnya menghendaki situasi tersebut.

* * *

Apa yang bisa dicermati dan bagaimana solusi mengatasi kondisi tersebut?

1) Pihak sekolah harus bersikap proaktif melihat adanya kejadian yang tidak normal di sekolah tersebut. Sebuah kejadian yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak yang terdidik.

Berdasarkan dari 2 permasalahan  tadi, yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah diantaranya adalah:

  1. Segera melakukan evaluasi terhadap pengawasan siswa didik di kelas maupun di luar kelas. Guru dan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap siswa lebih meningkat pengawasan terhadap siswa yang bertingkah laku tidak sesuai.
  2. Berusaha menutup peluang bagi kemungkinan terjadinya tindakan tersebut, baik dengan memperketat jadwal kegiatan dalam  kelas dan luar kelas maupun setting ruang kelas dan areal luar kelas sehingga menjadi lebih terbuka dan terlihat ,jangan ada ruang-ruang atau areal tersembunyi yang sulit dijangkau mata guru kelas atau pihak pengawas lainnya.
  3. Tata tertib berperilaku sopan santun harus terus disampaikan ke siswa dengan membuka ruang diskusi sehingga anak memahami bukan sekedar takut bertindak yang membuat mereka dihukum tapi mereka mau menerima tata tertib tersebut karena mereka paham maksud dan tujuan dari tata tertib tersebut bagi kebaikan mereka.
  4. Untuk anak-anak yang sudah terlanjur melakukan tindakan asusila tersebut sebaiknya segera dilakukan konseling oleh konselor/psikolog sekolah dengan melibatkan pihak orang tua anak-anak tersebut, karena tidak akan mungkin penyelesaian anak hanya dilakukan sekolah padahal porsi waktu terbesar anak-anak adalah di rumah. Tanggung jawab pengasuhan yang terbesar juga ada pada para orangtua siswa.
  5. Pihak sekolah harus membangun pemahaman yang baik kepada seluruh orangtua siswa tentang bagaimana pengasuhan yang baik bagi anak dan sebisa mungkin menjaga anak dari dampak buruk  kemudahan akses informasi baik melalui televisi maupun internet.Tujuannya agar kejadian tersebut tidak akan terulang lagi menimpa siswa lain di sekolah tersebut.

2) Seandainya ternyata pihak orangtua siswa yang menjadi korban tidak puas dan melakukan tuntutan kepada pihak sekolah ataupun kepada pihak orang tua siswa yang menjadi pelaku, maka sebaiknya dilakukan mediasi. Mediasi bisa dilakukan antara kedua orangtua siswa tersebut dengan dimediasi oleh kepala sekolah. Atau jika ternyata orang tua korban menunjukkan sikap tidak percaya akan kenetralan dari pihak sekolah, maka pihak sekolah bisa mengundang pihak lain, seperti lembaga perlindungan anak untuk menjadi pihak ketiga/ke empat yang menjadi mediator bagi penyelesaian masalah yang terjadi diantara mereka.


3) Langkah-langkah yang seharusany dilakukan oleh seorang mediator dari lembaga Perlindungan anak antara lain adalah:
  1. Memimpin jalannya mediasi dengan baik
  2. Membuat aturan selama jalannya mediasi
  3. Menyatakan ke netralan dirinya sebagai mediator
  4. Menyatakan keberpihakannya hanya pada “kepentingan terbaik bagi anak” (sesuai dengan hak dasar bagi setiap anak)
  5. Menjelaskan kepada semua pihak bahwa anak, baik dia korban maupun pelaku sama-sama korban (pelaku adalah korban dari lingkungan yang tidak tepat, bisa itu dari orangtua,keluarga,tetangga, media, sekolah,dll)
  6. Mengingatkan para pihak bahwa perbuatan anak yang berusia dibawah 12 tahun tidak pernah bisa diproses secara hukum, keputusan yang ada dalam UU adalah agar anak dikembalikan kepada kedua orangtuanya.
  7. Mediator memberikan hak yang sama kepada semua pihak yang hadir untuk menyampaikan pendapatnya.
  8. Tidak membatasi hak masing-masing pihak untuk menyampaikan keluh kesah dan pendapatnya selama itu dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan bertanggung jawab.
  9. Setelah semua pihak mengutarakan isi hatinya, mediator menyampaikan point-point yang menjadi bahasan agar semua bisa focus pada masalah dan target penyelesaian.
  10. Mediator  harus berani mengatakan sekiranya ada kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan masing-masing pihak yang berdampak pada terabaikannya hak-hak anak, baik kesalahan itu dilakukan oleh orangtua korban, orang tua pelaku, ataupun pihak sekolah.
  11. Mediator sebisa mungkin memberi pencerahan terhadap pemahamn-pemahaman yang keliru tentang anak dan kasusnya dengan cara yang tepat dan tidak menggurui (sesuai dengan kaidah andragogi)
  12. Mediator menyampaikan gagasan penyelesaian dengan meminta pertimbangan semua pihak. Hal ini karena setiap langkah penyelesaian akan sangat dibutuhkan kesiapan, kesanggupan dan komitmen masing-masing pihak  untuk menjalankan kesepakatan tersebut.
  13. Mediator memberikan ruang adanya negosiasi penyelesaian diantar masing-masing pihak.
  14. Kesepakatan akhir harus menjadi kesepakatan yang benar-benar realistis, mampu dijalankan oleh semua pihak, bukan hanya sekedar semangat membuat kesepakatan tanpa melihat realitas di lapangan. Jangan sampai ada salah satu pihak yang ternyata menanggung beban lebih besar sehingga cenderung tidak mampu menjalankan kesepakatan tersebut. Jika hal ini terjadi maka, mediasi yang sudah dibuat tidak ada artinya, karena sama saja hal tersebut sebagai sebuah kegagalan mediasi
  15. Kesepakat tersebut harus dituliskan, dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang terlibat.
  16. Sebaiknya ada batasan waktu yang realistis dalam menjalankan kesepakatan tersebut agar bisa dievaluasi progress dari kesepakatan itu.

4) Lembaga yang siap menjadi mediator seharusnya tidak meninggalkan pihak-pihak yang dimediasikannya. Sebagai wujud tanggung jawab moral sekaligus wujud kepedulian terhadap kepentingan terbaik bagi anak, Lembaga tersebut harus bisa mengawal hingga kasus itu bisa terselesaikan dengan baik. 
      
Setelah mediasi selesai, pihak sekolah harus tetap menjaga situasi agar tetap konudisf bagi semua pihak. Pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap penyelesaian kasus anak didiknya yang melibatkan para orang tuanya. Keberhasilan sekolah dalam penyelesaian kasus ini akan memberi dampak positif tumbuhnya rasa nyaman dan aman bagi siswa didik terhadap lingkungan sekolahnya.

0 komentar:

Anak dan Pornografi

Anak-anak yang Terpapar Pornografi

08.29 Ena Nurjanah 0 Comments


Tayangan  media televisi saat ini nampaknya selalu mengejutkan kita, konteks pemberitaan anak-anak dengan segala permasalahan yang serupa dengan orang dewasa kini bermunculan di permukaan. Sungguh, semua itu telah menghancurkan tatanan dunia anak hingga ke akar-akarnya. Hingga rasa-rasanya tak ada lagi yang namanya dunia anak-anak.

Salah satu kejadian yang terungkap di media adalah kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak terhadap anak lain. Satu korban anak perempuan berusia 6 tahun yang diperkosa oleh 3 orang anak laki-laki berusia 5 tahun, 9 tahun, dan 10 tahun.

Mengapa bisa terjadi? 
Dari kisah yang terungkap ternyata tiga anak laki-laki ini mengajak si anak perempuan itu untuk bermain ke tempat yang jauh dari keramaian. Tiba di suatu tempat di pinggir sebuah lapangan golf, di antara semak dan rimbunya pepeohonan anak-anak laki-laki ini mengajak anak perempuan itu untuk  bermain parah-parahan (istilah ditempat tersebut yang bisa disamakan dengan istilah main dokter-dokteran). Maka terjadilah peristiwa yang sangat tidak wajar dilakukan oleh anak-anak.

Pengakuan dari salah satu anak adalah bahwa mereka melakukan hal tersebut karena diajak untuk berbuat oleh anak yang usianya baru 5 tahun tersebut. Anak berusia 5 tahun tersebut ternyata mendapat cerita dari orang-orang di sekitarnya yang sudah lebih besar, yang sering menceritakan kepadanya tentang perbuatan orang dewasa tersebut.

Dampak dari pemberitaan media tersebut menjadi semacam hukuman tersendiri bagi anak yang menjadi pelaku. Pemberitaan itu bahkan membuat salah satu anak menjadi malu, murung, mengurung diri, hingga sering menangis di rumah dan tidak mau ke sekolah karena rasa malu yang ia alami. Di sekolah, anak tersebut selalu diejek oleh teman-temannya atas perbuatannya  tersebut yang menjadi berita hangat di media.

Bagaimana dengan korban yang berusia 6 tahun? Anak ini tidak pernah menyadari apa yang telah terjadi padanya. Ia bahkan tetap bermain dengan teman-teman nya tersebut yang telah melakukan perkosaan atas dirinya. Yang pada hakekatnya mereka semua adalah saling bertetangga sangat dekat.

Apa yang terasa tidak mungkin, ternyata mungkin terjadi. Mirisnya, hal tersebut terjadi pada anak-anak Indonesia, pada generasi yang kita harapkan peran besarnya untuk bangun negeri ini di kemudian hari.

APA YANG BISA KITA LIHAT, SIKAPI, dan AMBIL PELAJARAN DARI KASUS INI?

Anak hanya meniru
Anak-anak yang melakukan adegan dewasa sudah terpapar pornografi, entah dari mana pun itu datangnya. Hal ini dibuktikan bahwa  anak-anak tersebut sudah mampu melakukan apa yang sebenarnya tidak akan pernah ada dalam benak anak-anak yang masih polos. Pasti ada pemicunya.

Anak butuh bantuan untuk filter informasi, mana baik & buruk 
Pengetahuan dari luar tidak pernah bisa  difilter/ disaring oleh anak-anak. Jadi jangan pernah salahkan anak yang sudah kemasukan berbagai informasi/pengetahuan yang kebanyakan tidak cocok, tidak pantas untuk anak-anak.

Peran penting orangtua
Orangtua telah kehilangan peran sebagai sumber bertanya, sumber bercerita. Sumber berkeluh kesah, sumber kasih sayang yang SEHARUSNYA selalu hadir disaat anak mendapatkan sesuatu yang baru dan menggoncangkan perasaan kanak-kanaknya.

Orang tua tidak menyadari peran besar mereka sebagai tempat memfilter semua informasi yang anak dapat. Anak dengan keterbatasan cara berpikirnya.yang umumnya baru sampai tingkatan kongkrit operasional, yang baru bisa mencerna semuanya berdasarkan apa yang terlihat, reasoning/penalaran mereka belum berjalan, masih sangat jauh,. Nalar mereka masih butuh proses untuk tumbuh , masih butuh kedewasan agar mereka bisa memikirkan baik buruk , dan bisa mempertimbangkan apapun informasi yan mereka terima.

Kacamata hukum
Anak-anak ini tidak bisa dibawa ke meja hijau, dituntut secara hukum. Sekalipun ia pelaku, bahkan sudah melakukan berkali-kali. Tetap tidak ada saluran hukum untuk mengadili anak-anak ini. Dalam UU SPPA no 11 tahun 2012. Hanya anak yang berusia di atas 12 tahun yang bisa diproses  secara hukum (meskipun tuntutan baru bisa diberlakukan hanya pada anak berusia 14 tahun). Sekailpun perbuatan anak-anak ini dikategorikan perbuatan tindak pidana berat dengan hukuman maksimal 15 tahun (berdasarkan UU Perlindungan Anak). Batasan usia menghalangi anak-anak ini untuk bisa dipidanakan. Solusi yang diberikan untuk anak-anakini adalah "dikembalikan kepada orang tua nya".

Peran pemerintah
Yang harus dilakukan selanjutnya adalah memaksimalkan peran pemerintah dengan seluruh jajarannya. Jika di daerah tersebut telah terjadi satu peristiwa pidana dalam hal ini perkosaan oleh anak. Maka segeralah agar setiap dinas di wilayah tersebut berkontribusi untuk memperbaiki kondisi wilayah tersebut. Mulai dari penataan tempat-tempat yang berpotensi terjadi lagi pebuatan asusila. Segera mungkin  membuat taman-taman bermain, saran-sarana bermain maupun sarana olah raga yang gratis dan baik untuk anak-anak.

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Aktifkan kegiatan PKK yan hingga saat ini cukup efektif menyentuh segenap lapisan masyarkat termasuk  lapisan masyarakat kelas terbawah. Kegiatan PKK juga  yang paling mudah diterima dengan mendorong menggiatkan program-program parenting. Bagaimana mendidik anak, menjaga dan melindungi anak, dan jangan lupa pemenuhan akan hak-hak anak mulai dari institusi terkecil yaitu keluarga.

Apabila korban datang dari masyarakat kurang mampu,
Jika kejadian ini menimpa masyarakat golongan kurang mampu atau yang tidak mampu mendidik anak, hadirkan tenaga-tenaga pekerja sosial dari dinas sosial setempat untuk selalu memantau  dan mengarahkan orang tua anak-anak yang bermasalah ini, agar tidak terjadi lagi kasus serupa menimpa anak-anak.
HIMBAUAN KEPADA PEMILIK MEDIAKiranya para pemilik dan pelaku media mau menjalankan tanggung jawab sosialnya.
Tidak hanya memikirkan keuntungan dari sisi bisnisnya semata..namun juga bertanggung jawab untuk menyediakan tayangan yang mendidik dan menjauhkan anak dari paparan pornografi.

0 komentar: