kekerasan seksual,

Mawar Tak Berduri (Kisah Pendampingan Korban Kekerasan Seksual)

09.47 Ena Nurjanah 0 Comments


cerita ini ditulis untuk membuka pandangan dan naluri kita,
untuk lebih peduli terhadap sesama,
dan untuk diambil setiap hikmah dan pembelajaran yang ada padanya..



Sebagai seorang relawan (volunteer) yang bekerja untuk anak dan kaum perempuan, banyak yang sebenarnya ingin saya ceritakan dalam blog ini. Bukan ingin berbangga diri dengan apa yang telah saya lakukan (sama sekali tidak), karena memang tidak ada yang perlu dibanggakan.. Ini adalah pekerjaan kemanusiaan yang tidak seberapa dibandingkan kerja luar biasa yang telah dilakukan oleh orang-orang di luar sana; baik yang saya ketahui ataupun yang saya tidak ketahui; baik mereka yang terberitakan oleh media maupun mereka yang tidak terberitakan.

Saya ingin berbagi karena menurut saya banyak sekali pembelajaran yang baik untuk dibagi. Saya pun berharap supaya pengalaman - pengalaman tersebut dapat mendorong lebih banyak lagi munculnya para voluntir/ relawan baru yang mau ambil bagian dari perjuangan menolong anak-anak dan kaum perempuan yang kurang beruntung di Indonesia. Masih banyak sekali celah yang harus diisi agar bantuan untuk mereka dapat dilakukan secara maksimal. Alangkah bahagianya saya manakala tulisan dari pengalaman saya ini bisa menginspirasi banyak orang untuk berbuat.

* * *

Pada tahun 2011 lalu, saya pernah mendampingi seorang korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemilik/ pimpinan lembaga keagamaan. Kasusnya terungkap karena ucapan korban yang terdesak pada satu kondisi. Mawar (bukan nama sebenarnya, 19 th) kepergok oleh petugas siskamling pada saat dini hari sedang berduaan dengan seorang laki-laki sebut saja X (19 th). Karena ketahuan sedang berduaan pada saat dini hari, mereka berdua pun langsung diintrogasi dan diancam akan dinikahkan.

Pada saat itulah, mawar langsung mengatakan “Saya tidak bisa menikah dengan X, karena saya sudah dinikahi oleh S (pimpinan lembaga keagamaan, berusia 32 tahun). Pernyataan Mawar malah menggegerkan petugas yang hadir pada saat itu. Mereka sebagai warga kampung itu tidak pernah ada yang tahu akan hal tersebut.

Selama ini mereka hanya tahu bahwa Mawar tinggal di asrama dan belajar di lembaga itu. Ungkapan Mawar tidak begitu saja dipercaya. Mawar pun kemudian diajak bicara oleh pamannya yang kebetulan saat itu juga sedang ikut siskamling. Mawar didorong untuk bersumpah dengan menggunakan kitab suci bahwa dia tidak berbohong. Mereka masih tidak mempercayai apa yang diakatakan oleh Mawar. Karena orang yang Mawar sebut adalah orang yang terpandang/ terhormat di kampung itu. Namun Mawar tetap bersedia untuk bersumpah dan tetap mengatakan hal yang sama tersebut.

Untuk memastikan kebenaran dari pengakuan Mawar, para petugas ini langsung mendatangi rumah S. Oleh paman Mawar, S pun ditanyakan mengenai kebenaran akan hal yang diakui oleh Mawar. S malah mengalihkan pertanyaan itu dengan mengajak berbicara hal lain. Walaupun dipaksa untuk memberi kejelasan pernyataan Mawar, S tidak juga mau mengaku. Akhirnya paman Mawar dan petugas lainnya pun pulang tanpa adanya kejelasan.

* * *

Berita bahwa Mawar sudah dinikahin secara diam-diam oleh S cepat sekali tersiar ke wilayah kampung tersebut. SMS demi SMS mengenai berita tersebut terkirim begitu cepat, entah dimulai dari siapa. Pada esok harinya, warga kampung tersebut berbondong-bondong mendatangi lembaga yang dimiliki S dan entah siapa yang mulai menyulut kemarahan, warga kampung pun akhirnya bertindak anarkis. Kekecewaan mereka adalah karena perlakuan tidak senonoh yang dilakukan oleh S, padahal ia adalah pimpinan lembaga keagamaan. Lebih-lebih S adalah seorang pendatang yang membangun lembaga itu ditengah-tengah kampung yang sederhana ini.

Warga kampung akhirnya membakar lembaga tersebut, hingga menghancurkan satu rumah dan beberapa rumah-rumah lain yang terletak di komplek itu pun porak poranda. Saat kejadian, S dan keluarganya sudah lebih dahulu pergi meninggalkan tempat itu.

Saya tidak akan banyak ceritakan tentang kejadian tersebut karena cukup pelik, rumit, dan melibatkan banyak pihak. Banyak juga tokoh-tokoh agama yang ikut urun rembug menghadapi permasalahan itu.

* * *

Saya ingin fokus dengan apa yang dialami oleh Mawar. Karena tidak ada i’tikad baik dari S untuk menyelesaikan kasus yang menerpanya, ditambah dengan kenyataan bahwa kasus ini juga menambah kebingungan keluarga mawar dan warga kampungnya, akhirnya kasus yang menimpa Mawar tersebut pun diadukan ke kantor polisi.

Mawar harus menjalani pemeriksaan polisi hingga beberapa kali, bahkan kadang harus melaluinya hingga berjam-jam. Hal tersebut membuatnya kelelahan. Pernah pula ia dan sang ayah baru pulang dari pemeriksaan hingga dini hari. Untuk melengkapi laporan keluarga, Mawar pun divisum. Hasilnya mencengangkan! Ternyata memang positif bahwa Mawar sering mendapat perlakuan kekerasan seksual dari S.

* * *

Saya hadir beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi. Awalnya saya hanya mendapatkan info mengenai kasus tersebut melalui surat kabar. Saya membutuhkan alamatnya, dan itu memakan waktu beberapa hari hingga akhirnya saya menemukan alamat Mawar.

Saya mendapat rekomendasai agar datang ke kelurahan setempat terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar bisa diantar oleh orang setempat ke tempat tujuan, karena lokasinya yang memang tidak mudah ditelusuri untuk orang baru.

Saya pun akhirnya bertemu dengan lurah wilayah tempat tinggal Mawar. Segera saya sampaikan bahwa saya adalah pengurus di sebuah Lembaga Perlindungan Anak. Sebelumnya, ketika saya menyampaikan bahwa akan datang ke lokasi kejadian, Bapak Lurah malah berkenan untuk menemani saya sampai ke lokasi. Saya sangat mengapresiasi bantuan yang beliau berikan saat itu.

Saat pertama kali datang ke lokasi, kondisi di kampung tersebut masih mencekam. Baru pertama kalinya saya menyaksikan langsung kondisi suatu daerah pasca terjadinya kejadian anarkis. Biasanya saya hanya mengetahuinya dari membaca koran atau menonton lewat tayangan televisi dan film.

Saya melihat masih banyak aparat polisi yang berjaga-jaga dalam beberapa radius di RT tersebut. Saya juga sempat melihat lokasi bekas dilakukannya pembakaran. Lembaga itu telah porak poranda. Bangunan bagian depannya sudah tidak utuh, sedang bangunan-bangunan lain dibelakangnya rusak. Police Line pun masih terpasang untuk melindungi bangunan yang telah hancur tersebut. Ada polwan dari unit PPA (pusat perlindungan anak) yang saya kenal baik, turut pula berada di sekitar rumah Mawar untuk berjaga-jaga.

Singkat cerita, saya pun tiba di rumah Mawar. Saya disambut oleh pamannya Mawar, karena ternyata rumah Mawar berdekatan dengan rumah saudaranya. Dapat dikatakan bahwa warga yang tinggal di RT di wilayah tersebut ternyata merupakan saudara satu sama lainnya.

Saya bersyukur karena datang dengan ditemani oleh Bapak Lurah. Hal ini membuat saya lebih mudah untuk bisa dipercaya oleh keluarga Mawar. Kalau saya datang sendiri, biasanya saya butuh untuk menyampaikan prolog yang cukup panjang danmemakan waktu kepada keluarga korban.

Saat itu hal pertama yang harus saya katakan adalah bahwa saya bukan dari media untuk melakukan peliputan, tetapi saya datang untuk memberikan pendampingan kepada korban. Hal itu dikarenakan keluarga korban biasanya diperingatkan oleh untuk tidak berbicara kepada sembarang orang saat kasus sedang melonjak ke permukaan.

Pada awalnya keluarga Mawar memang merahasiakan di mana Mawar berada agar dapat melindungi gadis tersebut. Keluarga benar-benar memperhatikan keselamatan Mawar dan agar Mawar terhindar dari pemberitaan miring tentangnya, atau pun terhindar dari serbuan pihak media.


* * *

Setelah saya ngobrol panjang lebar, kemudian juga dengan dukungan Bapak Lurah, akhirnya keluarga korban mau menceritakan di mana keberadaan Mawar saat itu. Ternyata Mawar tinggal di rumah neneknya yang tidak jauh dari rumah Mawar.

Saya sangat bersyukur bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mawar, karena saya tahu persis pada saat ini kondisi Mawar pasti sedang terguncang dengan berbagai kejadian yang baru saja dialaminya. 

Hati nurani saya  terpanggil untuk mendampinginya.

Saat bertemu dengan Mawar, yang pertama saya rasakan adalah perasaan tercekat. Saya sedih dan haru ketika melihat Mawar. Saat itu ia mengenakan busana muslimah. Anaknya berkulit putih, cantik, dan berparas polos. Saya juga bisa melihat bahwa Mawar merupakan gadis yang cukup pandai dan berani. Saya pun berjabat tangan dan memeluknya dengan perasaan yang bercampur aduk. Saya pun langsung teringat akan anak saya yang hampir seusia dengan Mawar.

Saya perkenalkan bahwa saya dari perlindungan anak, yang akan mendampinginginya saat itu. Mawar terlihat senang, matanya berbinar-binar. Muka bulat putihnya menyiratkan kegembiraan saat saya jelaskan maksud kedatangan saya.

Pada pertemuan pertama saya lebih banyak mengobrol hal-hal yang ringan, seputar keluarganya. Saya berusaha membangun hubungan yang lebih erat agar Mawar bisa mempercayai saya, sehingga ia pun mau berbagi dan menceritakan berbagai hal yang dialaminya.

Pertemuan pertama saya dengan Mawar tidak berlangsung terlalu lama karena saya tahu, saya tidak boleh tergesa-gesa menuntut Mawar untuk mempercayai saya dan menceritakan semuanya kepada saya. Saya berjanji pada Mawar akan datang lagi untuk membicarakan permasalahannya dan siap untuk mendampingi Mawar untuk menjalani proses hukum hingga ke pengadilan. Saya menitipkan nomor kontak saya agar Mawar bisa mengontak saya jika ada perkembangan terbaru atau apapun yang terkait permasalahan yang sedang dia hadapi.

* * *

Sebenarnya ada satu hal yang menjadi kekhawatiran saya terhadap kondisi Mawar. Keluarga Mawar bisa dibilang jauh dari kata 'sejahtera'. Bapaknya kadang berjualan keliling, kadang tidak bekerja. Ibunya merupakan buruh cuci. Mawar lebih sering didampingi oleh pamannya yang lebih memiliki kemapuan di keluarga besar mereka. Pendidikan mereka juga rendah, saya khawatir pihak pelaku akan mudah 'mempermainkan' kasus ini karena secara strata pendidikan dan ekonomi, sangat jauh dibandingkan dengan keluarga Mawar.

Hari itu saya pulang  dengan membawa sebuah pekerjaan rumah. Saya tahu, ini baru hari pertama. Saya harus kuat untuk melalui hari-hari panjang di kedepannya bersama dengan Mawar. Lokasi rumah Mawar memang termasuk cukup jauh. Wilayahnya bahkan berada hampir di perbatasan kota, sedang saya tinggal di pusat kota. Namun jika saya mengingat-ingat kembali sosok Mawar, saya pun tidak pernah merasakan jauhnya perjalanan itu.

Keesokan harinya ternyata saya harus datang lagi ke lokasi kejadian. Kasus pembakaran lembaga keagamaan tersebut dan berbagai rentetan dari kejadian yang dialami Mawar, ternyata sudah menjadi berita hangat di seluruh kota. Bahkan sempat pula menjadi pemberitaan di berbagai media nasional. Hal itu membuat jajaran pemkot terpanggil untuk mendatangi keluarga korban.

Tidak banyak yang menarik sebenarnya, karena  itu bukan concern saya akan formalitas yang ada di lingkup pemerintahan. Kehadiran saya hanya menjadi penunjuk jalan dan penghubung antara keluarga korban dengan pihak pemkot. Pada hari itu pun saya tidak mendapatkan progress apa-apa. Namun satu hal yang saya tahu pasti, bahwa Mawar dan keluarga besarnya cukup senang dengan perhatian dan kehadiran pihak pemkot saat itu.

* * *

Beberapa hari kemudian saya mendatangi sendiri rumah Mawar. Saat itu Mawar mulai bercerita banyak mengenai semua kejadian yang telah dialaminya. Miris. Saya melihat sosok anak yang polos yang sudah diperdaya oleh seorang tokoh agama.

Dari cerita Mawar saya baru tahu bahwa ternyata kejadiannya sudah berlangsung sejak dua tahun yang lalu. Dengan demikian kasus ini terjadi sejak Mawar berusia tujuh belas tahun dan itu artinya Mawar masih dikategorikan sebagai anak-anak dan berhak mendapat perlindungan sebagai anak dan dilindungi dari pernikahan pada usia dini.

Semua berawal pada saat Mawar dipaksa menikah oleh S dengan cara yang sangat tidak lazim. Mawar diminta datang ke ruang utama asrama atas permintaan S. Di sana Mawar diminta untuk mau menikah dengan S. S pun meminta dengan memegang tangan Mawar dan memintanya dengan agak memaksa.

Pada awalnya Mawar tidak mau. Dua kali Mawar menyatakan penolakan namun S tetap memaksa. Mawar sempat mendapat cubitan di tubuhnya hingga ia pun merasa kesakitan, dan pada akhirnya ia pun menurut saja. Setelah mengatakan bahwa S telah menikahi Mawar, S pun langsung memaksa Mawar untuk melakukan hubungan suami istri. Kejadiannya dilakukkan di ruangan itu, di lantai dengan beralaskan tikar.

Setelah peristiwa tersebut, S bilang kepada Mawar agar tidak menceritakan hal tersebut pada siapapun. Mawarpun kembali ke kamarnya. Ada kemarahan dan perasaan lain yang berkecamuk dalam diri Mawar, tapi ia tidak tahu harus bicara ke siapa. Mawar pun takut untuk bercerita karena S sudah mewanti-wantinya agar tidak bicara kepada siapapun.

S sendiri sudah berkeluarga. S sudah memiliki anak dan istri. Istri S lebih dari satu, ada yang dinikahi secara resmi dan ada juga yang dinikahi secara siri. S sendiri merupakan anak dari seorang tokoh agama juga. Bahkan S sebenarnya merupakan lulusan dari sekolah agama di luar negeri.

Sejak saat itu, Mawar harus selalu memenuhi kemauan S, kapanpun S menginginkannya. Sebenarnya Mawar sudah berusaha untuk menghindar hingga ia sering mendapatkan teguran atau omelan dari S. Namun karena Mawar masih tinggal di pondokan itu, maka mau tidak mau ia harus terus menuruti kemauan S.

* * *

Kejadian yang dialami oleh Mawar memang sangat berliku - liku. Mungkin saya tidak perlu menceritakannya secara panjang lebar, namun yang pasti selama dua tahun itu Mawar menjadi istri siri yang tidak jelas nasibnya, karena yang tahu itu adalah pernikahan siri hanya mereka berdua. Semua orang di pondokan itu tidak pernah tahu, terlebih lagi orang yang ada di kampung itu. Sudah pasti tidak tahu apapun yang dialami oleh Mawar. Oleh karena itu kasus ini pun akirnya menyulut kemarahan warga dengan begitu cepatnya hingga menjadi tindakan anarkis.

Saya memang tidak setiap hari berkunjung ke rumah Mawar. Namun, saya tetap melakukan kontak dengan Mawar. Ia bahkan selalu memberitahukan kepada saya apapun yang dia alami saat itu ataupun berbagai proses mediasi yang terjadi antara S, keluarga, warga, dan tokoh masyarakat.

Sejak beberapa hari setelah kejadian, setelah adanya bukti-bukti lengkap, S pun di tangkap oleh kepolisian. Namun, karena S berasal dari keluarga terpandang, orang tua S tidak tinggal diam. Ayah S mengupayakan segala cara agar anaknya dibebaskan. Ia bahkan menjanjikan sejumlah besar materi kepada keluarga Mawar dan bahkan mengatakan akan segera menikahkan Mawar dengan S. Mereka berharap agar keluarga Mawar  mencabut laporannnya agar S bisa dibebaskan.

Kondisi yang cukup pelik. Tawaran sejumlah uang membuat keluarga Mawar cukup tergoda untuk mencabut laporannya. Uang dengan jumlah yang begitu banyak tentu akan sangat berguna bagi mereka yang hidupnya memang pas-pasan.

Mereka pun sempat diminta menandatangani surat perjanjian yang dibuat oleh orang tua S. Syukur pihak kepolisan cukup tanggap. Mereka banyak membantu keluarga Mawar untuk berpikir jernih terhadap persoalan yang dihadapi anaknya. Terlebih kasusnya sudah menjadi berita nasional, tentu saja kepolisian tidak mudah begitu saja mengeluarkan S. Dikhawatirkan akan merusak semangat keadilan warga dan bisa menimbulkan tindakan anarkis yang lebih besar lagi.

Setelah berkas Mawar lengkap, pihak kepolisian pun langsung melanjutkannya ke pihak kejaksaan. Persidangannya membutuhkan waktu hingga beberapa minggu lamanya. Pendmapingan terhadap Mawar pun tetap saya lakukan. Saya juga mendorong Mawar untuk tetap bisa melakukan aktivitas positif. Selama ini hari-harinya hanya diisi dengan melakukan aktivitas di pondokan, sekarang Mawar harus bisa menata dirinya sendiri di rumah dengan fasilitas yang sangat terbatas untuk memaksimalkan potensi diri. Satu keprihatinan tersndiri bagi saya, karena saya tidak mampu memberikan solusi pemberdayaan bagi Mawar. Anak yang baru masuk usia dewasa, anak yang cerdas dan punya potensi, namun memiliki keterbatasan ekonomi.


* * *

Suatu hari Mawar SMS saya.
"Ibu, apa kabar? Saya kangen ibu. Saya dapat surat pangggilan dari PN (Pengadilan Negeri). Sidangnya akan berlangsung hari.. jam.."

Saya terharu membacanya. Saya pun menelpon Mawar, dan saya bilang kalau kita akan bertemu di PN.

Hari pertama persidangan Mawar. Saya pun mempersiapkan surat permohonan dan surat tugas dari lembaga perlindungan anak yang menaungi saya. Surat itu ditujukan  kepada hakim agar saya diperkenankan bisa ikut dalam persidangan tertutup kasus Mawar.

Selama persidangan saya hanya menjadi pemantau terhadap jalannya persidangan. Sekaligus juga mendampingi dan menjaga Mawar agar tidak terekspos oleh media.

Saya harus memastikan bahwa proses hukum terhadap Mawar dapat berlangsung dengan adil tanpa ada intervensi dari si pelaku yang kaya raya, dan saya juga menjaga kondisi psikologis Mawar selama mengikuti persidangan.

Saya  ingatkan Mawar untuk tidak menerima wawancara siapapun dan agar menutup mukanya supaya tidak terekspos media. Sebenarnya sudah jelas dan ketika saya ingatkan, awak media pun mengatakan kalau sudah tahu.

Yaitu dalam UU no 23 tahun 2002 pasal 64 disebutkan bahwa anak yang  mengalami kekerasan seksual atau anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dilindungi identitasnya dari pemberitaan di media. 

Namun pada kenyataannya, apa yang dilakukan oleh awak media seringkali  jauh dari harapan saya. Saya ingin berbagi pengalaman saat menghadiri persidangan itu. Saya merasakan banyak sekali kejanggalan yang terjadi dalam persidangan kasus Mawar, saya coba runutkan di sini, yaitu:
  1. Pihak Jaksa sangat akrab dengan pelaku maupun pengacaranya. Ini terlihat langsung dengan mata kepala saya selama kejadian-kejadian di luar proses persidangan. Saya tidak tahu bagaimana etika sebenarnya dari sikap Jaksa terhadap pelaku dan pengacaranya. Yang saya rasakan hanya bahwa apa yang terlihat di depan mata saya tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Korban menjadi selalu curiga ada sesuatu dengan kedekatan itu. Wallahu’alam.
  2. Saat di luar persidangan jaksa itu sempat mengatakan kepada saya, sudahlah engga usah dipersoalkan kasus ini. Lebih baik dikawinkan saja Mawar dengan S. Daripada Mawar yang nggak jelas statusnya sekarang.. What?! Saya kaget mendengar ucapan itu dari aparat penegak hukum. Perempuan pula jaksanya. Dimanakah hati nuraninya sebagai perempuan? Sebagai seorang ibu? Pada saat itu saya tidak mungkin untuk berdebat, saya tidak ingin salah langkah yang ujung-ujungnya hanya membuat Mawar menajdi tersudut.
  3. Selama persidangan saya juga merasa aparat penegak hukum tidak terlalu punya perspektif terhadap perlindungan anak. Mawar selalu dicecar dengan pertanyaan yang menyudutkan dan selalu diancam dengan kalimat: "Ingat kalau kamu berbohong, kamu berada dibawah sumpah. Kamu bisa dipenjara dengan kebohonganmu." Tentu saja Mawar harus banyak mengingat-ingat karena kejadiannya sudah berlangsung dua tahu lebih, namun hal itu tidak membuat aparat lebih lunak menghadapi Mawar.
  4. Saksi-saksi yang dihadirkan dari pihak Mawar pun mendapat tekanan yang sama dengan Mawar. Namun, ketika ada saksi yang meringankan S. Semua jawaban saksi itu ditelan bulat-bulat, tidak ada ungkapan peringatan agar saksi harus berbicara seusai fakta dan tidak boleh berbohong. Padahal saat saksi itu bicara, Mawar mengeluhkan kepada saya, bahwa banyak hal yang tidak benar yang diungkapkan oleh saksi itu.
  5. Ketika si pelaku yang ditanya, terlihat mereka tidak banyak mempersoalkan semua jawaban si pelaku. Padahal kalau saya mencermati banyak sekali celah yang bisa dikonfrontasi dari ungkapan S yang kadang bisa berbeda-beda. Saya tidak mengerti ada apa ini.
Hal yang paling memilukan dari persidangan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Mawar adalah ketika putusan pengadilan tiba. Jaksa menuntut pelaku dengan hukuman yang sangat rendah. Setelah ada pembelaan dengan berbagai argumen, di akhir persidangan vonis hukuman  yang diberikan kepada S adalah hukum kurungan di penjara selama  kurang dari satu tahun.

Saya menceritakan semua kejadian di persidangan kepada teman saya yang merupakan seorang dosen hukum di sebuah universitas negeri. Beliau menyarankan saya untuk menyampaikan hal yang saya temui di persidangan kepada komisi etik kejaksaan. Saya bahkan diberi nomor telepon salah seorang anggota komite tersebut.

Saya ingin sekali mengadukan jaksa yang tidak berperspektif anak ke komite kejaksaan. Saya ingin sekali hal seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Saya ingin hak-hak anak di persidangan dihargai dan dipenuhi rasa keadilan hukumnya.

Setelah saya renungkan kembali.... Akhirnya saya mengurungkan niat saya. Saya tidak ingin melaporkan jaksa tersebut. Kenapa? Bukannya saya takut. Kalau untuk menolong anak-anak saya tidak takut. Saya lebih berpikir bahwa kehadiran saya bukan untuk memberikan keburukan bagi orang lain. Saya ingin ada cara yang lebih baik untuk mengingatkan Jaksa dan semua aparat penegak hukum lainnya, bukan dengan menghancurkan karirnya karena pengaduan saya.

Saya akhirnya minta kepada teman saya yang merupakan seorang wartawan media lokal untuk memuat keluhan saya mengenai persidangan kasus kekerasa seksual ini. Saya beberkan kekecewaan saya tentang jaksa yang tidak berpihak pada korban. Saya juga kecewa  dengan putusan pengadilan yang begitu ringan.

Esoknya berita itu muncul, saya tahu PN dan Kejaksaan berlangganan koran ini. Saya hanya berharap ini bisa menjadi teguran bagi para Aparat Penegak Hukum. Bahwa kerja mereka dilihat banyak orang. Mereka diberi amanah yang besar untuk berlaku adil pada siapapun. Mereka harus sadar bahwa mereka tidak bisa bertindak semaunya. Jika itu mereka lakukan, maka mereka akan merasakan pengadilan yang diberikan oleh masyarakat. Cap buruk  bagi para aparat penegak hukum yang tidak baik akan melekat di mata masyarakat kota itu, di negara  ini, bahkan di dunia sekali pun. Akankah  mereka berani  pertaruhkan reputasi mereka demi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, atau demi-demi lain yang telah menjadi rahasia umum?

* * *

Begitulah perjalanan saya mendampingi Mawar. Penuh diliputi haru biru dan rasa yang tercampur - baur. Meski demikian, saya tetap menjaga profesionalitas saya sebagai seorang relawan. Tujuannya adalah agar saya tetap fokus membantu, mendukung, dan mendampingi Mawar. Saya tidak larut dengan apa yang dialami oleh Mawar.

Saya masih merindukan Mawar hingga saat ini.

Satu hal kesedihan saya yang belum terobati adalah bahwa saya merasa belum bisa mengangkat Mawar untuk lebih berdaya sebagai seorang perempuan yang beranjak dewasa. Saya hanya mampu melakukan pendampingan bagi Mawar...

Semoga Tuhan memberkati Mawar dengan keberkahan yang berlimpah dan kehidupan yang lebih baik kedepannya... Amin YRA..

* * *

photo credits:
mypartyplanner.com 
dailycal.org
universityaffairs.ca

You Might Also Like

0 komentar: