Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH),

Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.1)

14.02 Ena Nurjanah 0 Comments

Slogan  ini  pernah bergaung nyaring dikalangan para aparat penegak hukum

(mengapa sekarang kok redup lagi ?? Padahal sebentar lagi UU SPPA akan diberlakukan- tepatnya tanggal 30 Juli 2014-  Kepada  siapa pertanyaan ini saya ajukan ??). 

Saya juga pernah  melihat slogan itu terpampang di salah satu banner di sudut ruang tamu sebuah panti milik Kemensos.

Slogan itu pula yang selalu menjadi bahan pertanyaan bagi saya. Mengapa hingga saat ini tetap ada lapas anak? Mengapa hingga saat ini hampir sebagian besar aparat penegak hukum - yang tahu slogan itu - tapi kurang punya kemauan kuat untuk menghindarkan anak dari penjara.?

Saya bukan mengada-ada..tapi saya merasakan langsung, mengalami langsung, dan melihat langsung praktek yang ada. Jawaban yang sering saya dengar adalah ”tidak mudah menghindarkan anak pelaku tindak pidana dari jeratan hukum penjara” atau “Anak ini harus diberi efek jera dengan dipenjarakan”. Jawaban yang kedua ini malah semakin membingungkan saya antara slogan yang berseliweran di sekitar aparat penegak hukum dengan praktek yang saya lihat.

Dalam tulisan berikut ini, Saya ingin berbagi kisah pendampingan anak yang terlibat dalam permasalahan hukum. Dalam UU SPPA mereka disebut dengan ABH (Anak yang  Berhadapan dengan Hukum).

Kisahnya lumayan panjang karena memang penyelesaiannya juga membutuhkan waktu beberapa bulan. Saya bersyukur bisa melakukan pendampingan dari awal hingga akhir sebuah putusan pengadilan bagi anak yang menjadi ‘pelaku’. Yang lebih saya syukuri, dengan semua kerja keras yang saya lakukan membuahkan hasil yang membahagiakan. Anak menjalani masa hukumannya di PANTI dan bukan di penjara.

 Slogan ‘penjara bukan tempat terbaik bagi anak’ pada kasus ini benar-benar bisa saya buktikan.

 Saya akan tulis kisah  pendampingan terhadap ABH ini  dalam beberapa kali postingan.

***

Kenangan ini tak pernah bisa saya lupakan, karena benar-benar menguras seluruh energi dan pikiran saya, dan sekaligus memaksa saya  belajar banyak hal di luar segala kemampuan yang saya miliki.

Pendampingan ini berawal dari sebuah berita  mengejutkan menjelang senja sepanjang perjalananan dalam kemacetan Jakarta. Waktu itu bulan februari tahun 2011.

Dua  anak kelas 6 SD  yang merupakan teman  bermain bertengkar dan berujung pada penusukan oleh salah satunya.

Berita yang tersiar di radio tersebut dengan cepat menjadi trending topik di berbagai media. Sungguh peristiwa yang sangat luar biasa. Seorang anak kecil mampu menusukkan pisau ke temannya sendiri sebanyak hampir 16 tusukan.

Semua yang mendengar berita tersebut pasti terbelalak dan sontak berujar “kok bisa??”. Ya...Mengapa tindakan kriminal itu bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh anak berumur 12 tahun. Tak habis pikir..tapi..itulah kenyataan yang bisa kita saksikan. Anak menjadi brutal dan bersikap layaknya orang dewasa. Sangat di luar dugaan dan diluar batas nalar orang normal.

Peristiwa itu terjadi di kota saya. Otomatis ini menjadi tugas saya selaku pengurus lembaga  yang bergerak melakukan perlindungan terhadap anak.

Kami mengontak radio tersebut untuk meminta klarifikasi sekaligus data lengkap korban dan keluarga korban yang bisa kami hubungi.

Menjelang Isya saya baru tiba di rumah. 
Karena kondisi yang serba darurat saya tetap melakukan koordinasi dengan berbagai pihak di malam itu juga. Saya mengontak dinas kesehatan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis
.
***

Keesokan harinya saya berkunjung ke rumah sakit pemerintah di bilangan Jakarta Selatan. Kondisi korban yang luar biasa parah membutuhkan penanganan    disebuah rumah sakit besar yang lengkap dan itu adanya di Jakarta, tetangga kota kami. Saya datang beserta para petinggi pemerintahan setempat. Saya mencermati situasi yang ada di rumah sakit. Memang terlihat semua jajaran pemerintahan antusias. Apakah karena kasusnya lagi ramai jadi pemberitaan atau berebut simpati masyarakat. Saya tidak tahu..itu tidak penting bagi saya.

Saya fokus bertemu dan mengenalkan diri saya kepada orangtua dan kerabat korban. Saya berjanji akan datang ke rumah orang tua korban untuk melakukan pendampingan korban. Saya akan membantu berbagai hal yang diperlukan  korban.

Saya sempat masuk ke ruang ICU. Melihat langsung kondisi korban yang sedang terbaring pucat. Dokter menjelaskan perkembangan kondisi korban serta langkah-langkah yang sudah dan akan dilakukan terhadap korban.

Sebelum meninggalkan rumah sakit saya berpamitan dengan orang tua korban dan meminta izin untuk datang ke rumah beliau.

****

Selepas dari rumah sakit....

Saya masih dihadapkan pada satu persoalan lagi.  Bagaimana dengan  ‘Pelaku’?. Siapa yang akan mendampingi anak ini? Karena ia juga masih anak-anak. Baru berumur 12 tahun.

Hingga saya pulang  dari rumah sakit menjenguk korban, tak terdengar satu pun bantuan diberikan untuk mendampingi pelaku yang nota bene anak-anak juga. Ada kesedihan yang menggumpal melihat kenyataan yang ada. Banyak pihak yang menyatakan diri sebagai pelindung hak-hak anak, aktivis anak, namun  pada kenyataanya, dalam kasus ini mereka hanya bersikap sebagai pengamat.

Saya pun ingin menjerit dengan kondisi ini. Kemana perginya para aktivis anak??... Mengapa tidak ada yang tergerak dengan kasus yang ramai jadi pemberitaan ini?  Sungguh suatu kondisi yang sangat tidak bisa saya mengerti...

Bagi saya.. ketika saya siap berada di lembaga perlindungan anak ini , berarti saya menyadari sepenuhnya  konsekuensinya. Itu artinya  saya siap  menolong anak-anak yang tercabut hak-hak nya, menolong anak-anak yang kurang beruntung. Tidak ada alasan lain.

Mungkin....memang begitulah dunia kaum volunteer.  Sukarelawan.. Hanya segelintir yang benar-benar siap dengan segala kerja tanpa bayaran..

Pada akhirnya....Saya kembalikan semuanya kepada yang di Atas. Cukup kepadanya Saya berkeluh kesah. Setelahnya Saya harus bangkit untuk menolong anak-anak.

Kejadian yang menimpa dua anak  yang berkonflik ini benar-benar  jadi  persoalan tersendiri . Saya tahu... sungguh tidak pantas, tidak layak dan tidak semestinya saya melakukan pendampingan terhadap korban sekaligus  pelaku.

Saya tahu akan terjadi konflik antara dua kepentingan. Kepentingan korban dan pelaku sekaligus. Namun....kepada siapa saya harus mengadukan?? Kepada siapa saya minta bantuan?? Bukan Saya mau jadi pahlawan kesiangan..tapi kenyataan di lapangan sungguh mengenaskan...Tak ada yang tergerak untuk mendampingi si pelaku.

Akhirnya.. mau tidak mau..suka tidak suka..entah benar atau salah.. saya tetap jalan..Saya melakukan pendampingan terhadap kedua anak ini.

Patokan saya dalam melakukan pendampingan adalah hak-hak anak dan Undang-Undang yang melekat bagi kepentingan terbaik bagi anak. Saya berkomitmen akan melakukan apapun untuk keduanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan anak. Saya menyayangi mereka berdua. Saya akan berusaha bersikap adil dalam menolong mereka berdua.  

Dari titik berpikir itu  saya merasa agak tenang melangkah. Saya akan jalanin peran saya sebagai pendamping anak bagi kedua anak ini. Semampu saya dan seadil mungin yang bisa saya lakukan.

Waktu  berjalan cepat, saya tidak bisa menunggu ada orang yang mau menolong anak-anak ini. Saya harus tetap bergerak, meski demikian saya siap terbuka untuk menerima sekiranya ada orang lain yang siap mendampingi salah satu dari anak ini.

Sejak peristiwa itu, saya berusaha belajar banyak, belajar cepat. Bagaimana menolong anak yang berhadapan dengan Hukum. Back ground saya adalah ilmu psikologi, namun saya sekarang harus tahu tentang hukum. Saya mencermati media. Saya beli buku tentang hukum.  Saya membaca ulasan dari banyak tokoh hukum.

Saya juga pasang telinga jika ada yang siap membantu anak-anak ini. Saya banyak bertanya tentang hukum kepada para ahlinya. Saya bertanya pada dosen hukum,  pada pengacara, pada aktivis anak di luar daerah saya dan juga bertanya pada para pekerja sosial. Semua saya lakukan demi bisa menjalankan pendampingan secara  maksimal.  

***

Pagi hari saya menjenguk korban di rumah sakit. Siang harinya saya menjenguk pelaku. Pelaku di tempatkan di Polsek yang memiliki sel yang layak bagi anak.
Syukurnya saya sudah mengenal dengan baik kepala unit PPA , jadi ketika saya utarakan maksud saya ke petugas polsek pada hari itu, mereka memberikan izin kepada saya  untuk bertemu dengan anak itu.
 terhenyak kaget melihat wajah dan perawakan pelaku.

Ia hanyalah seorang anak dengan wajah yang begitu polos. Berulang kali dia ucapkan “Saya menyesal Bu.. Saya menyesal.. Bagaimana kabar S (korban ), Bu? Dia bisa sembuh, kan Bu? Waktu itu saya gelap mata Bu…” A (nama pelaku) langsung menyerocos panjang mengungkapkan penyesalannya dengan amat sangat. Ketika saya katakan bahwa saya baru saja menjenguk S tadi pagi, A menjadi begitu bersemangat dan bertanya-taya tentang kesehatan S.

Saya tunjukkan  foto S yang sedang terbaring lemas di tempat tidur. Raut wajah A tampak sedih melihat kondisi kawan sepermainannya itu. Ia kasihan melihat S, dan juga terlihat begitu menyesali perbuatannya. Saya menanyakan kabar A. Rupanya dia begitu menginginkan untuk bertemu dengan ibunya yang saat ini sedang berada di luar Jawa. A juga mengatakan bahwa sang ibu sedang dalam perjalanan dari luar jawa menuju rumah kakak A—tempat di mana ia tinggal selama ini.

Saya pun bebincang-bincang dengan A, juga menasehatinya. Saya mendorongnya untuk lebih tekun dalam beribadah selama berada dalam tahanan agar bisa lebih tenang dalam menghadapi berbagai cobaan, terlebih atas apa-apa yang menimpanya akibat perilaku yang telah ia lakukan kepada temannya.

A masih anak-anak. A juga saat ini masih duduk di bangku kelas enam SD. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupnya yang akan dia hadapi kedepannya, terutama menyangkut hal pendidikan.

Kalau tidak ada yang menolong A, maka masa depannya tidak akan  cerah. Ia bisa saja jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi.
Saya tahu, saya  sadar,  dan saya harus melakukan sesuatu untuknya.
 ......

Untuk melihat kelanjutannya, silahkan menuju halaman: Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.2)

You Might Also Like

0 komentar: