Kesalahan Orangtua pada Remaja




Membesarkan anak remaja memang pekerjaan yang sangat menantang. Banyak orangtua yang berusaha keras menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada si remaja, namun tidak sedikit juga orangtua yang berpikir sebaliknya: menganggap cara yang mereka lakukan adalah sudah yang terbaik. Mereka umumnya menolak untuk dikritik, merasa apa yang mereka lakukan sudah benar, sudah sama dengan apa yang dulu orangtua mereka lakukan. 

“Yang namanya anak harus nurut apa kata orangtua, titik!”
Begitu kira-kira  pendapat sebagian besar para orangtua.

Orangtua harus menyadari bahwa dunia sudah berubah, dan akan terus berubah. Akan selalu ada kemajuan zaman dalam setiap perkembangan laju kehidupan, juga perubahan cara membimbing remaja seiring dengan perubahan zaman. Begitu juga dengan cara-cara menghadapi si remaja harus ada penyesuaian dengan kondisi  kekinian, walaupun tentu saja nilai-nilai yang dianut atau dipegang suatu keluarga tetap dijaga.

Remaja sekarang mendapatkan pengetahuan lebih banyak dan akses mendapatkan informasi yang lebih mudah dibandingkan dengan zaman dulu. Era keterbukaan informasi memudahkan remaja mendapatkan pengetahuan namun sekaligus juga tantangan, karena di satu sisi si remaja juga harus siap  menghadapi  gencarnya paparan budaya permissive, budaya serba bebas yang bertentangan dengan budaya lokal. Jika tidak hati-hati akan membuat si remaja terjerumus gaya hidup yang salah.

Orangtua harus menyadari akan perubahan zaman yang ada. Sehinga, tidak  memaksakan penerapkan pola lama saat menghadapi si remaja. Saat ini si remaja memiliki banyak pilihan menghadapi kehidupannya disbanding zaman orangtua mereka. Si remaja begitu mudah beralih mencari kehidupan yang menyenangkan bagi dirinya bersama teman-temannya, jika ia merasa tidak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Orangtua yang hanya mau didengar tanpa mau mendengar  apa yang diinginkan anak, apa yang diharapkan anak, hanya akan membuat anak semakin tertekan dan menjauh dari orangtua.

Bagi remaja, kedekatan  dengan teman-temannya menempati urutan pertama dibandingkan dengan kedekatan dengan  orangtua. Pada umumnya, masa remaja masa ingin memisahkan diri dari orangtuanya dan tidak ingin  dianggap kanak-kanak lagi. Jadi, sangat bisa dimaklumi ketika para orangtua bersikap otoriter terhadap remaja, maka semakin jauh lah mereka dari orangtuanya. Bisa kita saksikan banyak  remaja  enggan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya yang  mereka  anggap keras, kaku, dan kuper menurut bahasa mereka. Sehingga, saat ayah atau ibunya menelpon atau berkirim pesan, jawaban si remaja pasti tidak  lebih dari ”ya, tidak atau tidak tahu”. Mereka jadi  enggan berkomunikasi dengan orang tua mereka. Beda hal nya ketika mereka bersama dengan teman-temannya, bahkan waktu mereka seringkali habis hanya untuk berkumpul dengan teman-temannya. Remaja juga menjadi lebih sulit untuk diajak orangtuanya untuk ikut acara keluarga atau acara yan melibatkan anggota keluarga. Mereka lebih memilih pergi bersama dengan teman-temannya.

Lebih memilih  bergaul dengan teman dan berusaha memisahkan diri dengan orangtuanya adalah suatu hal yang biasa terjadi pada  usia remaja. JIka ditambah dengan ketidak siapan orangtua menjadi teman bagi si remaja, maka semakin jauhlah si remaja dengan orangtuanya. Si remaja sedang belajar mandiri, belajar memisahkan diri dari orangtua , belajar  menjadi dewasa dengan berusaha melepaskan ketergantungan secara emosional dengan orangtuanya

 JIka ternyata didapati  hubungan orangtua dengan si remaja semakin buruk, apa yang sebaiknya dilakukan  orangtua? Apakah dengan bersikap semakin keras pada anak?  agar anaknya tetap menjadi anak yang penurut dengan perkataan orangtuanya, tidak membantah orangtuanya. Dengan harapan anaknya tetap menjadi  remaja yang baik, tidak terpengaruh berbagai keburukan. Atau justru menuruti semua kemauan si remaja agar ia tidak menjauhi orangtuanya .

 Jelas, harapan orangtua adalah yang terbaik bagi si remaja. Namun, cara yang tidak tepat justru dapat menjauhkan si remaja dari orangtuanya. Membuat si remaja jadi sangat membenci orangtuanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, si remaja justru melakukan pelanggaran susila hanya untuk menunjukkan pemberontakannya atas sikap orangtuanya yang sangat keras dan selalu memaksakan kehendaknya dalam mendidik anaknya. Merasa dibatasi untuk berpendapat, tidak boleh ada bantahan. Kalau kondisinya sudah demikian, maka semakin beratlah usaha orangtua untuk mendidik si remaja.

 Bersikap sangat permisif pun bukan solusi yang tepat. Sikap permisif hanya akan mendorong remaja kebingungan, tidak tentu arah, tidak tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Sikap permisif hanya akan membuat remaja kurang punya  perhitungan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Para orangtua  harus menyadari bahwa si remaja bukan anak kecil lagi. Menjadi remaja adalah saatnya menguji keterampilan hidup (life skill) mereka.

Remaja juga umumnya lebih moody  dibandingkan  masa kanak-kanak. Banyak  hal-hal baru yang dirasakan oleh para  orangtua dengan sikap si remaja ini. Kehidupan remaja memaksa  para orangtua untuk  memikirkan berbagai hal baru mengenai kehidupan remaja seperti munculnya kebiasaan pulang larut malam, mulai punya   pacar, dan pergaulan dengan teman-temannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa membimbing   remaja  ibarat menguji batas kesabaran  para orangtua. Remaja  sebenarnya masih memiliki sifat kanak-kanak , mereka masih tetap butuh orangtua namun seringkali mereka berusaha menyangkalnya.
Membangun hubungan orangtua dengan remaja  kuncinya adalah mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari . Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang sering tidak disadari oleh para orangtua ketika mereka membimbing remaja.

1. Tanpa disadari orangtua sering  membuat harapan yang terburuk bagi anak

Banyak para orangtua yang menganggap  membesarkan remaja sebagai cobaan berat , mereka merasa  tak berdaya ketika anak mereka berubah menjadi pribadi yang terduga, sulit bahkan seperti monster yang tidak bisa disentuh.

Ada yang perlu dicermati, orang tua seringkali memberikan pesan dengan berfokus pada hal negatif  . Mereka lebih sering mengungkapkan larangan-larangan yang harus dijauhkan ketimbang memberi saran untuk melakukan hal-hal yang positif.
 Contohnya : Para orangtua menganggap bahwa  “anak yang baik itu jika tidak melakukan hal-hal buruk” “ Kamu harus jadi anak yang baik, jauhi  narkoba, jauhi pergaulan dengan orang-orang yang salah,  jauhi perilaku seks bebas”.  Apa yang dimaksudkan oleh orangtua benar adanya. Namun, jika hanya mengedepankan hal-hal negative tanpa ada sedikitpun dorongan yang bersifat positif, hanya akan menanamkan hal-hal negative tersebut dalam benak si remaja.

Hal ini bisa menjadi self-fulfilling prophecy. Harapan akan sesuatu yang negative, justru akan mempromosikan perilaku negative tersebut. Karena hal-hal negative tersebut yang terus menerus didengar oleh remaja , maka hal buruk  tersebut menjadi tertanam kuat dalam benak si remaja dan justru mendorongnya mendekati perilaku negatif itu.

Yang sebaiknya dilakukan oleh  orangtua adalah  berfokus pada minat dan hobi remaja. Sekalipun orangtua tidak terlalu memahami bidang yang diminati anak, tetap lah berusaha memberikan dukungan. Apa yang dilakukan oleh orangtua akan  membuka  jalan terjalinnya komunikasi dengan si remaja. Sekaligus membangun hubungan yang baik dengan si remaja yang  disayanginya. Di satu sisi juga mendorong  orangtua ikut  belajar sesuatu yang baru.

2. Orangtua seringkali hanya berfokus pada buku yang dibacanya.

Para orangtua seringkali  lebih mendengarkan saran para ahli dari buku ketimbang  mempercayai naluri mereka  dalam membimbing si remaja . Hal ini bukan berarti membaca buku tentang parenting tidak baik. Ilmu selamanya akan selalu bermanfaat. Buku akan  menjadi masalah ketika orangtua menggunakannya untuk menggantikan keterampilan bawaan mereka sendiri.

Sering terjadi, ketika  rekomendasi dan gaya pribadi mereka tidak cocok dengan apa yang mereka baca dalam buku, orang tua menjadi cemas dan kurang percaya diri.

Langkah yang terbaik adalah gunakan  buku untuk memperoleh perspektif  baru tentang perilaku remaja  yang membingungkan dan perlu dicari referensinya  -  kemudian simpan bukunya dan yakinkan bahwa Anda telah mempelajari apa yang Anda butuhkan. Yakinlah bahwa anda lah yang tahu tentang apa yang paling penting bagi Anda dan si remaja.

3. Orangtua seringkali  terlalu berlebihan untuk hal-hal yang kecil

Kadang orang tua bersikap sangat protektif. Mereka berusaha menghindarkan remaja dari kepedihan, kekecewaan dan kegagalan, sehingga si remaja kehilangan kesempatan untuk belajar tentang dunia nyata.

Orangtua harus bisa melihat gambaran besar dari kehidupan remaja, jika apa yang dilakukan si remaja masih dalam taraf yang wajar maka beri kelonggaran  pada si remaja untuk membuat keputusan sendiri  sesuai dengan usianya dan biarkan mereka belajar menerima konsekuensi dari pilihannya.
Kecuali  jika orangtua mendapati si remaja cenderung melakukan perbuatan yang berresiko bagi kesehatan maupun keselamatannya maka selayaknya   peran orangtua untuk mengambil sikap.

Kadang orangtua tidak suka melihat potongan rambut atau gaya berpakaian anaknya. Atau tidak suka ketika anaknya tidak dilibatkan dalam suatu pertandingan. Orangtua banyak ikut campur mengatur penampilan ataupun kegiatan anak. Dalam hal ini, sebelum orang tua ikut terlibat coba  lihat gambaran besarnya. Apakah yang dilakukan  anak sangat membahayakan atau tidak . JIka tidak membahayakan,  berilah kelonggaran pada anak untuk memutuskan sendiri. Biarkan ia belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri sesuai dengan tahapan usianya. Hal ini  sekaligus menjadi kesempatan  bagi anak untuk belajar  menerima  konsekuensi dari pilihannya.

"Banyak orang tua tidak ingin anaknya tumbuh dengan merasakan  rasa sakit, kekecewaan, atau kegagalan" . Padahal sikap melindungi remaja dari realitas kehidupan, justru menghilangkan kesempatan  berharga untuk belajar mandiri.

4. Orangtua kadang mengabaikan masalah besar

JIka orang tua menemukan bukti kecurigaan bahwa si remaja mengkonsumsi alcohol atau obat-obatan maka orang tua harus segera mengamambil tindakan. Jangan biarkan bukti kecurigaan itu  hingga menjadi masalah yang berat dan sulit teratasi.

Usia 13 – 18 tahun adalah saat-saat sangat kritis agar para orangtua bisa dekat dengan si remaja. Remaja masih  sangat labil,  kondisi emosionalnya sangat fluktuatif, perlu untuk terus ada orangtua yang  hadir ditengah-tengah kehidupan mereka .

Orangtua harus  perhatian, bersikap tegas dan segera mencari solusi jika melihat  perubahan penampilan remaja yang  mencolok  dan membahayakan, seperti wajah yang terlihat kuyu dan terlihat tidak bugar, prestasi akademis yang menurun drastis, atau juga pergaulan dengan teman dari geng yang tidak baik.

5. Penerapan disiplin  yang terlalu berlebihan  atau  justru terlalu sedikit.

 Beberapa orang tua, merasakan kehilangan kontrol atas perilaku remaja mereka, sehingga bersikap reaktif   setiap kali si remaja melanggar aturan. Ada juga orangtua yang justru menghindari semua konflik karena takut remaja mereka  kabur.
Para orangtua  tidak perlu melakukan salah satu dari hal di atas. Apa yang dirasakan oleh orangtua adalah berkaitan dengan bagaimana menemukan keseimbangan antara ketaatan dan kebebasan.

Jika orangtua  terlalu menekankan  ketaatan, bisa jadi hal ini membuat remaja  selalu mendapat hukuman. Berapa harga yang harus dibayar dengan sikap seperti ini ? Remaja yang dibesarkan di lingkungan yang kaku akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam memecahkan masalah atau keterampilan kepemimpinan - karena semua keputusan ada pada orangtua.

Namun terlalu sedikit disiplin juga tidak  tepat.  Remaja membutuhkan kejelasan sikap  dan aturan dalam kehidupannya agar nantinya mereka mampu menjelajahi dunia luar.

Orangtua  harus bisa membuat aturan  nilai-nilai inti keluarga  dan mengkomunikasikannya dengan remaja, baik melalui kata-kata maupun tindakan. Jadilah  orangtua yang otoritatif, pendekatan yang membantu anak-anak mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan  dengan cara yang tepat.

Apa yang dilakukan oleh orang tua  terhadap remaja  memiliki  pengaruh  sangat dalam bahkan  melebihi dari apa  yang   orangtua pikirkan. Hubungan yang baik antara orangtua dan remaja  membuat remaja ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang tuanya. Kelekatan yang baik dengan orangtua membuat mereka  siap menghadapi tantangan dunia luar. Ketika orangtua tidak ada didekat mereka,  mereka tetap berpegang pada pondasi yang tertanam  kokoh dalam diri mereka.

Jika orangtua menemukan  remaja dalam masalah , bantulah bagaimana cara   menghadapinya terutama masalah  yang membahayakan keselamatan. Diskusikan dengan mereka, berikan solusi yang membuat mereka nyaman. Jangan bertindak seperti menginterogasi , tapi buatlah percakapan yang menarik bagi si remaja.

Orangtua biasanya menganggap bahwa perasaan yang baik itu menyehatkan. Namun demikian, tidak selamanya remaja hanya tahu perasaan yang baik saja. Setiap orang perlu tahu bagaimana rasanya  perasaan buruk terutama ketika menyakiti hati orang lain atau melakukan suatu kesalahan. Adanya rasa bersalah harus  bisa dirasakan  oleh seorang remaja, Karena bentuk perasaan seperti itu merupakan emosi yang sehat ketika dia membuat kesalahan atau menyakiti hati orang lain.

Orangtua juga perlu menyadari bahwa tindakan nyata  lebih bermakna dari pada hanya sekedar  kata-kata. Oleh karena itu remaja perlu melihat contoh dari orangtuanya mengenai moral yang baik dan juga standar etika sejak dia masih  kecil. Sehingga, disaat ia menginjak remaja , ketika berhadapan dengan berbgaai  situasi , ia mampu menghadapinya karena  punya contoh model yang baik dari orang tuanya.



Referensi: 
http://www.webmd.com/parenting

Memupuk Semangat Mendampingi si Kecil yang Sakit Berat, Pentingnya Peran Seorang Caregiver


Hidup bahagia dalam sebuah keluarga dengan anak-anak yang sehat dan pintar adalah dambaan hampir setiap orangtua. Namun pada kenyataannya, harapan itu tidak selalu  terkabul. Dalam kehidupan, kita harus menerima kenyataan bahwa ada saja hal-hal yang tidak  diharapkan terjadi dan menimpa kita. Ada kesedihan yang dialami, juga kepedihan yang  dirasakan. 

Salah satu kondisi yang tidak sesuai harapan adalah ketika mengetahui anak kita divonis menderita penyakit berat yang sulit disembuhkan, penyakit kanker misalnya. Saat pertama kali berita itu sampai ke telinga, respon pertama pada umumnya adalah shock. Tidak menyangka kalau hal itu bisa terjadi pada buah hati yang selama ini sudah kita rawat dengan penuh cinta, bahkan kita pun sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan penyakit dengan rajin memberikan imunisasi sejak anak lahir. Tapi, itulah fakta dan takdir yang mungkin harus kita hadapi. Kita mungkin akan kaget dan tidak percaya atas apa yang kita dengar, pun ada rasa tidak percaya atas apa yang disampaikan oleh dokter. Kita mencoba menolak informasi tersebut dan berusaha mencari second opinion untuk meyakinkan mudah-mudahan dokter salah melakukan diagnosa. Merasa berita itu tidak benar karena kita sudah memberikan perawatan yang sangat baik kepada anak hingga saat ini. 

Mungkin juga ada perasaan marah kepada pasangan hidup; berpikir ‘Ini pasti gara-gara si ibu yang pernah lalai dalam merawat’; ‘ini pasti ada turunan dari si bapak yang tidak pernah di ceritakan kepadanya’; dan masih banyak lagi kemarahan yang terlintas di benak kita selaku orangtua. Kadang pula muncul pikiran ‘mengapa bukan saya saja yang sakit’; ‘Mengapa harus anak yang masih kecil?’; ‘mengapa harus keluarga kami yang mendapatkan musibah ini?’

Semua perasaan berkecamuk dalam diri hingga pada akhirnya sampai pada tahap harus menerima keadaan dengan perasaan teramat sedih, apalagi ketika melihat wajah anak yang sakit. Dari situ mulailah terpikir untuk mencari berbagai solusi yang bisa dilakukan bagi kesembuhan anak. Harus diingat bahwa semakin cepat orangtua menerima kenyataan (walaupun tentu saja rasa sedih itu tidak bisa hilang), maka semakin cepat pula orangtua bisa segera memberika solusi terbaik bagi anaknya.

Orangtua yang harus merawat anak yang menderita sakit berat tentu bukan perkara mudah, karena akan begitu banyak hal-hal yang harus diperhatikan dan dilakukan. Mulai dari membawanya ke rumah sakit, kunjungan rutin ke dokter, memeriksakan ke lab, mengatur jadwal minum obat, mengatur pola makan, dan lain sebagainya. Semua itu tidak ringan, bahkan bisa menguras seluruh energi baik fisik maupun psikis.

Bagi para orangtua atau siapapun yang merawat, mendampingi, atau membantu seluruh kebutuhan dan keperluan pasien biasanya disebut dengan istilah caregiver. Di Negara-negara maju, caregiver sudah mendapat perhatian yang serius. Caregiver menjadi bagian tersendiri yang harus diperhatikan kebutuhannya dengan layak. Mengapa demikian? Karena pekerjaan caregiver itu maha berat dan sangat menentukan bagi pasien. Jika caregivernya stress, kelelahan fisik dan psikis, maka akan berdampak pada menurunnya kualitas pendampingannya. Hal tersebut bisa menyebabkan pasien menjadi semakin sakit, karena perlakuan caregiver yang tidak tepat atau tidak tulus lagi.

Kelelahan fisik dan psikis yang dialami caregiver adalah suatu hal lumrah terjadi. Tidak ada manusia super. Sehebat apapun, sekuat apapun seseorang, ia akan mengalami fase kelelahan, kejenuhan, bahkan kehilangan semangat hidup. Kalau sudah demikian, apa yang bisa diperbuat oleh caregiver? Harus kah hanya berpasrah saja dengan keadaan. Membiarkan kualitas perawatannya  terus menurun? 

Seorang caregiver, tetaplah seorang manusia biasa yang harus terpenuhi kebutuhannya secara layak. Hanya saja, dengan kondisi yang sedikit berbeda. Mereka memiliki tanggung jawab penuh dalam kesehariannya untuk merawat anak sakit, dengan perlakuan yang lebih dari anak-anak yang sehat. 

Menjadi caregiver akan dihadapkan dengan berbagai masalah yang tidak bisa dibilang ringan. Orangtua yang menjadi caregiver bagi anaknya atau siapapun yang menjadi caregiver bagi keluarganya pasti mengalami masalah keuangan; bagaimana biaya pengobatan, biaya perawatan agar yang sakit bisa merasa nyaman meski dalam keadaan sakit berat. Kemudian, masalah fisik; kelelahan, kurang tidur, tugas rutin di rumah yang menumpuk. Yang ketiga masalah emosional; merawat orang sakit pastinya akan selalu menguras emosi, ada perasaan sedih, kasihan, kecewa bahkan marah. Dan yang terakhir adalah masalah dalam hubungan sosial maupun hubungan personalnya. Waktu nya akan semakin berkurang untuk berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain, dengan teman-teman, tetangga bahkan sekedar untuk ngobrol dengan seseorang via telpon pun terasa menjadi sulit.

Caregiver seharusnya bisa tetap memenuhi kebutuhannya sebagaimana orang lain yang tidak menjadi caregiver. Seorang caregiver tidak harus terus menerus bersedih dan mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap si sakit hingga mengabaikan kebutuhannya sendiri untuk beristirahat, merasakan kesenangan seperti waktu sebelum ia menjadi caregiver. Pergi rekreasi sering dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang caregiver pada saat ada  anggota keluarganya yang menderita sakit.

Apakah memang demikian seharusnya? Lalu, di mana sisi kemanusiannya harus  ditempatkan seorang caregiver? ketika ia terpuruk dengan semua tanggung jawab, ia letih, kelelahan dan hampir putus asa.

Sebaagi seorang caregiver, seharusnya tetap bisa mendapatkan hak-hak nya sebagai manusia normal dengan segala kebutuhan fisik dan psikisnya. Hanya saja semua kebutuhan itu sekarang harus disesuaikan dengan tanggung jawab perawatan terhadap yang sakit.

Seorang caregiver harus mampu menjadikan dirinya berdaya, tetap semangat dalam melakukan perawatan dengan terus menjaga komitmen bahwa apa yang ia lakukan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai. Berfokus hanya pada hal-hal yang mampu ia kontrol seperti berobat rutin, minum obat, makan yang sehat dan terjaga. Jangan berfokus pada hal-hal diluar kendalinya, seperti berpikir terus bagaimana kalau si sakit tambah parah, tidak bisa diobati, dan lain-lain. Karena hal-hal diluar kendalinya hanya akan membuatnya bertambah stress. Berusahalah untuk bisa mendapat bantuan dari pihak keluarga, berbagilah sekali waktu dengan yang lain dalam merawat si sakit. Agar caregiver bisa berbagi perawatan dengan keluarga atau sahabatnya, sebaiknya caregiver punya catatan kegiatan sehari hari yang dilakukan terhadap si sakit, kegiatan selama seminggu itu apa saja, atau catatan penting lainnya tentang si sakit sehingga ketika caregiver ingin meminta bantuan, orang lain pun dengan mudah menggantikannya dan caregiver tetap merasa nyaman dengan bantuan yang diberikan oleh orang lain. Hal ini karena mereka tahu persis apa yang harus mereka lakukan bagi si sakit. Jangan ragu untuk meminta bantuan, karena orang lain pun biasanya turut prihatin dan ingin sesekali  meluangkan waktu untuk membantu.

Sediakan waktu bagi caregiver untuk beristirahat. Jika ada bantuan manfaatkanlah waktu yang ada untuk menyenangkan diri sendiri. Waktunya bisa digunakan untuk tidur, nonton film kesukaan, karaokean, ke luar rumah untuk jalan-jalan atau mengunjungi tetangga yang dekat , bisa juga rekreasi ke tempat yang dekat yang tidak memakan waktu terlalu lama. Semua itu pantas dan memang seharusnya bisa tetap dilakukan oleh seorang caregiver. Caregiver tidak harus merasa bersalah karena meninggalkan sejenak si sakit untuk menyenangkan diri sendiri. Caregiver tidak bisa dikatakan egois hanya karena ia mementingkan diri sendiri pada saat itu. Justru, apa yang dilakukan oleh caregiver akan dapat meningkatkan kualitas perawatnya terhadap si sakit. Caregiver akan kembali melayani si sakit dengan perasaan bahagia. Bahagianya seorang caregiver akan berpengaruh meningkatkan kualitas layanannya.
Yang terakhir adalah jaga kesehatan. Caregiver  selalu dituntut menjadi orang yang selalu sehat, tidak boleh sakit, tidak boleh lelah. Meski semua orang tahu, manusia tidak selalu dalam keadan prima, tapi itulah yang terjadi. Oleh karena itu, caregiver harus tetap mengutamakan dirinya pergi ke dokter jika memang dirasaka dirinya kurang sehat. Tetap kunjungi dokter untuk jadwal  yang sudah rencanakan bagi dirinya sendiri. Rajinlah berolah raga agar tubuh tetap bugar dan tidak mudah sakit. Meditasi juga sangat baik untuk menenangkan dirinya. Membuatnya sehat secara lahir dan bathin. Jangan lupa untuk tetap mengkonsumsi makanana yang sehat dan bergizi, tidak mesti mahal untuk mengkonsumsi makanan sehat, yang dibutuhkan adalah komitmen untuk tetap menjaga dirinya melalui asupan makanan yang sehat dan jangan lupa tidur yang cukup, karena jika kurang tidur akan berdampak pada keluhan-keluhan yang akan mengganggu aktivitasnya dalam merawat si sakit.

Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari para penganut agama adalah agar para caregiver tetap mendekatkan diri pada Tuhan dengan rajin menjalankan kewajiban sebagai umat beragama. Hal ini bisa menjadi salah satu cara mengurangi beban mental yang dirasakan. Kepasrahan hati pada sang pencipta, akan menenangkan dirinya atas apa yang dialami dan dijalaninya.

Sehatnya seorang caregiver secara fisik dan psikis akan berdampak sangat nyata bagi kesehatan dan kebahagiaan si sakit. Jadi, jangan mengabaikan kebutuhan fisik dan psikis dari para caregiver. 

Dari berbagai sumber

Anak Juga Punya Harga Diri (Kiat Menghadapi Perkembangan Anak)


Kita mungkin pernah melihat orangtua marah-marah melihat anaknya yang tidak mau bicara saat ditanya oleh orang yang baru dikenalnya. 
“Kok ga mau jawab sih?” 
“bikin malu papah aja, segitu aja ga bisa jawab?” ungkap kemarahan seorang ayah atas ketidak-pede-an anaknya untuk menjawab pertanyaan teman ayahnya.

Cerita lain adalah saat anak yang batal tampil di panggung karena malu, hingga orangtuanya merasa jengkel dengan kelakuan anaknya. Atau, kita pernah juga melihat orangtua yang mencela anak yang salah mengancingkan baju: 
“Ya ampuun kamu ini payah banget sih, pake baju gitu aja engga bisa!”

Kita juga sering melihat orangtua yang tidak sabaran melihat anaknya makan berantakan. Sang ibu segera mengambil peralatan makan, menyeka mulut  anaknya, membersihkan lantai yang berantakan  kemudian menyuapi anaknya sambil memarahinya:
“Kalau  ga bisa makan sendiri jangan sok-sok an, jadi tumpah-tumpah makanannya, kamu bikin mubazir saja!”

Atau… Orangtua yang mencoba memberi kesempatan anaknya belajar makan sendiri, namun ibu tidak henti-hentinya mengelap mulut anaknya setiap kali sang anak selesai memasukan makanan ke mulutnya.

Orangtua seringkali tidak paham  kondisi yang tepat kapan harus bersabar dan kapan harus segera bertindak membantu.

Padahal sikap-sikap  tersebut memiliki pengaruh bagi perkembangan harga diri anak. Dengan dunia yang semakin maju dan berkembang pesat, kita pasti ingin memiliki anak-anak yang hebat bisa menguasai dunia, atau minimal anak-anak kita mampu eksis menjadi bagian dari angggota masyarakat dunia. Maka, langkah awalnya adalah bagaimana agar anak mampu menguasai dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, dan menghargai dirinya sendiri. 

Sudah saatnya orangtua belajar melakukan yang terbaik bagi perkembangan buah hatinya. Karena faktor terbesar keberhasilan anak ada ditangan para orangtua. Seorang anak juga sama seperti manusia pada umumnya. Sama seperti orang dewasa, punya harga diri. Meskipun tentu saja (ada yang tetap harus diingat), jangan pernah jadikan anak seperti miniatur orang dewasa. Anak bukan orang dewasa.

Harga diri anak dibangun melalui interaksi dengan orang di sekelilingnya. Interaksi pertama dimulai dengan orang-orang terdekatnya seperti ayah dan ibu, kemudian keluarga besar, guru, teman sebaya dan masyarakat sekitar. Mereka semua turut berkontribusi terhadap proses pembentukan identitas diri dan harga diri anak.

Seorang  psikolog, Erik Erikson menjelaskan proses pembentukan identitas diri melalui teori perkembangan psikososial. Menurut beliau ada 8 tahap pencapaian identitas diri. Dimulai sejak  bayi baru dilahirkan hingga usia senja. Pembahasan kali ini  khusus terkait dengan tahapan yang terjadi saat usia anak, yaitu tahap 1 sampai 4.

Setiap tahapan yang berhasil dilewati anak dengan baik akan terus terbawa dan mewarnai tahapan selanjutnya. Demikian juga seandainya tidak berhasil melalui tahapan sebelumnya maka akan berpengaruh dan memperberat usaha anak untuk meraih identitas diri maupun keberhargaan diri di tahap selanjutnya. Perlu dipahami bahwa anak tidak menuntut orangtua yang sempurna. Melainkan orang tua yang bisa memberikan keseimbangan dalam pengasuhan. 


Yuk kita simak, Empat Tahap Pembentukan Harga Diri Anak: 

Tahap Pertama  “Trust vs Mistrust” ( 0 – 18 bulan)
Pada tahap ini bayi membentuk perasaan ‘trust vs mistrust’ (percaya vs curiga) terhadap orang dan lingkungannya.

Bayi yang baru lahir pasti butuh orang lain untuk merawatnya. Interaksi pertamanya adalah dengan orang-orang terdekatnya terutama ibu, ayah, atau pengasuhnya.

Kehidupan bayi masih sangat tergantung orang lain. Baik itu pemenuhan kebutuhan makan, minum, sentuhan, dan kehangatan.  Tidak hanya kebutuhan makan, bayi juga  butuh kontak fisik dan perhatian yang konsisten.

Jika ayah dan ibu dapat memberikan kehangatan, menunjukkan sikap konsisten dan kesinambungan dalam perawatan dan pengasuhan maka bayi akan mengembangkan perasaan bahwa dunianya adalah tempat yang aman, orang-orang disekitarnya benar-benar ada dan mencintainya. 

Melalui respon orangtua bayi juga belajar mengenali dirinya dan keinginan biologis yang menyertainya seperti rasa lapar, haus, dan lain sebagainya.

Jika orangtua tidak mengharapkan kehadiran bayi, berlaku kasar pada bayi, lebih mementingkan kepentingan mereka dari pada bayinya, atau pengasuh yang bergonta-ganti dan berbeda-beda karakter maupun perlakuan terhadap bayi, maka bayi akan menjadi gelisah dan mudah curiga dengan orang-orang di sekelilingnya. Bayi merasa bahwa dunia ini tidak konsisten dan tidak dapat diduga. Hal ini biasanya nampak pada perilaku Bayi yang rewel dan sulit ditenangkan.

Namun, terlalu  protektif juga tidak baik karena akan membuat bayi menjadi maladaptive (tidak punya penyesuaian yang baik dengan lingkungan sekitarnya) atau tidak mampu mengembangkan kemampuan sensorynya dengan tepat. Contohnya: Belum saatnya anak lapar dan haus sudah dijejali makanan dan diberi susu karena ibunya takut anaknya lapar kemudian sakit. 

Penyesuaian diri yang baik dan tumbuhnya kepercayaan pada orang lain  akan nampak pada saat bayi bisa meneriman ketidakhadiran ibunya tanpa kecemasan yang berlebihan. Bayi tersebut tidak marah saat menunggu kebutuhannya tercukupi. Bayi yakin  dengan orangtuanya, jika mereka tidak muncul segera, mereka pasti akan tiba pada waktunya.

Tahap kedua “Autonomy vs Shame and Doubt” (18 bulan – 3 / 4 tahun)
Anak berusaha menjadi diri yang autonomy (mandiri) atau justru menjadi pribadi yang shame and doubt (pemalu dan peragu).

Pada tahap kedua dan selanjutnya,  anak mulai memiliki lingkup sosial yang lebih luas. Anak berusaha memiliki perasaan otonomi atau kontrol terhadap fungsi tubuhnya, ketrampilan motorik kasar dan halusnya. 

Anak mulai belajar berjalan, bicara, memakai baju, dan kontrol buang air. Anak juga ingin melakukan berbagai hal sendiri tanpa bantuan orangtuanya. Orangtua  harus bersabar memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Orangtua yang tidak sabar hanya akan membuat anak frustasi.

Kadang kala orangtua membuat anak malu, baik tanpa sengaja (dengan sikap tidak sabarnya) atau disengaja (dengan memarahi atau bersikap kasar atas kesalahan yang diperbuat anak).

Selain bersabar, orangtua juga harus mulai menerapkan aturan perilaku yang tepat pada anak. Orangtua juga sebaiknya tidak menerapkan kontrol yang berlebihan dan mudah menyalahkan anak. Hal tersebut membuat anak merasa malu atas kesalahannya dan merasa tidak bisa mandiri. Kontrol yang terlalu kuat juga membuat anak kehilangan minat untuk mencoba.

Saat anak mampu mengontrol diri, termasuk fungsi tubuh dan kemampuan motoriknya, anak punya keinginan kuat untuk mengeksplorasi sekelilingnya dengan suka cita. Anak mencoba mengembangkan perasaan mandiri dan bebas bergerak. Sebaiknya para orangtua menyediakan tempat yang aman bagi anak agar anak dapat menjelajah tanpa ragu dan tidak membahayakan dirinya. Pindahkan porselen atau hiasan mahal di tempat yang jauh dari jangkauan anak sehingga anak bebas bergerak dan orangtua tidak terus menerus mengeluarkan kata-kata larangan ataupun omelan.

Satu hal yang penting diingat adalah jangan pernah memaksa anak melakukan eksplorasi dan berharap segera bisa mandiri. Pemaksaan akan membuat anak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan dan akhirnya meyakini bahwa dirinya memang tidak mampu.

Jangan pula membatasi, menganggap anak belum mampu melakukan tugasnya, tidak diberi kesempatan untuk mencoba, dan mencela jika usahanya  kurang bagus. Kondisi tersebut membuat anak menjadi tergantung pada orang lain, kurang percaya diri, jadi pemalu dan peragu, serta akhirnya membuat anak enggan mencoba hal-hal baru.

Jika orangtua  tidak sabar dalam mengajarkan anaknya, seperti menunggu anaknya mengikat tali sepatunya sendiri, maka anak tidak pernah belajar bagaimana caranya mengikat tali sepatu. Dan mereka akan berasumsi bahwa betapa sulitnya belajar mengikat tali sepatu.

Adanya rasa malu dan ragu (dalam kadar yang sedikit) memang tidak bisa terelakkan namun di satu sisi juga bermanfaat. 

Jika anak tidak punya rasa malu dan ragu maka anak cenderung menjadi impulsif, menjadi anak yang tidak tahu malu, dan ketika besar cenderung kurang punya pertimbangan saat bertindak.

Anak yang terlalu pemalu dan peragu juga tidak baik untuk dirinya, karena akan mendorong perilaku kompulsif. Mereka merasa bahwa dirinya sangat ditentukan oleh usahanya. Semua pekerjaan harus sempurna. Sangat patuh pada peraturan. Kesalahan  sekecil apapun harus dihindarkan dan dengan cara apapun.

Sikap orangtua haruslah seimbang, orangtua memberi kesempatan pada anak untuk mencoba sendiri. Kemudian tidak mengkrtitik atas kegagalan yang terjadi. Orangtua juga membantu anak untuk memiliki kontrol diri tanpa harus kehilangan harga diri.

Tahap Ketiga  (3/4 tahun -  5/6 tahun)
Konflik antara anak dan orangtua biasanya dimulai pada tahap ini. Anak selalu ingin menentukan pilihannya sendiri sehingga para orangtua sering menganggapnya sebagai sikap agresif.

Pada tahap ini anak mulai berinteraksi dengan teman di sekolah (TK). Fase utamanya adalah bermain, bukan terpaku pada pendidikan formal. Jadi, beri kesempatan anak mengeksplorasi ketrampilan interpersonalnya melalui berbagai kegiatan dengan teman-temannya.

Pada saat bermain anak mengasah banyak kemampuan. Dan yang utama dalam tahap ini adalah kemampuan berinisiatif. Anak belajar berinteraksi dengan teman sebayanya dan belajar  mengajak temannya bermain atau melakukan berbagai kegiatan lainnya.

Inisiatif adalah usaha yang dilakukan anak untuk mewujudkan sesuatu yang dia pikirkan. Anak pada tahapan ini juga sangat aktif, seperti lokomotif yang selalu berada di depan. Mereka banyak bicara dan banyak bertanya. Mereka juga  senang bereksperimen dan belajar melalui  permainan imajinatifnya.

Mereka haus pengetahuan. Inisiatifnya mendorong anak jadi banyak bertanya. Para orangtua seharusnya bisa bersabar menjawab berbagai pertanyaan anak untuk memenuhi rasa ingin tahu anak. Jika orangtua  menyikapi pertanyaan anak dengan kemarahan, merasa terganggu, atau tindakan yang mengancam lainnya  maka anak akan merasa bersalah, menganggap bahwa dirinya adalah pengganggu.

Kemandirian yang dimiliki anak perlu mendapat arahan orangtua sehingga anak memiliki keseimbangan dalam kemampuan kontrol diri, karena seringkali  perbuatan  anak seusia ini penuh dengan resiko.  Seperti ingin menyeberang jalan sendiri atau mencoba bermain di tempat yang jauh dari jangkauan pengawasan orangtuanya.

Pemahaman sebab akibat anak pada tahap ini juga masih sangat primitif. Mereka mudah percaya perkataan orangtuanya: 
“Kalau kamu nakal, mama bawa ke dokter untuk disuntik!”
“Hati-hati, kamu bisa jatuh kalau tidak dengar ayah!”

Sebaiknya orangtua berhati-hati dalam menyampaikan informasi yang tidak masuk akal, karena anak sedang belajar memahami apapun yang ia dengar.

Dukungan orang tua  sangat penting dalam setiap usaha anak.  Jika orangtua tidak mendukung usahanya, mengatakan mereka anak bodoh, menyusahkan, maka anak akan mengembangkan perasaan bersalah atas keinginan dan  kebutuhannya.

Terlalu banyak perasaan bersalah dapat membuat anak menjadi lamban dalam berinteraksi dengan orang lain dan akan menghambat kreativitas mereka.

Terlalu banyak inisiatif dan tidak punya rasa bersalah  juga merupakan kondisi maladaptive, anak cenderung menjadi kasar. Mereka hanya peduli pada rencana mereka sendiri, tidak peduli pendapat siapapun dan dalam situasi apapun. Baginya, yang penting tujuan tercapai dan perasaan bersalah dianggap sebagai sebuah kelemahan. 

Jangan sampai pula anak tidak punya inisiatif sama sekali. Anak yang tidak punya inisiatif berarti anak itu mengalami inhibition (hambatan). Anak yang terhambat tidak akan mau mencoba karena tidak punya keberanian. Lebih baik tidak berbuat apa-apa supaya tidak ada masalah dan  tidak ada perasaan bersalah.

Kondisi seimbang tercapai saat anak memiliki inisiatif yang cukup dan punya sedikit rasa bersalah. Sedikit rasa bersalah penting agar anak bisa berlatih mengontrol diri dan memiliki kesadaran diri.

Tahap Keempat “Industry vs Inferiority” (6 – 12 tahun)
Pada tahapan ini, selain orangtua, peran guru, teman sebaya, dan masyarakat sekitarnya cukup penting bagi perkembangan identitas diri anak. 

Anak butuh diterima oleh teman sebayanya dan diakui kemampuannya oleh orang lain. Anak juga mulai mengembangkan perasaan bangga akan prestasi yang dimilikinya.

Pada tahapan ini anak sangat menyadari siapa dirinya. Mereka berusaha keras menjadi anak baik dan melakukan segala sesuatu dengan benar. 

Mereka mulai terbiasa berbagi dan bekerjasama dengan teman. Anak mulai memahami konsep ruang dan waktu, lebih logis dan praktis. Mereka juga mulai mengerti hubungan sebab akibat.

Kemampuan anak yang sudah berhasil melampaui tahap sebelumnya nampak terlihat melalui permainan yang dilakukan bersama teman sebaya. Pada tahap ketiga, anak kurang memahami dan kurang peduli pada aturan permainan, bahkan aturan tersebut sering mereka ubah-ubah sendiri selama permainan berlangsung. Mereka jarang menyelesaikan permainannya, kecuali berakhir dengan keributan dan saling melempar mainan kearah lawannya. 

Bagi anak yang berada dalam tahap keempat, mereka sangat menjunjung tinggi aturan. Mereka akan kecewa jika permainan tidak diakhiri dengan baik.

Pada tahap ini anak lebih berani mencoba dan berusaha menyelesaikan berbagai ketrampilan yang kompleks. Anak mulai belajar membaca, menulis, dan mendengar. 

Anak yang mendapat dukungan dari orangtua dan guru akan mengembangkan perasaan kompeten. Namun, jika kurang mendapat dukungan dari orangtua, guru dan teman, anak menjadi ragu akan kemampuannya.

Saat ini, anak tidak lagi terfokus pada imajinasinya. Mereka harus bisa mengendalikan imajinasinya dan harus mulai mengedepankan pendidikan serta belajar berbagai ketrampilan sosial.

Anak yang jarang mendapat kesuksesan karena terkendala sikap keras dari guru atau penolakan dari teman-temannya, akan mengembangkan sikap rendah diri dan tidak kompeten dalam usahanya.

Orang tua atau Guru yang bersikap pilih kasih pada anak atau murid akan sangat merugikan anak-anak yang terabaikan. Anak-anak tidak hanya menjadi kurang perhatian namun sikap pengabaian juga akan menurunkan harga diri mereka dihadapan saudara atau teman-temannya yang lain.

Perasaan rendah diri juga bisa muncul dari sikap diskriminasi, baik diskriminasi terhadap ras, gender, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Diskriminasi membuat anak meyakini bahwa kesuksesan lebih dikarenakan siapa kamu bukan karena seberapa besar perjuanganmu. Jika hal ini terjadi anakpun berpikir: “buat apa saya harus mencoba?”

Masa kanak-kanak adalah masa melakukan eksplorasi berbagai hal, jangan biarkan anak terpaku untuk produktif dalam satu hal saja karena hal tersebut mengabaikan hak mereka sebagai seorang anak. Anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan minatnya yang lebih luas. Mereka menjadi anak-anak tanpa kehidupan. Contohnya seperti: Artis cilik, atlit cilik, musisi cilik. Mereka memang anak-anak ajaib dari berbagai jenis keahlian. Kita semua sangat kagum dengan prestasi mereka, dengan jiwa industri yang mereka miliki, namun jika kita melihat lebih dekat, mereka berada dalam dunia yang kosong.

Kondisi ekstrem lain yaitu Inferiority kompleks, yaitu orang yang merasa jika sekali gagal maka selamanya tidak akan sukses. Ketika tidak bisa matematika, lebih baik bolos pelajaran matematika. Atau anak yang merasa dipermalukan saat olahraga, maka mereka tidak pernah mau lagi ikut kegiatan olahraga. Yang lebih parah adalah ketika anak tidak punya ketrampilan sosial (padahal ini ketrampilan yang paling penting dalam kehidupannya) membuatnya tidak pernah mau pergi ke ruang publik.

Yang terbaik dari semua itu adalah kondisi seimbang. Kemampuan industri yang luar biasa harus diimbangi dengan sedikit perasaan inferior untuk menjaga agar anak tetap memiliki sikap rendah hati (humble).

Akhir kata… Anak hebat bisa lahir dari manapun, selama ia bisa meraih potensi-potensi terbaiknya dirinya melalui sentuhan terbaik orang-orang disekelilingnya.