Parenting Tips

Moralitas Anak, Tanggung Jawab Orangtua

11.44 Ena Nurjanah 0 Comments




Untuk mereka yang mengenyam pendidikan di era tahun 80an tentu masih ingat dengan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Mata pelajaran ini menjadi mata pelajaran wajib bahkan menjadi mata pelajaran yang  sangat berpengaruh. Jika nilai PMP nya merah (nilainya kurang Dari 6), bisa dipastikan bahwa ia tidak akan naik kelas ataupun lulus dari sekolah.

Pelajaran PMP bisa dibilang pelajaran gampang-gampang Susah. Isinya berkaitan dengan bagaimana penerapan nilai-nilai moral yang berazaskan pancasila. Mudah karena berkenaan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh setiap orang, namun ketika tertulis dalam bentuk soal-soal ujian menjadi lumayan sulit. Menjawabnya butuh penalaran/ pemikiran yang mendalam, apalagi dengan jawaban yang hampir mirip semua (dulu soal-soal ujian seringnya dalam bentuk multiple choice).

Berbicara tentang penalaran sebenarnya bukan perkara mudah. Penalaran berkaitan dengan kemampuan kognitif seseorang. Jika mengacu pada teori perkembangan kognitif, ada perbedaan yg cukup signifikan antara anak usia SD dengan anak usia di atasnya.

Berpikir logis, hubungan sebab akibat, abstrak, dan membuat interpretasi adalah penalaran pada tahap operasional formal (formal operational), yang umumnya mulai ada pada anak dengan usia di atas 12 tahun. Tahapan sebelumnya disebut operasional konkrit (concrete operational). Yaitu cara berpikir anak yang masih didominasi oleh sesuatu yang bersifat inderawi. Sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang mudah dipahami dengan melihat dan yang dirasakannya. Pada tahapan ini juga anak cenderung berpikir secara sederhana, kaku, tidak luwes, serta berpikir hitam putih. Meskipun demikian, untuk anak-anak tertentu ada juga yang mampu berpikir dengan cara operasional formal.

Menanamkan nilai baik dan buruk pada tahapan perkembangan operasional kongkrit akan sangat "berbekas" pada anak. Apa yang ditanamkan padanya akan cenderung bertahan lebih lama, selama dia meyakini akan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, tanamkanlah nilai-nilai moral yang universal yang bisa membentuk karakter anak. Anak menjadi sosok yang berkarakter baik. Jangan tanamkan nilai-nilai moral yang  ekstrem atau kaku, karena sikap kaku  akan menyulitkan anak berinteraksi dengan kehidupan sosialnya yang sangat plural, baik budaya, agama, suku, ras dll.

Anak memang masih berada dalam tahapan operasional kongkrit, namun bukan berarti membiarkan anak dengan cara berpikir semaunya. Dengan memahami perkembangan kognitif anak, diharapkan orangtua lebih siap memahami anaknya. Bersikap terbuka dan mau memaafkan saat anak banyak melakukan kesalahan. Baik Kesalahan dalam penyimpulan, menganalisa, dan yang paling nyata adalah ketika anak banyak melakukan kesalahan dalam perbuatannya.  
Dengan memahami keterbatasan cara berpikir anak seharusnya orangtua semakin  terdorong untuk mengajarkan anak-anak mereka cara berpikir yang tepat dan benar. Saat anak berada dalam tahapan berpikir kongkrit, tetap bisa dilatihkan untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya. Dan memang seharusnya ada bimbingan dan arahan dari orangtua tentang bagaimana cara berpikir, menganalisa, menyimpulkan dan bertindak yang  baik dan  tepat.


* * *

Moralitas adalah satu nilai tersendiri yang harus diajarkan oleh para orangtua. 

Mengajarkan nilai-nilai moral bukanlah perkara sederhana. Ketika berbicara tentang moral berarti berbicara tentang sesuatu yang sifatnya abstrak. Dengan demikian, memahami moral berarti mendorong anak untuk mulai berpikir secara abstrak, cara berpikir orang dewasa, yaitu tahapan operasional formal.

Penerapan nilai-nilai moral terhadap anak menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya. Anak harus diberi kesempatan dalam melakukan berbagai peran dalam kehidupannya. Anak juga harus diajarkan bagaimana mengatasi konflik kognitif yang dialami anak dalam kehidupan sehari-harinya.

Selain Orangtua, teman sebaya juga memiliki peran yang sangat penting bagi kematangan moral anak. Dalam kesehariannya anak melakukan banyak hal dengan teman-temannya. Melalui interaksi dengan temannya, anak  dapat menguji pendapatnya dan sekaligus juga anak bisa 'mengecek' pemahaman yang dimilikinya.

Melalui interaksi dalam kehidupan sosial bersama teman-teman sebayanya, anak terus berusaha mencari dan memahami 'apa itu moral'. Disinilah peran besar orangtua dalam memandu & memberikan pelajaran pada anak mereka mengenai moralitas dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini beberapa aspek yang patut menjadi perhatian para orang tua dalam menerapkan nilai-nilai moral kepada anak (John W. Santrock dalam Child Development).


1. Kualitas Hubungan antara Orangtua dan Anak

Orangtua punya kewajiban untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak, menyampaikan kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat, dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten.

Seorang anak pun punya kewajiban untuk merespon apa yang telah diajarkan oleh orangtuanya dan berusaha untuk  membangun hubungan positif dan sikap hormat pada kedua orangtuanya. Hubungan mutual antara orangtua dan anak merupakan hal mendasar yang penting  bagi pertumbuhan moral positif anak.

Dalam menjaga kualitas hubungan mutual tersebut, kelekatan (attachment) yang memberi rasa aman menjadi faktor penting bagi perkembangan moral anak. Kelekatan yang  memberi rasa aman akan membuat anak lebih mudah menerima penyampaian nilai-nilai moral dan menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


2. Disiplin 

Disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata tertib. Para orangtua selalu berusaha agar anak-anaknya memiliki disiplin. Tujuannya agar anak-anaknya mampu berkomitmen dengan nilai-nilai moral yang sudah mereka ajarkan.

Banyak cara mendisiplinkan anak  yang dilakukan oleh para orangtua. Semua itu  sebagai upaya  agar anak mereka bisa menerima dan melaksanakan aturan/nilai yang sudah mereka berikan. 

Ada beberapa bentuk model disiplin yang biasa dilakukan oleh orangtua, dan terdapat 3 model yang umum dilakukan oleh orangtua:

a) Dengan ‘Menarik kasih sayang’.
Orangtua menahan atensi atau kasih sayang terhadap anak. Penerapan disiplin dengan cara menarik kasih sayang orangtua pada saat anak berperilaku yang tidak sesuai atau anak tidak menuruti apa yang sudah diajarkan oleh orangtua.
Contoh: 
“Kalau kamu tidak nurut, mama tidak sayang kamu lagi”, “Papa tidak suka kalo kamu rewel”

b) Dengan ‘Peneguhan kekuasaan’
Orang tua mencoba untuk mengambil alih kontrol dari anak atau mengambil alih sumber daya yang dimiliki anak. Orangtua menggunakan cara 'mengancaman' atau mencabut hak istimewa si anak.
Contoh:
"Kalo kamu nakalin adikmu lagi, mama akan kunci kamu di kamar”, “kalo kamu pelit, papa tidak akan memberi kue kesukaanmu ”, "Jika kamu selalu berkelahi di sekolah, papa akan mengurangi uang jajan kamu!", dsb.

c) Induksi.
Orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan tentang konsekuensi perilaku anak terhadap orang lain.
Contoh: 
“Jangan memukul dong, dia kan cuma ingin membantu”, “ Mengapa mesti berteriak kepadanya? Dia kan tidak berniat untuk mendorongmu", "Jangan marahin temanmu dulu, coba tanya dulu mengapa dia berperilaku seperti itu, barangkali saja ada maksud baik dari tindakannya itu", dsb.

Dari ketiga cara mendisiplinkan tersebut, a) dan b) memang paling 'mengggugah' anak, namun hal ini dilakukan tidak dengan reasoning (penalaran), melainkan karena rasa takut yang mendominasi anak. Hal ini justru membuat  anak cenderung tidak fokus pada inti masalah. Anak menurut kepada orangtua lebih karena memikirkan konsekuensi (hukuman) yang akan mereka terima dari orangtua mereka. Cara induksi memang bersifat moderat, yang tidak terlalu kuat daya gugahnya pada anak. Namun cara ini memungkinkan anak menerima alasan yang diberikan oleh orangtua mereka. Dengan induksi secara bertahap anak akan mudah menginternalisasi nilai-nilai moral yang diberikan orangtua mereka. 


3. Strategi Proaktif

Orangtua berusaha menanamkan nilai-nilai moral yang baik dan sebisa mungkin bersikap proaktif. Strategi proaktif berati melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perilaku buruk yang dilakukan oleh anaknya. Pada anak yang usianya lebih muda proaktif dilakukan dengan mengalihkan atensinya atau memindahkan mereka kepada aktivitas lain yang positif. Untuk anak yang lebih tua, proaktif berarti berbicara dengan anak mengenai nilai-nilai yang dianggap penting oleh orangtua.

Contoh:
Ketika orangtua tahu betapa dampak buruk dari penyalahgunaan obat-obatan, maka orangtuanya mengajak bicara anaknya dengan berdialog dan menjelaskan tentang bahaya narkoba dan pengaruh buruknya. Sehingga anak sudah punya benteng ketika menghadapi situasi tersebut saat bersama dengan teman sebayanya.


4. Dialog

Dialog adalah senjata pamungkas untuk semua  permasalahan yang dihadapi oleh anak. Dialog menghilangkan hambatan komunikasi antara orangtua dan anak. Dialog juga dapat membangun hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak. Segala hal yang disampaikan oleh orangtua akan didengarkkan oleh anak, karena dalam dialog orangtua pun siap menjadi pendengar yang baik. Orangtua siap menerima argumen ataupun penolakan yang disampaikan oleh anak tanpa rasa takut.
Dialog atau pembicaraan antara orangtua dan anak bisa saja sesuatu yang direncanakan atau spontan. Bisa berfokus pada kejadian masa lalu (baik perilaku yang salah/negatif atau yang positif) atau tentang kejadian masa yang akan datang (contohnya pergi ke suatu tempat yang menimbulkan godaan dan memerlukan perilaku moral yang positif) atau bicara mengenai kejadian masa kini (contohnya berbicara mengenai tantrum  pada seorang anak  yang mereka saksikan saat itu).

Dialog adalah komunikasi dua arah. Kedua pihak punya posisi sama untuk saling menghormati pendapat masing-masing untuk mencari pengertian bersama. Tentu saja, dialog ini dengan  tetap mengedepankan sopan santun adat ketimuran antara anak dan orangtua.



# Rekomendasi bagi Orangtua #


Secara umum, anak yang dikatakan bermoral cenderung memiliki orangtua yang:

  • Hangat dan mendukung, ketimbang menghukum
  • Menggunakan disiplin induktif
  • Memberi kesempatan pada anak untuk memahami perasaan orang lain
  • Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan juga dalam proses pemikiran mengenai keputusan moral
  • Menjadi model bagi anak dalam penalaran dan perilaku moral, dan memberi kesempatan pada anak untuk melakukannya sendiri
  • Menyediakan informasi yang diharapkan dimiliki oleh anak sekaligus juga menjelaskan alasannya
  • Membangun moralitas internal dan bukan moralitas eksternal semata.


Penulis,
(Ena Nurjanah, M.Psi)

0 komentar:

anak Indoensia,

Pahami Anak, Cegah Terjadinya Kekerasan

06.11 Ena Nurjanah 0 Comments



Dalam liputan sebuah berita, diceritakan tentang seorang anak yang pingsan akibat pukulan temannya di sekolah.

Di tempat lain, ada pengaduan tentang  seorang  anak yang  takut untuk datang ke sekolah dan selalu mencari-cari alasan untuk tidak sekolah. Sampai akhirnya masalahnya terungkap, hal tersebut   disebabkan karena guru kelasnya yang kerap melakukan kekerasan fisik setiap kali muridnya melakukan kesalahan.

Di sebuah sekolah yang dilaksanakan full day, seorang anak laki-laki kelas 1 SD  dengan tiba-tiba menceritakan kepada orangtuanya kalau ia selalu disuruh oleh teman sekelasnya untuk melakukan hal yang tidak wajar dilakukan anak seusianya; yaitu membuka celananya.
   
Ada lagi siswa SMP yang berubah drastis menjadi tertutup, sensitif, juga gampang  marah. Setelah cukup lama dicari akar masalahnya, akhirnya ia mengakui bahwa ia pernah dipaksa oleh gurunya untuk membuka jilbab saat pengambilan foto ijazah. Ia kecewa karena pihak sekolah tidak memenuhi permintaannya  agar diizinkan tetap memakai jilbab. Ia  merasa  sangat malu karena sekarang teman-temannya tahu kalau  rambutnya semi botak akibat penggunaan perias rambut secara berlebihan untuk keperluannya tampil beberapa tahun lalu.

* * *

Hal di atas barulah sebagian kecil kejadian-kejadian di sekolah. Peristiwa 'kekerasan' pada anak sekarang ini justru mulai banyak terjadi di sekolah. Itu adalah apa yang sudah terberitakan melalui media, namun tidak sedikit juga yang melaporkan kasus ke lembaga-lembaga perlindungan anak.  

Kekerasan yang terjadi di sekolah bisa dilakukan oleh guru, teman, maupun staff sekolah. Korbannya sudah pasti adalah siswa sekolah. Kekerasnnya pun bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa Anak adalah sosok yang sangat rentan menjadi korban dari tindak kekerasan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini anak pun cukup berpotensi untuk menjadi pelaku dalam tindak kekerasan di sekolah. 

Untuk anak yang menjadi pelaku dari tindak kekerasan, pada hakekatnya dia adalah korban. Korban dari para orang dewasa yang menjadi penanggungjawab akan dirinya, juga  korban dari lingkungan sekitarnya. 

Kemampuan yang dominan dari seorang anak adalah menerima stimulus inderawinya dengan sangat baik. Anak melihat, mendengar, merekamnya kemudian ia menirunya. 

“Luar BIasa ! “ Semua kejadian mampu dicontoh persis bahkan dengan tambahan variasi imajinasinya. Anak belum punya filter yang kuat untuk menilai baik buruk input yang masuk melalui panca inderanya.  Kemampuan menilai  baik buruk adalah proses hasil belajar yang diberikan oleh orang dewasa, dalam hal ini  orang tua, guru atau orang dewasa lain yang  bertanggung jawab terhadap dirinya.

Patut dipahami bahwa anak adalah manusia yang masih memiliki banyak keterbatasan. Dari segi penalaran, kemampuan daya nalar anak masih belum matang, baik penalaran yang bersifat kognitif maupun yang bersifat penalaran moral.  Kemampuan penalarannya  masih terus berproses dan masih harus terus dibimbing oleh orang dewasa agar ia semakin kompeten dan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. 

Kematangan  emosi anak juga masih rendah. Ia butuh pengarahan, latihan, dan bimbingan agar ia semakin mampu melakukan pengendalian terhadap emosinya.

Sekolah adalah lingkungan kedua setelah lingkungan rumah.  Di sekolah anak akan belajar banyak hal. Sepatutnya sekolah bukan semata-mata tempat untuk menuntut ilmu tetapi juga tempat bagi anak untuk belajar banyak hal. 

Belajar bersosialisasi, belajar mengendalikan berbagai emosinya agar berkembang menjadi sosok yang semakin matang secara emosi, belajar  menerapkan nilai-nilai moral yang didapat dari rumahnya, belajar ketrampilan hidup (life skill), dan masih banyak lagi pelajaran yang didapat dari lingkungan keduanya itu.

Dalam pembahasan kali ini, saya akan coba memfokuskan kepada masalah perkembangan emosi pada anak-anak.

Saat anak berada di sekolah, ia menyerap banyak hal dalam kesehariannya, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Yang memuaskan ataupun yang mengecewakan. Yang membanggakan ataupun yang menghancurkan harga dirinya. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya ketika anak pulang dari sekolah ada orang tua yang selalu menyambut kepulangannya. Kalau orangtua bekerja, tetaplah minta bantuan kepada siapapun orang dewasa yang dipercayakan oleh orang tua mereka (bisa pembantu, nenek, dll) dan mintalah mereka menyambut kepulangan anak mereka dari sekolah dan menanyakan keadaannya pada hari itu. 

Luangkan waktu untuk menyapanya,  menanyakan bagaimana kegiatan di sekolah hari itu. Jika orangtua bekerja maka sebaiknya tetap menyapa anak mengenai keadaan di sekolahnya saat orangtua pulang kerja. 

Sebaiknya  para orangtua tidak hanya menanyakan pelajaran dan pekerjaan rumah anak, tapi juga menanyakan perasaan anak hari itu di sekolah. Pendekatan kepada anak bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti dengan bertanya, ngobrol, bercanda, dll.  

Suasana harmonis yang tercipta antara anak dan orangtua akan menghilangkan hambatan komunikasi antara anak dengan orangtuanya.

Kadang kala, anak yang lelah dari sekolah tidak menjawab dengan sepenuh hatinya. Kita tidak perlu memaksa anak untuk menjawab dan bercerita panjang lebar, kadang-kadang anak yang malas bicara hanya mengatakan “hmm...” atau “yaah.. gitu deh..” . 

Kita tidak perlu berkecil hati atau kecewa. Dengan adanya pertanyaan tersebut, sudah menunjukkan pada anak bahwa kita selalu hadir untuk mereka. Anak akan merasa bahwa kejadian-kejadian yang di alaminya selama di sekolah bisa ia bagi kepada orang-orang di rumah terutama kepada kedua orangtuanya, bukan kepada orang lain. 

Kesiapan orangtua untuk menyediakan waktu berbicara kepada anak dan adanya keterbukaan sikap dari orangtua akan mendorong anak menjadi terbuka juga dengan orang tua mereka. Anak-anak tidak akan takut bercerita apapun mengenai keadaan mereka saat mereka tidak berada di dekat orang tua mereka.  

Keberanian untuk mengungkapkan apapun yang mereka  rasakan selama di sekolah akan sangat bermanfaat dalam mengungkapkan banyak kejadian yang mereka alami, baik itu kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal ini  akan memudahkan para orang tua untuk memahami keadaan dan perkembangan anak-anaknya. 

Berangkat dari kasus-kasus yang dialami oleh anak, biasanya kejadian tersebut bukanlah suatu peristiwa yang tejadi secara kebetulan pada saat itu. Selalu ada rangkaian kejadian sebelumnya yang melatar belakangi sebuah peristiwa besar.

* * *

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada anak bisa jadi merupakan bahan evaluasi bagi para orangtua di rumah (walaupun tentunya juga bahan evaluasi bagi semua pihak termasuk pihak sekolah). Sudah sejauh mana mereka memahami anak-anak mereka?  Sudahkah mereka mengajak anak mereka berbicara tentang perasaan-perasaan anak mereka selama berada di sekolah, bagaimana hubungan  anak  dengan teman-temannya? Sudahkah mengajarkan anak-anak bagaimana mengatasi situasi yang membuat ia marah, kecewa, takut dan lain sebagainya.

Yang perlu menjadi bahan evaluasi bagi para orangtua adalah bahwa orangtua sering melakukan kesalahan dalam memahami dan mengajarkan cara mengatur emosi yang ada pada anak-anak mereka. Orang tua sering  melakukan emotion dismissing (penghilangan emosi). Bentuk penghilangan emosi diantaranya adalah dengan mengabaikan emosi yang dirasakan oleh anak.

Sebagai contoh, saat anak berwajah muram, orangtua cenderung membiarkannya, tidak ditanya mengapa ia berwajah muram? Ada masalah apa? Apa yang dirasakan saat itu? Emosi apa yang ada? Sedihkah Marahkah? Kecewakah? Contoh lainnya adalah menolak emosi yang muncul tersebut. Misal, setiap emosi negatif yang muncul dari anak selalu disikapi dengan penolakan dari orangtua. Melihat anaknya muram malah dimarahi, dibilang cengeng, manja, dll. Selain itu juga bisa berupa mengubah emosi yang dirasakan anak. Jika anak muram atau sedih, orangtua bukannya berusaha mencari tahu masalahnya namun justru segera menghilangkan emosi tersebut dengan mengalihkannya dari masalahnya dengan mengajaknya bercanda, bermain, dll  sebelum dicari tahu apa yang dirasakan anak, serta permasalahan apa yang dihadapinya.

Seharusnya orangtua bisa melakukan Pendekatan Emotion Coaching (pelatihan emosi) untuk membantu anak-anak dalam mengatur emosinya. Lihatlah emosi negatif yang dialami anak seperti marah, sedih, kecewa sebagai kesempatan untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola dan mengendalikan emosi negatif tersebut. 

Membantu anak memberi label atau menamai emosi yang dirasakannya,  kemudian melatih anak bagaimana mengatasinya dengan cara yang efektif.

Mudah-mudahan para orangtua semakin peduli dengan perkembangan emosi anak-anak mereka, sehingga anak akan merasakan kehadiran orangtua mereka dalam setiap masalah yang hadapi. Pada akhirnya, akan banyak solusi yang bisa diselesaikan anak dengan bantuan dan dukungan orangtuanya.


(Ena Nurjanah, 2015)

0 komentar:

anak Indoensia,

Pembunuhan oleh Anak di Sekolah, Bagaimana Menyikapinya?

21.59 Ena Nurjanah 0 Comments


Sudah dua hari setelah berita tersebut muncul ke permukaan.
Hari pertama diberitakan di media online, dan hari kedua pun muncul bahkan dijadikan satu sesi tersendiri oleh sebuah media TV swasta. Tema bahasannya adalah kasus yang menimpa seorang siswa kelas 2 SD yang memukul teman sekelasnya sendiri hingga terjatuh dan akhirnya meninggal di rumah sakit.

Rasa-rasanya sudah cukuplah berita itu bercerita banyak hal, sehingga tidak perlu diulang-ulang diulas dalam pemberitaan televisi.

Adakah manfaat dari pemberitaan tersebut? Kebaikan apa yang bisa didapat dari menceritakan masalah yang terjadi antara anak dengan anak?

Peristiwa tersebut telah menyebabkan satu anak jadi korban meninggal dunia. Kejadian ini tentunya membuat sedih yang mendalam dari pihak keluarga. Dengan adanya pemberitaan di berbagai media membuat mereka 'dipaksa' untuk terus menerus mengingat kejadian yang sangat tidak diharapkan menimpa anak mereka. Cara pemberitaan yang tidak tepat hanya akan mendorong orang tua korban terus menerus menyimpan amarah pada pelaku.

Bagi anak yang jadi pelaku, pemberitaan hanya membuat ia semakin tertekan, semakin disudutkan oleh lingkungan rumah, sekolah, bahkan seluruh masyarakat yang menonton berita tersebut.

Yang jelas hanya ada keuntungan bagi media, yaitu penontonnya jadi semakin banyak karena kasusnya yang memang sedang hangat, spesial, dan merupakan sebuah kasus yang langka.

Pemberitaan dengan alasan sebagai pelajaran buat anak-anak lain juga rasanya tidak patut. Mengapa? Karena perilaku anak pada dasarnya adalah hasil dari proses peniruan. Jadi, jangan jejali anak dengan wacana keburukan yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benaknya.

Jika pemberitaan itu diwacanakan sebagai  pelajaran bagi orang dewasa, tidak perlulah  dengan memaparkan kasus anak yang terbilang berat ini. Banyak sekali  yang  bisa diberitakan media agar bisa diambil pelajaran oleh orang dewasa dalam mendidik anak-anak mereka tanpa harus mengorbankan  hak dan masa depan anak yang terlibat dalam masalah berat tersebut.

Seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah setempat, melalui jajaran aparat  pemerintahan maupun lembaga-lembaga Negara yang relevan dengan penanganan permasalahan dan perlindungan anak-anak segera bicara: Melarang membuat pemberitaan lebih lanjut tentang kasus anak tersebut. Atas dasar alasan apapun pemberitaan itu, pemerintah harusnya melarang.

Berikan perlindungan maksimal dan yang terbaik bagi anak, jauhkan anak dari stigma sebagai anak nakal, berikan haknya untuk dilindungi dari pemberitaan media, dari labeling yang buruk atas dirinya, dari catatan buruk yang tertoreh di media massa yang berdampak pada masa depannya kelak.

Jika kita mencermati kasus-kasus anak yang terjadi di Negara-negara maju, Pernah kah kita mendengar kasus anak yang diekspos dan dijadikan topik berbagai media? TIDAK PERNAH. Kalaupun ada yang pernah kita dengar, hampir tidak pernah ada penjelasan secara rinci, karena sifatnya sangat rahasia. Mereka sudah pham benar, bagaimana harus melindungi anak-anak. Anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.

Dalam pemberitaan di sebuah media TV swasta, pembahasan mengenai kasus tersebut diulas panjang lebar. Memang, satu sisi ada pelajaran yang hendak disampaikan. Psikolog dihadirkan untuk menjelaskan bagaimana cara mendidik anak yang baik, bagaimana menghindari agar tidak terjadi kekerasan, bagaimana mengantisipasi kondisi yang terjadi.

Namun, menurut saya  tetap tidak tepat mengangkat kasus pembunuhan  anak  tersebut sebagai tema utamanya. Pembahasan kasus tersebut pastinya tidak cukup hanya sampai disitu, akan terjadi penggalian berbagai masalah yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan tersebut. Hingga kemudian dari  dialog tersebut  munculah apa yang dianggap akar masalah antar anak tersebut. Kejadian berawal dari adanya saling ejek yang memang sudah berlangsung lama. Adanya sebuah dendam yang menahun, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak perkelahian antar mereka. Jika disimak dari dialog tersebut, mengerucutlah pada tindakan menyalahkan salah satu pihak yang dianggap lalai.

Apa yang terjadi pada kasus tersebut, tidak bisa dilihat dari satu sisi. Tidak bisa dianggap sebagai kesalahan salah satu pihak. Peristiwa ini merupakan rangkaian dari sebuah cerita kehidupan. Banyak pihak yang terlibat. Yang pasti, yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini adalah orang-orang dewasa yang ada di sekeliling kehidupan anak-anak ini. Bukan hanya satu pihak, tapi semua pihak punya kontribusi  sehingga anak berperilaku di luar batas. Ini cerminan bagi semua pihak untuk melakukan intrsopeksi diri dan memperbaiki kesalahan yang berdampak fatal pada perilaku buruk anak.

Kita semua tahu bahwa anak adalah cermin dari kehidupan yang ia saksikan dalam kesehariannya. Anak adalah peniru yang ulung, Anak mudah mencontoh dari apa yang ia lihat dan ia saksikan dalam dunia nyata atau pun dari media TV atau media online.  Jadi, perbuatan anak tidak bisa hanya dilihat sebagai  permasalahan anak semata. Namun, kita harus bisa melihat dan memetakan kondisi di sekitar anak. Lingkungan anak itu seperti apa, bagaimana orangtua, bagaimana pengasuhan, bagaimana lingkungan rumah dan masyarakat sekitar, bagaimana lingkungan sekolahnya, dll.
                 
Dari segi hukum,  tidak ada artinya melakukan penggalian masalah anak ini. Temuan-temuan yang didapat dari hasil diskusi yang diekspos media tidak akan merubah hukuman anak. Menggali permasalahan yang terjadi antara kedua anak ke media hanya akan menyudutkan anak. Terlebih bagi kehidupan  si pelaku. Padahal dari segi hukuman, semakin banyak informasi ataupun fakta-fakta baru yang didapat tentang si anak sebagai pelaku, tidak akan membuat hukuman baginya menjadi lebih berat. So what's the point?  

Untuk kasus pidana yang menimpa  anak sudah diatur dalam UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak)  no. 11 tahun 2012. UU SPPA no 11 tahun 2012 menyebutkan bahwa yang bisa dikenai proses hukum hanya anak yang sudah memasuki usia 12 tahun. Langkah hukum yang dimungkinkan ditempuh bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan belum berusia 12 tahun harus diupayakan diversi dalam setiap tingkatan proses hukum. Langkah yang ditempuh bagi anak tersebut adalah mengembalikan  kepada kedua orangtuanya, jika ia masih memiliki orang tua/ keluarga yang mampu merawat dan mendidiknya.

Jika mencermati hal ini, perlu diambil langkah-langkah solusi yang terbaik bagi semua pihak.  Solusi yang diambil harus melibatkan lembaga pemerintahan terkait. Pemerintah harus turun tangan terhadap warga negaranya. 

Proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum  pada akhirnya mengedepankan proses diversi, dengan  mengembalikan anak yang menjadi pelaku kepada keluarganya.

Ketika anak dikembalikan kepada keluarganya seharusnya pihak pemerintah terkait turut bertanggung jawab dengan  memberikan pendampingan kepada kedua orangtua pelaku. Orangtua pelaku harus dibantu mengenai bagaimana cara membimbing anaknya dengan baik. Jika anak dikembalikan kepada orangtua  sementara orangtua tidak merubah sedikitpun cara mendidik anaknya, maka akan sulit dicapai perbaikan bagi anak tersebut. Orang tua harus diajarkan bagaimana cara yang tepat dalam mendidik anak.  Kehadiran pendamping yang ahli  di bidangnya sangat dibutuhkan bagi anak dan kedua orangtua, selagi anak masih memiliki orangtua maka langkah terbaik adalah memberikan  bimbingan dan pendampingan kepada orangtua pelaku  bagaimana cara terbaik mendidik anak.

Disinilah perlunya layanan dari lembaga pemerintah dengan cara apapun itu agar bisa menghadirkan para relawan/ pekerja sosial yang memiliki keahlian dibidangnya untuk memberikan bimbingan/arahan dalam  mendidik anak. Sekaligus tentunya juga mengajarkan bagaimana cara mengatasi trauma-trauma yang dialami oleh anak yang menjadi pelaku. Trauma yang dialami si pelaku sesungguhnya sudah terjadi sejak ia menyadari bahwa perbuatanya telah menyebabkan kematian temannya. Trauma bertambah berat ketika  ia menjadi sorotan massa melalui pemberitaan di banyak media  yang memandang dirinya  buruk.

Bagi keluarga yang anaknya menjadi korban, sebaiknya juga mendapatkan hak yang sama, yaitu hak untuk diberi bantuan mengatasi kesedihan, bagaimana mengatasi  kepergian anak yang  meninggal dengan cara tragis. Keluarga korban perlu mendapat  pendampingan  dalam menerima kenyataan terhadap permasalahan yang menimpa mereka. Bantu mereka dengan berbagai terapi ataupun konseling untuk bisa menerima keadaan, agar mereka tabah, dan pada akhirnya bisa berbesar hati memaafkan  anak yang menjadi pelaku.

Hal selanjutnya yang harus dicermati adalah sistem yang ada di sekolah. Sistem yang ada harus segera dirubah. Sekolah harus bisa memastikan bahwa semua anak-anak yang berada di sekolah tersebut dalam keadaan aman dan nyaman. Anak-anak  terhindar  dari tindakan kekerasan siapapun, baik  yang dilakukan oleh teman, guru, atau pihak lain yang terlibat dalam aktivitas di sekolah. Anak juga harus  mendapat jaminan bahwa mereka  terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik,  kekerasan verbal, maupun bentuk kekerasan lainnya.

Ketika berbicara  pendidikan di sekolah maka para guru, kepala sekolah dan seluruh pihak penyelenggara sekolah harus memahami benar arti dari mendidik, sehingga semuanya punya konsentrasi yang sama untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak selama berada di sekolah. Para guru yang merupakan pengganti orang tua di rumah, harus mampu menjadi pendidik yang mengayomi, yang menentramkan anak didik di kelas,  yang memotivasi anak didik untuk belajar dalam semangat kebersamaan dengan teman-temannya di sekolah.



0 komentar:

Artikel di media,

Siswa Berseragam Kena Razia Bolos Sekolah, Salah Siapa?

14.59 Ena Nurjanah 0 Comments


Berita Pagi ini cukup mengusik perhatian. 

Siswa berseragam kena razia orangtuanya di warnet.


Cukup menarik melihat bagaimana para orangtua menyikapi kondisi anak-anak mereka yang sering bolos sekolah. Dalam berita tersebut terlihat bagaimana para orangtua mendatangi sebuah warnet, dan ternyata salah satu dari orangtua tersebut mendapati bahwa anaknya sedang asyik bermain dengan salah satu komputer warnet tersebut.

Reaksi yang kemudian terlihat dari orang tua  siswa tersebut adalah menangis meraung-raung, mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan berbagai ungkapan kekecewaan terhadap anaknya tersebut.

Berita tersebut hanya menyoroti orang tua, khususnya para ibu yang datang melakukan razia terhadap wanet tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan saling berkaitan pun bermunculan dalam benak:

Mengapa siswa suka untuk membolos sekolah? Mengapa mereka  lebih memilih untuk bermain di warnet ketimbang  belajar bersama para guru? Mengapa sekolah tidak disukai oleh siswa? Cukupkah bagi para orang tua dengan memarahi anaknya karena membolos?


Mari kita telusuri akar permasalahan.

Sekolah adalah institusi pendidikan yang menjadi sarana bagi pencerdasan anak bangsa.  Jabaran yang lebih lengkap  mengenai tujuan pendidikan disebutkan dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan  untuk “mengembangkan  potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari peristiwa yang disorot oleh media tersebut, jelas menunjukkan bahwa anak didik belum mampu untuk menjadi siswa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka meninggalkan kelas yang seharusnya menjadi tempat mereka mencari ilmu, tempat untuk mencerdaskan diri mereka sendiri. Ketika mereka meninggalkan sekolah di saat jam belajar, itu sama artinya bahwa mereka juga telah membohongi orang tua dan guru mereka.

Apakah ini kesalahan anak sepenuhnya?
Patutkah orang tua/ guru memarahi dan menghukum anak-anak yang bolos ini?

Tidak sederhana menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Berbicara tentang sekolah, tidak hanya semata-mata bicara tentang guru dan siswa. Ada banyak hal yang harus menjadi perhatian semua pihak. Terutama harus menjadi perhatian bagi pihak-pihak penyelanggara pendidikan di sekolah. Berbicara tentang sekolah berarti berkaitan dengan lingkungan sekolah, sistem yang ada di sekolah, infrastruktur yang ada di sekolah, para penyelenggara pendidikan di sekolah yang meliputi: guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan staf lainnya. Kesemuanya itu menjadi pendukung kelancaran kegiatan di sekolah.

Jika lebih dicermati lagi, maka kita akan melihat bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah ditujukan bagi anak-anak didik. Bagi anak-anak bangsa yang akan menjadi generasi penerus keberlangsungan negeri ini. Jadi, anak didik seharusnya menjadi sentral dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Bukan semata-mata objek yang bisa diperlakukan sekehendak orang dewasa. 

Kesadaran akan hal ini seharusnya mendorong semua pihak agar memaksimalkan usaha agar anak berkenan, mau dan bisa dididik di sekolah dengan baik, sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan  para orang tua dan guru dan terutama sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Namun, pada kenyataan sekarang ini, Mendorong anak untuk mencintai sekolah itu tidak mudah. 

Dunia sekolah lebih sering dipersepsikan oleh siswa didik sebagai tempat yang tidak asyik/ tidak menyenangkan, belum lagi mereka berpikir dengan banyaknya tugas dan pekerjaan rumah,  pelajaran yang tidak disukai, guru yang membosankan, guru yang killer, dsb.  

Semua itu mendorong anak lebih memilih berada di tempat bermain dari pada di sekolah. Era sekarang ini,  anak didik lebih tertarik berada di warnet untuk bermain game. Di warnet mereka bisa bermain apapun, tentu saja semua cuma dalam bentuk virtual. Ketiadaan lahan nyata untuk bermain/ berolah raga juga membuat anak  minim pilihan untuk bermain yang menyenangkan dengan teman-temannya.

Mengapa anak lebih memilih bermain game di warnet dari pada mereka belajar di sekolah? Jawaban yang sudah pasti adalah bahwa bermain di warnet lebih menyenangkan dari pada belajar di sekolah. 

Dari sini kita bisa melihat, ada yang hilang dalam dunia pendidikan kita. ‘Sekolah/belajar kalah menyenangkan dari warnet’, atau ‘sekolah bukan tempat menyenangkan bagi anak’.

Perlu kiranya kita semua memahami tentang dunia anak, persepsi dan kemampuan penalaran anak. Apa yang dilakukan oleh anak lebih sering masih bersifat emosi belum menyentuh pada kesempurnaan nalar orang dewasa. 

Anak sesugguhnya sosok yang belum matang nalarnya. Dengan masih kental sifat kekanak-kanakannya ia hanya akan mengikuti kemana kesenangan yang ia dapat. Mereka tidak pernah bisa berpikir lebih jauh dampak dari sikap bolos sekolah mereka terhadap masa depan mereka. Orang-orang dewasalah yang seharusnya bisa memahami kondisi mereka. 

Anak-anak sekarang memang memiliki postur tubuh yang besar, namun cara berpikir mereka tetaplah masih sederhana, mereka masih tetaplah sebagai anak-anak yang butuh bimbingan. Jadi jangan terjebak menilai bahwa mereka sudah dewasa, hanya karena mereka bertubuh besar.

Yang seharusnya bisa dipahami adalah bahwa kesalahan yang terjadi pada anak  didik adalah cermin bagi orang tua/guru untuk mengintrospeksi diri terhadap pendidikan maupun penyelenggaraan pendidikan bagi anak didiknya.

Keengganan anak pada sekolah biasanya karena mereka tidak mendapatkan kenyamanan ketika berada di kelas/ sekolah. Bahkan kadang mereka justru merasa ketakutan ketika berada di sekolah, diantaranya seperti takut terhadap PR yang belum mereka kerjakan, takut terhadap tugas-tugas yang menumpuk sementara mereka belum mengerti pelajarannya, takut terhadap kata-kata kasar gurunya yang bisa mempermalukan mereka di kelas, takut hukuman, bosan dengan pelajaran, bosan dengan cara guru mengajar, dsb. 

Semua permasalahan yang mereka rasakan tidak ada jalan keluarnya bagi mereka. Karena pendidikan kita-baik di rumah maupun di sekolah- seringkali monolog, kalau tidak mau dikatakan bahwa kita orang dewasa seringkali bertindak secara otoriter. Anak/ murid  tidak boleh protes, tidak boleh membantak, tidak boleh mengeluh, harus menuruti semua perkataan orangtua/guru. Kebuntuan komunikasi dengan orang tua dan guru mendorong  anak mencari sendiri cara penyelesaian sesuai dengan kemampuan dan kemauan  mereka. Solusi yang mereka ambil tanpa pernah memikirkan apa dampaknya. Akhirnya yang sering kita saksikan adalah anak-anak yang lebih  memilih  bermain game di warnet pada jam-jam seharusnya mereka berada di sekolah.

JIka saja para orang tua, para guru, para penyelenggara pendidikan berusaha memahami kondisi anak didik. Mereka pasti berusaha mencari tahu bagaimana cara memotivasi anak didik agar mau belajar di sekolah. Jika anak didik  mau datang ke sekolah dengan penuh motivasi, dengan senang hati, tentunya akan dengan mudah meminimalisir kejadian bolos sekolah. Sekalipun anak suka bermain game mereka akan berusaha mengendalikan keinginan mereka dan tidak ingin meninggalkan sesi pelajaran di kelas/di sekolah yang menyenangkan mereka.

Harus disadari bersama, bahwa masalah yang terjadi pada anak didik adalah menjadi tanggung jawab bersama yang harus bisa diatasi baik oleh orangtua maupun para guru di sekolah.

Pihak  guru dan para penyelenggara pendidikan di sekolah harus mampu menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan bagi siswa didik. Membuat anak didik selalu rindu untuk datang ke sekolah. Keramahan para guru, kepala sekolah dan staf ; kenyamanan lingkungan sekolah ; komunikasi dialogis yang santun antara murid  dan  guru di lingkungan sekolah ; tidak ada hukuman tanpa dibahas bersama siswa didik; semua itu akan memangkas banyak persoalan yang dihadapi anak-anak didik di sekolah. Mereka akan lebih memilih sekolah dibandingkan berada di lingkungan lain yang tidak mereka kenal dengan baik.

Pihak Orang tua harus bertanggung jawab agar bisa mengkondisikan sehingga anaknya mencintai sekolahnya, suka untuk bersekolah. Orang tua  tidak cukup hanya dengan memarahi anak yang membolos tersebut, bahkan seringkali kemarahan orang tua bisa menimbulkan masalah baru , karena hasil dari dimarahi itu bisa dua, jadi penurut atau membangkang. Jadi, ada baiknya dipikirkan cara lain untuk mendisiplinkan anak yang telah melakukan kesalahan. Kemarahan orangtua harusnya tetap dalam koridor ingin memberikan yang terbaik bagi anak, bukan hanya sekedar emosi yang tak bertepi sehingga anakpun bingung atau gusar mensikapinya.

Yang harus dilakukan orang tua jika kedapatan anaknya bolos dan asyik bermain di warnet adalah ajak anak berbicara baik-baik dan cukuplah pembicaraan itu antara anak yang bersangkutan dengan orang tuanya. Perlu diperhatikan juga bahwa masalah anak bukan untuk disebar luaskan ke pihak-pihak yang tidak berkepentingan, hargai privasi anak, jangan  permalukan anak dengan kesalahan yang sudah ia perbuat. 

Jangan langsung menyalahkan dan memarahi, tetapi  perlu ditanya kan alasannya mengapa anak lebih memilih bermain warnet dari pada belajar di sekolah. JIka orangtua memberikan kenyamanan pada anak saat melakukan dialog tersebut, maka informasi pun akan mudah digali dari anak, karena ia tidak takut untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, karena ia yakin bahwa orangtuanya cukup baik menghadapi dirinya. Jika orangtua sudah menemukan akar permasalahan dan juga apa yang dirasakan oleh anak  maka bantulah  mencarikan solusi bagi anak. 

Bantulah agar anak  bisa termotivasi kembali untuk mau belajar di sekolah. Kehadiran orangtua yang memberi solusi bagi anak sesungguhnya obat mujarab terhadap permasalahan yang dihadapi anak-anak saat ini. Terlebih bagi anak yang menginjak remaja dengan segudang masalah yang dihadapinya, belum lagi dengan sikap mereka yang masih sangat egosentris seolah-olah hanya merekalah yang paling banyak masalahnya. Namun, dengan hadirnya orangtua yang siap mendampingi mereka dalam mengarungi masalahnya akan meringankan langkah mereka untuk mau diajak kepada kebaikan.

0 komentar: