Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH),

Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.1)

14.02 Ena Nurjanah 0 Comments

Slogan  ini  pernah bergaung nyaring dikalangan para aparat penegak hukum

(mengapa sekarang kok redup lagi ?? Padahal sebentar lagi UU SPPA akan diberlakukan- tepatnya tanggal 30 Juli 2014-  Kepada  siapa pertanyaan ini saya ajukan ??). 

Saya juga pernah  melihat slogan itu terpampang di salah satu banner di sudut ruang tamu sebuah panti milik Kemensos.

Slogan itu pula yang selalu menjadi bahan pertanyaan bagi saya. Mengapa hingga saat ini tetap ada lapas anak? Mengapa hingga saat ini hampir sebagian besar aparat penegak hukum - yang tahu slogan itu - tapi kurang punya kemauan kuat untuk menghindarkan anak dari penjara.?

Saya bukan mengada-ada..tapi saya merasakan langsung, mengalami langsung, dan melihat langsung praktek yang ada. Jawaban yang sering saya dengar adalah ”tidak mudah menghindarkan anak pelaku tindak pidana dari jeratan hukum penjara” atau “Anak ini harus diberi efek jera dengan dipenjarakan”. Jawaban yang kedua ini malah semakin membingungkan saya antara slogan yang berseliweran di sekitar aparat penegak hukum dengan praktek yang saya lihat.

Dalam tulisan berikut ini, Saya ingin berbagi kisah pendampingan anak yang terlibat dalam permasalahan hukum. Dalam UU SPPA mereka disebut dengan ABH (Anak yang  Berhadapan dengan Hukum).

Kisahnya lumayan panjang karena memang penyelesaiannya juga membutuhkan waktu beberapa bulan. Saya bersyukur bisa melakukan pendampingan dari awal hingga akhir sebuah putusan pengadilan bagi anak yang menjadi ‘pelaku’. Yang lebih saya syukuri, dengan semua kerja keras yang saya lakukan membuahkan hasil yang membahagiakan. Anak menjalani masa hukumannya di PANTI dan bukan di penjara.

 Slogan ‘penjara bukan tempat terbaik bagi anak’ pada kasus ini benar-benar bisa saya buktikan.

 Saya akan tulis kisah  pendampingan terhadap ABH ini  dalam beberapa kali postingan.

***

Kenangan ini tak pernah bisa saya lupakan, karena benar-benar menguras seluruh energi dan pikiran saya, dan sekaligus memaksa saya  belajar banyak hal di luar segala kemampuan yang saya miliki.

Pendampingan ini berawal dari sebuah berita  mengejutkan menjelang senja sepanjang perjalananan dalam kemacetan Jakarta. Waktu itu bulan februari tahun 2011.

Dua  anak kelas 6 SD  yang merupakan teman  bermain bertengkar dan berujung pada penusukan oleh salah satunya.

Berita yang tersiar di radio tersebut dengan cepat menjadi trending topik di berbagai media. Sungguh peristiwa yang sangat luar biasa. Seorang anak kecil mampu menusukkan pisau ke temannya sendiri sebanyak hampir 16 tusukan.

Semua yang mendengar berita tersebut pasti terbelalak dan sontak berujar “kok bisa??”. Ya...Mengapa tindakan kriminal itu bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh anak berumur 12 tahun. Tak habis pikir..tapi..itulah kenyataan yang bisa kita saksikan. Anak menjadi brutal dan bersikap layaknya orang dewasa. Sangat di luar dugaan dan diluar batas nalar orang normal.

Peristiwa itu terjadi di kota saya. Otomatis ini menjadi tugas saya selaku pengurus lembaga  yang bergerak melakukan perlindungan terhadap anak.

Kami mengontak radio tersebut untuk meminta klarifikasi sekaligus data lengkap korban dan keluarga korban yang bisa kami hubungi.

Menjelang Isya saya baru tiba di rumah. 
Karena kondisi yang serba darurat saya tetap melakukan koordinasi dengan berbagai pihak di malam itu juga. Saya mengontak dinas kesehatan untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis
.
***

Keesokan harinya saya berkunjung ke rumah sakit pemerintah di bilangan Jakarta Selatan. Kondisi korban yang luar biasa parah membutuhkan penanganan    disebuah rumah sakit besar yang lengkap dan itu adanya di Jakarta, tetangga kota kami. Saya datang beserta para petinggi pemerintahan setempat. Saya mencermati situasi yang ada di rumah sakit. Memang terlihat semua jajaran pemerintahan antusias. Apakah karena kasusnya lagi ramai jadi pemberitaan atau berebut simpati masyarakat. Saya tidak tahu..itu tidak penting bagi saya.

Saya fokus bertemu dan mengenalkan diri saya kepada orangtua dan kerabat korban. Saya berjanji akan datang ke rumah orang tua korban untuk melakukan pendampingan korban. Saya akan membantu berbagai hal yang diperlukan  korban.

Saya sempat masuk ke ruang ICU. Melihat langsung kondisi korban yang sedang terbaring pucat. Dokter menjelaskan perkembangan kondisi korban serta langkah-langkah yang sudah dan akan dilakukan terhadap korban.

Sebelum meninggalkan rumah sakit saya berpamitan dengan orang tua korban dan meminta izin untuk datang ke rumah beliau.

****

Selepas dari rumah sakit....

Saya masih dihadapkan pada satu persoalan lagi.  Bagaimana dengan  ‘Pelaku’?. Siapa yang akan mendampingi anak ini? Karena ia juga masih anak-anak. Baru berumur 12 tahun.

Hingga saya pulang  dari rumah sakit menjenguk korban, tak terdengar satu pun bantuan diberikan untuk mendampingi pelaku yang nota bene anak-anak juga. Ada kesedihan yang menggumpal melihat kenyataan yang ada. Banyak pihak yang menyatakan diri sebagai pelindung hak-hak anak, aktivis anak, namun  pada kenyataanya, dalam kasus ini mereka hanya bersikap sebagai pengamat.

Saya pun ingin menjerit dengan kondisi ini. Kemana perginya para aktivis anak??... Mengapa tidak ada yang tergerak dengan kasus yang ramai jadi pemberitaan ini?  Sungguh suatu kondisi yang sangat tidak bisa saya mengerti...

Bagi saya.. ketika saya siap berada di lembaga perlindungan anak ini , berarti saya menyadari sepenuhnya  konsekuensinya. Itu artinya  saya siap  menolong anak-anak yang tercabut hak-hak nya, menolong anak-anak yang kurang beruntung. Tidak ada alasan lain.

Mungkin....memang begitulah dunia kaum volunteer.  Sukarelawan.. Hanya segelintir yang benar-benar siap dengan segala kerja tanpa bayaran..

Pada akhirnya....Saya kembalikan semuanya kepada yang di Atas. Cukup kepadanya Saya berkeluh kesah. Setelahnya Saya harus bangkit untuk menolong anak-anak.

Kejadian yang menimpa dua anak  yang berkonflik ini benar-benar  jadi  persoalan tersendiri . Saya tahu... sungguh tidak pantas, tidak layak dan tidak semestinya saya melakukan pendampingan terhadap korban sekaligus  pelaku.

Saya tahu akan terjadi konflik antara dua kepentingan. Kepentingan korban dan pelaku sekaligus. Namun....kepada siapa saya harus mengadukan?? Kepada siapa saya minta bantuan?? Bukan Saya mau jadi pahlawan kesiangan..tapi kenyataan di lapangan sungguh mengenaskan...Tak ada yang tergerak untuk mendampingi si pelaku.

Akhirnya.. mau tidak mau..suka tidak suka..entah benar atau salah.. saya tetap jalan..Saya melakukan pendampingan terhadap kedua anak ini.

Patokan saya dalam melakukan pendampingan adalah hak-hak anak dan Undang-Undang yang melekat bagi kepentingan terbaik bagi anak. Saya berkomitmen akan melakukan apapun untuk keduanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan anak. Saya menyayangi mereka berdua. Saya akan berusaha bersikap adil dalam menolong mereka berdua.  

Dari titik berpikir itu  saya merasa agak tenang melangkah. Saya akan jalanin peran saya sebagai pendamping anak bagi kedua anak ini. Semampu saya dan seadil mungin yang bisa saya lakukan.

Waktu  berjalan cepat, saya tidak bisa menunggu ada orang yang mau menolong anak-anak ini. Saya harus tetap bergerak, meski demikian saya siap terbuka untuk menerima sekiranya ada orang lain yang siap mendampingi salah satu dari anak ini.

Sejak peristiwa itu, saya berusaha belajar banyak, belajar cepat. Bagaimana menolong anak yang berhadapan dengan Hukum. Back ground saya adalah ilmu psikologi, namun saya sekarang harus tahu tentang hukum. Saya mencermati media. Saya beli buku tentang hukum.  Saya membaca ulasan dari banyak tokoh hukum.

Saya juga pasang telinga jika ada yang siap membantu anak-anak ini. Saya banyak bertanya tentang hukum kepada para ahlinya. Saya bertanya pada dosen hukum,  pada pengacara, pada aktivis anak di luar daerah saya dan juga bertanya pada para pekerja sosial. Semua saya lakukan demi bisa menjalankan pendampingan secara  maksimal.  

***

Pagi hari saya menjenguk korban di rumah sakit. Siang harinya saya menjenguk pelaku. Pelaku di tempatkan di Polsek yang memiliki sel yang layak bagi anak.
Syukurnya saya sudah mengenal dengan baik kepala unit PPA , jadi ketika saya utarakan maksud saya ke petugas polsek pada hari itu, mereka memberikan izin kepada saya  untuk bertemu dengan anak itu.
 terhenyak kaget melihat wajah dan perawakan pelaku.

Ia hanyalah seorang anak dengan wajah yang begitu polos. Berulang kali dia ucapkan “Saya menyesal Bu.. Saya menyesal.. Bagaimana kabar S (korban ), Bu? Dia bisa sembuh, kan Bu? Waktu itu saya gelap mata Bu…” A (nama pelaku) langsung menyerocos panjang mengungkapkan penyesalannya dengan amat sangat. Ketika saya katakan bahwa saya baru saja menjenguk S tadi pagi, A menjadi begitu bersemangat dan bertanya-taya tentang kesehatan S.

Saya tunjukkan  foto S yang sedang terbaring lemas di tempat tidur. Raut wajah A tampak sedih melihat kondisi kawan sepermainannya itu. Ia kasihan melihat S, dan juga terlihat begitu menyesali perbuatannya. Saya menanyakan kabar A. Rupanya dia begitu menginginkan untuk bertemu dengan ibunya yang saat ini sedang berada di luar Jawa. A juga mengatakan bahwa sang ibu sedang dalam perjalanan dari luar jawa menuju rumah kakak A—tempat di mana ia tinggal selama ini.

Saya pun bebincang-bincang dengan A, juga menasehatinya. Saya mendorongnya untuk lebih tekun dalam beribadah selama berada dalam tahanan agar bisa lebih tenang dalam menghadapi berbagai cobaan, terlebih atas apa-apa yang menimpanya akibat perilaku yang telah ia lakukan kepada temannya.

A masih anak-anak. A juga saat ini masih duduk di bangku kelas enam SD. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana kehidupnya yang akan dia hadapi kedepannya, terutama menyangkut hal pendidikan.

Kalau tidak ada yang menolong A, maka masa depannya tidak akan  cerah. Ia bisa saja jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi.
Saya tahu, saya  sadar,  dan saya harus melakukan sesuatu untuknya.
 ......

Untuk melihat kelanjutannya, silahkan menuju halaman: Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.2)

0 komentar:

anak,

Tak Selamanya Kerja Keras Berbuah Manis

16.59 Ena Nurjanah 1 Comments


Tak selamanya pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual berjalan sesuai dengan yang harapan kita. Banyak halangan dan rintangan yang seringkali menghambat langkah, yang kadang kala menggugat ketulusan kerja kita.
                                 
Kali ini, saya ingin berbagi kisah pendampingan anak korban kekerasan seksual yang menurut saya telah ‘gagal’ saya lakukan.

Tidak enak memang mendengarnya, apalagi merasakannya. Perasaan tercampur-baur antara marah, kesal, kecewa, sedih, kasihan, dan perasaan-perasaan lain yang tidak mengenakkan hati. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Hingga akhirnya pada saat itu saya pun berpikir, ‘saya merasa gagal dan sangat tidak produktif dalam menjalankan tugas saya.’ 

Galau melanda, saya suka menumpahkannya dengan bahasa yang saya samarkan dalam tweet-tweet saya, namun saya tetap menjaga rahasia setiap aktor dan pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Dalam melakukan tugas, biasanya saya mendapatkan informasi awal mengenai kasus-kasus kekerasan yang ada melalui berita di berbagai media informasi. Setelah mendapatkan gambaran mengenai kasus tersebut, saya pun segera berusaha mencari tahu di mana alamat lengkap dari korban.

Berhasil mendapatkan alamat korban, saya pun mencari tahu lebih detail lagi mengenai alamat tersebut dari teman-teman saya di TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan), karena mereka sangat menguasai wilayah masing-masing di tiap kecamatan.

Alamat lengkap korban beserta setiap informasi yang dibutuhkan telah ada di tangan, saya pun segera hunting, memburu alamat rumah korban untuk melaksanakan misi saya yaitu mendampingi korban kekerasan tersebut.
Saya sadar, mereka sedang menghadapi tahap-tahap dalam hidup yang begitu krusial. Oleh karena itu saya ingin membantu mereka sebisa saya, sesuai dengan kapabilitas saya. Minimal support harus mereka dapatkan, agar mereka pun tetap dapat menemukan harapan akan jalan keluar permasalahan.
* * *
Pada suatu waktu.

Kali ini saya mendatangi rumah seorang anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual yang mana pelakunya adalah lebih dari satu orang. Mencengangkan memang, terlebih lagi ketika fakta mengatakan bahwa rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang masih muda. Saat itu beritanya cukup menghebohkan wilayah setempat bahkan hingga ke skala nasional.

Singkat cerita, saya pun datang ke rumah korban setelah beberapa hari kejadian. 

Ketika saya tiba di rumah korban, ternyata korban tidak tinggal dengan orang tuanya melainkan dengan kakek neneknya yang keduanya sudah berumur di atas 75 tahun.

Saya disambut dengan sangat baik oleh kakek dan nenek korban. Mereka senang menerima kehadiran saya, yang paling tidak telah mewakili lembaga milik pemerintah setempat. Ketika saya katakan bahwa saya datang dari lembaga perlindungan anak, kakek dan nenek korban kembali menunjukkan rasa senang mereka dan sangat berharap agar cucu mereka bisa didampingi dan  dibantu pemulihan psikologisnya. 

Sebut saja nama korbannya adalah Bunga. Bunga masih duduk di kelas 1 sebuah SMP Negeri (bisa dibayangkan bahwa Bunga bukan anak yang bodoh, karena bisa masuk ke sekolah  negeri yang persaingan masuknya pun sangat ketat).

Kakek dan nenek Bunga menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menceritakan tentang masa kecil Bunga, dan mereka perlihatkan foto-foto Bunga pada saya. Mereka ceritakan bagaimana mereka berdua merawat Bunga, dan bagaimana sulitnya mendidik ‘anak zaman sekarang’.

Kemudian saya pun meminta untuk berkenalan dengan orangtua korban, dan yang muncul kemudian adalah ayah korban. 

Kakek dan nenek Bunga begitu welcome terhadap saya, namun berbeda dengan sikap yang dimunculkan oleh ayah Bunga. Sikap sang ayah cenderung defensif. Ketika saya berusaha menanyakan tentang anaknya, ia lebih banyak menghindar dan tidak mau terbuka. Bahkan ketika saya ingin bertemu Bunga pun ayahnya tidak mengizinkannya. Ia bilang Bunga sedang diungsikan disuatu tempat, agar tidak ada wartawan yang datang meliput anaknya. Mengenai hal ini, memang benar sekali langkah yang sudah diambil ayah Bunga, kalau ini saya sangat setuju. 

* * *

Sebenarnya saya ingin sekali bertemu dengan Bunga, karena rasa keprihatinan yang saya rasakan untuknya atas kejadian yang baru saja dialaminya. Bunga mengalami pemerkosaan oleh lebih dari 6 anak (rata-rata masih duduk di bangku SMP, meskipun ada juga anak yang telah putus sekolah). Pasti kondisi psikologisnya pun akan sangat terguncang, paling tidak ia butuh seseorang yang bisa mengerti dia. 

Apa yang saya utarakan sangat didukung oleh kakek dan neneknya. Mereka berdua sangat ingin saya bisa mendampingi cucunya dan membantu bunga dalam pendampingan psikologisnya.

Keprihatinan saya kembali memuncak manakala mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah bercerai. Ibunya sudah menikah lagi dan berada jauh di provinsi lain dari Bunga, sedangkan ayahnya sudah menikah lagi namun tinggal di kota yang berbeda dengan Bunga. Kadang-kadang di akhir pekan Bunga menginap di tempat tingal ayahnya.

Sejak kecil Bunga diasuh oleh kakek dan neneknya, dan keduanya sangat sayang dengan Bunga. Namun, tentu saja sangat bisa dimaklumi kalau kedua orang kakek dan nenek Bunga tidak bisa maksimal dalam memberikan pengawasan terhadap Bunga. Kerentaan mereka saja sudah menjadi alasan tersendiri. Menurut saya mereka adalah dua orangtua yang justru harusnya tidak lagi dibebani dengan merawat anak. Mereka sendiri sudah mengalami banyak keterbatasan dalam merawat diri mereka sendiri .

* * *

Ketika saya tidak diizinkan untuk bertemu dengan Bunga, saya pun segera mencari solusi lain. Saya mulai berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar para orang dewasa di sekitar Bunga bisa secara efektif membantu, karena saya tahu supporting system dari orang-orang terdekat akan sangat membantu pemulihan kondisi Bunga.

Saya pun menjelaskan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua korban kekerasan seksual. 

Saya juga mengingatkan hal-hal yang sebaiknya menjadi perhatian agar jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Bunga. 

Sebelum saya pamit pulang, saya kembali menawarkan bantuan saya untuk bisa mendampingi Bunga. Ayahnya sempat meminta saya untuk datang ke tempat di mana Bunga dititipkan sekarang, yang dia sebut 'berada di luar kota'. Saya pun menyanggupinya, karena saya tahu persoalan yang dihadapi oleh Bunga adalah sangat berat untuk anak berusia 13 tahun. Saya berkomitmen untuk mendampingi, membantu, dan menolongnya.

Saya menitipkan nomor telpon yang bisa dihubungi seandainya ayah Bunga menghendaki saya untuk menemui anaknya. Saya pun menyimpan nomor kontak keluarga Bunga.

Saya tidak bisa berbuat banyak untuk melanjutkan proses pendampingan terhadap Bunga kecuali hanya  dengan menunggu dan menunggu.

Hingga lewat beberapa hari, hampir masuk satu pekan, belum juga ada kabar dari keluarga Bunga. Saya pun berinisiatif untuk menelpon rumah kakek Bunga.

Yang menerima telpon kakek Bunga langsung. Beliau sempat ungkapkan bahwa sebenarnya beliau ingin sekali saya bisa mendampingi cucunya. Namun, ia dan istrinya tidak bisa berbuat banyak ketika ayah Bunga sudah memutuskan sikapnya. Ia pun sama seperti saya, hanya bisa menunggu.

Waktu pun terus berjalan.. tidak ada telepon dari ayah Bunga.. 

Saya merasa sedih dengan sikap ayah Bunga. Namun, saya pun menyadari bahwa saya hanya seorang relawan anak yang  tidak punya hak untuk memaksa ayah Bunga. Saya tidak bisa memaksanya untuk bisa kooperatif dalam mengatasi permasalahan anaknya. Mungkin ia belum menangkap bentuk kepedulian yang saya berikan kepada anak dan keluarganya...

Kalau sudah seperti ini saya hanya bisa bersedih dalam diam, ditambah kebingungan yang melanda. Saya pun kerap kali mempertanyakan, "di manakah letak Undang-Undang Perlindungan Anak bisa saya pakai?” 

Akhirnya, dari kisah pendampingan yang 'gagal' ini.. saya hanya bisa berdo’a..
Semoga kehidupan Bunga menjadi lebih baik...

* * *

photo credits:
pinterest.com (watercolor picture by Jessica Durrant)
smh.com.au

1 komentar:

kekerasan seksual,

Mawar Tak Berduri (Kisah Pendampingan Korban Kekerasan Seksual)

09.47 Ena Nurjanah 0 Comments


cerita ini ditulis untuk membuka pandangan dan naluri kita,
untuk lebih peduli terhadap sesama,
dan untuk diambil setiap hikmah dan pembelajaran yang ada padanya..



Sebagai seorang relawan (volunteer) yang bekerja untuk anak dan kaum perempuan, banyak yang sebenarnya ingin saya ceritakan dalam blog ini. Bukan ingin berbangga diri dengan apa yang telah saya lakukan (sama sekali tidak), karena memang tidak ada yang perlu dibanggakan.. Ini adalah pekerjaan kemanusiaan yang tidak seberapa dibandingkan kerja luar biasa yang telah dilakukan oleh orang-orang di luar sana; baik yang saya ketahui ataupun yang saya tidak ketahui; baik mereka yang terberitakan oleh media maupun mereka yang tidak terberitakan.

Saya ingin berbagi karena menurut saya banyak sekali pembelajaran yang baik untuk dibagi. Saya pun berharap supaya pengalaman - pengalaman tersebut dapat mendorong lebih banyak lagi munculnya para voluntir/ relawan baru yang mau ambil bagian dari perjuangan menolong anak-anak dan kaum perempuan yang kurang beruntung di Indonesia. Masih banyak sekali celah yang harus diisi agar bantuan untuk mereka dapat dilakukan secara maksimal. Alangkah bahagianya saya manakala tulisan dari pengalaman saya ini bisa menginspirasi banyak orang untuk berbuat.

* * *

Pada tahun 2011 lalu, saya pernah mendampingi seorang korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pemilik/ pimpinan lembaga keagamaan. Kasusnya terungkap karena ucapan korban yang terdesak pada satu kondisi. Mawar (bukan nama sebenarnya, 19 th) kepergok oleh petugas siskamling pada saat dini hari sedang berduaan dengan seorang laki-laki sebut saja X (19 th). Karena ketahuan sedang berduaan pada saat dini hari, mereka berdua pun langsung diintrogasi dan diancam akan dinikahkan.

Pada saat itulah, mawar langsung mengatakan “Saya tidak bisa menikah dengan X, karena saya sudah dinikahi oleh S (pimpinan lembaga keagamaan, berusia 32 tahun). Pernyataan Mawar malah menggegerkan petugas yang hadir pada saat itu. Mereka sebagai warga kampung itu tidak pernah ada yang tahu akan hal tersebut.

Selama ini mereka hanya tahu bahwa Mawar tinggal di asrama dan belajar di lembaga itu. Ungkapan Mawar tidak begitu saja dipercaya. Mawar pun kemudian diajak bicara oleh pamannya yang kebetulan saat itu juga sedang ikut siskamling. Mawar didorong untuk bersumpah dengan menggunakan kitab suci bahwa dia tidak berbohong. Mereka masih tidak mempercayai apa yang diakatakan oleh Mawar. Karena orang yang Mawar sebut adalah orang yang terpandang/ terhormat di kampung itu. Namun Mawar tetap bersedia untuk bersumpah dan tetap mengatakan hal yang sama tersebut.

Untuk memastikan kebenaran dari pengakuan Mawar, para petugas ini langsung mendatangi rumah S. Oleh paman Mawar, S pun ditanyakan mengenai kebenaran akan hal yang diakui oleh Mawar. S malah mengalihkan pertanyaan itu dengan mengajak berbicara hal lain. Walaupun dipaksa untuk memberi kejelasan pernyataan Mawar, S tidak juga mau mengaku. Akhirnya paman Mawar dan petugas lainnya pun pulang tanpa adanya kejelasan.

* * *

Berita bahwa Mawar sudah dinikahin secara diam-diam oleh S cepat sekali tersiar ke wilayah kampung tersebut. SMS demi SMS mengenai berita tersebut terkirim begitu cepat, entah dimulai dari siapa. Pada esok harinya, warga kampung tersebut berbondong-bondong mendatangi lembaga yang dimiliki S dan entah siapa yang mulai menyulut kemarahan, warga kampung pun akhirnya bertindak anarkis. Kekecewaan mereka adalah karena perlakuan tidak senonoh yang dilakukan oleh S, padahal ia adalah pimpinan lembaga keagamaan. Lebih-lebih S adalah seorang pendatang yang membangun lembaga itu ditengah-tengah kampung yang sederhana ini.

Warga kampung akhirnya membakar lembaga tersebut, hingga menghancurkan satu rumah dan beberapa rumah-rumah lain yang terletak di komplek itu pun porak poranda. Saat kejadian, S dan keluarganya sudah lebih dahulu pergi meninggalkan tempat itu.

Saya tidak akan banyak ceritakan tentang kejadian tersebut karena cukup pelik, rumit, dan melibatkan banyak pihak. Banyak juga tokoh-tokoh agama yang ikut urun rembug menghadapi permasalahan itu.

* * *

Saya ingin fokus dengan apa yang dialami oleh Mawar. Karena tidak ada i’tikad baik dari S untuk menyelesaikan kasus yang menerpanya, ditambah dengan kenyataan bahwa kasus ini juga menambah kebingungan keluarga mawar dan warga kampungnya, akhirnya kasus yang menimpa Mawar tersebut pun diadukan ke kantor polisi.

Mawar harus menjalani pemeriksaan polisi hingga beberapa kali, bahkan kadang harus melaluinya hingga berjam-jam. Hal tersebut membuatnya kelelahan. Pernah pula ia dan sang ayah baru pulang dari pemeriksaan hingga dini hari. Untuk melengkapi laporan keluarga, Mawar pun divisum. Hasilnya mencengangkan! Ternyata memang positif bahwa Mawar sering mendapat perlakuan kekerasan seksual dari S.

* * *

Saya hadir beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi. Awalnya saya hanya mendapatkan info mengenai kasus tersebut melalui surat kabar. Saya membutuhkan alamatnya, dan itu memakan waktu beberapa hari hingga akhirnya saya menemukan alamat Mawar.

Saya mendapat rekomendasai agar datang ke kelurahan setempat terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar bisa diantar oleh orang setempat ke tempat tujuan, karena lokasinya yang memang tidak mudah ditelusuri untuk orang baru.

Saya pun akhirnya bertemu dengan lurah wilayah tempat tinggal Mawar. Segera saya sampaikan bahwa saya adalah pengurus di sebuah Lembaga Perlindungan Anak. Sebelumnya, ketika saya menyampaikan bahwa akan datang ke lokasi kejadian, Bapak Lurah malah berkenan untuk menemani saya sampai ke lokasi. Saya sangat mengapresiasi bantuan yang beliau berikan saat itu.

Saat pertama kali datang ke lokasi, kondisi di kampung tersebut masih mencekam. Baru pertama kalinya saya menyaksikan langsung kondisi suatu daerah pasca terjadinya kejadian anarkis. Biasanya saya hanya mengetahuinya dari membaca koran atau menonton lewat tayangan televisi dan film.

Saya melihat masih banyak aparat polisi yang berjaga-jaga dalam beberapa radius di RT tersebut. Saya juga sempat melihat lokasi bekas dilakukannya pembakaran. Lembaga itu telah porak poranda. Bangunan bagian depannya sudah tidak utuh, sedang bangunan-bangunan lain dibelakangnya rusak. Police Line pun masih terpasang untuk melindungi bangunan yang telah hancur tersebut. Ada polwan dari unit PPA (pusat perlindungan anak) yang saya kenal baik, turut pula berada di sekitar rumah Mawar untuk berjaga-jaga.

Singkat cerita, saya pun tiba di rumah Mawar. Saya disambut oleh pamannya Mawar, karena ternyata rumah Mawar berdekatan dengan rumah saudaranya. Dapat dikatakan bahwa warga yang tinggal di RT di wilayah tersebut ternyata merupakan saudara satu sama lainnya.

Saya bersyukur karena datang dengan ditemani oleh Bapak Lurah. Hal ini membuat saya lebih mudah untuk bisa dipercaya oleh keluarga Mawar. Kalau saya datang sendiri, biasanya saya butuh untuk menyampaikan prolog yang cukup panjang danmemakan waktu kepada keluarga korban.

Saat itu hal pertama yang harus saya katakan adalah bahwa saya bukan dari media untuk melakukan peliputan, tetapi saya datang untuk memberikan pendampingan kepada korban. Hal itu dikarenakan keluarga korban biasanya diperingatkan oleh untuk tidak berbicara kepada sembarang orang saat kasus sedang melonjak ke permukaan.

Pada awalnya keluarga Mawar memang merahasiakan di mana Mawar berada agar dapat melindungi gadis tersebut. Keluarga benar-benar memperhatikan keselamatan Mawar dan agar Mawar terhindar dari pemberitaan miring tentangnya, atau pun terhindar dari serbuan pihak media.


* * *

Setelah saya ngobrol panjang lebar, kemudian juga dengan dukungan Bapak Lurah, akhirnya keluarga korban mau menceritakan di mana keberadaan Mawar saat itu. Ternyata Mawar tinggal di rumah neneknya yang tidak jauh dari rumah Mawar.

Saya sangat bersyukur bisa diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mawar, karena saya tahu persis pada saat ini kondisi Mawar pasti sedang terguncang dengan berbagai kejadian yang baru saja dialaminya. 

Hati nurani saya  terpanggil untuk mendampinginya.

Saat bertemu dengan Mawar, yang pertama saya rasakan adalah perasaan tercekat. Saya sedih dan haru ketika melihat Mawar. Saat itu ia mengenakan busana muslimah. Anaknya berkulit putih, cantik, dan berparas polos. Saya juga bisa melihat bahwa Mawar merupakan gadis yang cukup pandai dan berani. Saya pun berjabat tangan dan memeluknya dengan perasaan yang bercampur aduk. Saya pun langsung teringat akan anak saya yang hampir seusia dengan Mawar.

Saya perkenalkan bahwa saya dari perlindungan anak, yang akan mendampinginginya saat itu. Mawar terlihat senang, matanya berbinar-binar. Muka bulat putihnya menyiratkan kegembiraan saat saya jelaskan maksud kedatangan saya.

Pada pertemuan pertama saya lebih banyak mengobrol hal-hal yang ringan, seputar keluarganya. Saya berusaha membangun hubungan yang lebih erat agar Mawar bisa mempercayai saya, sehingga ia pun mau berbagi dan menceritakan berbagai hal yang dialaminya.

Pertemuan pertama saya dengan Mawar tidak berlangsung terlalu lama karena saya tahu, saya tidak boleh tergesa-gesa menuntut Mawar untuk mempercayai saya dan menceritakan semuanya kepada saya. Saya berjanji pada Mawar akan datang lagi untuk membicarakan permasalahannya dan siap untuk mendampingi Mawar untuk menjalani proses hukum hingga ke pengadilan. Saya menitipkan nomor kontak saya agar Mawar bisa mengontak saya jika ada perkembangan terbaru atau apapun yang terkait permasalahan yang sedang dia hadapi.

* * *

Sebenarnya ada satu hal yang menjadi kekhawatiran saya terhadap kondisi Mawar. Keluarga Mawar bisa dibilang jauh dari kata 'sejahtera'. Bapaknya kadang berjualan keliling, kadang tidak bekerja. Ibunya merupakan buruh cuci. Mawar lebih sering didampingi oleh pamannya yang lebih memiliki kemapuan di keluarga besar mereka. Pendidikan mereka juga rendah, saya khawatir pihak pelaku akan mudah 'mempermainkan' kasus ini karena secara strata pendidikan dan ekonomi, sangat jauh dibandingkan dengan keluarga Mawar.

Hari itu saya pulang  dengan membawa sebuah pekerjaan rumah. Saya tahu, ini baru hari pertama. Saya harus kuat untuk melalui hari-hari panjang di kedepannya bersama dengan Mawar. Lokasi rumah Mawar memang termasuk cukup jauh. Wilayahnya bahkan berada hampir di perbatasan kota, sedang saya tinggal di pusat kota. Namun jika saya mengingat-ingat kembali sosok Mawar, saya pun tidak pernah merasakan jauhnya perjalanan itu.

Keesokan harinya ternyata saya harus datang lagi ke lokasi kejadian. Kasus pembakaran lembaga keagamaan tersebut dan berbagai rentetan dari kejadian yang dialami Mawar, ternyata sudah menjadi berita hangat di seluruh kota. Bahkan sempat pula menjadi pemberitaan di berbagai media nasional. Hal itu membuat jajaran pemkot terpanggil untuk mendatangi keluarga korban.

Tidak banyak yang menarik sebenarnya, karena  itu bukan concern saya akan formalitas yang ada di lingkup pemerintahan. Kehadiran saya hanya menjadi penunjuk jalan dan penghubung antara keluarga korban dengan pihak pemkot. Pada hari itu pun saya tidak mendapatkan progress apa-apa. Namun satu hal yang saya tahu pasti, bahwa Mawar dan keluarga besarnya cukup senang dengan perhatian dan kehadiran pihak pemkot saat itu.

* * *

Beberapa hari kemudian saya mendatangi sendiri rumah Mawar. Saat itu Mawar mulai bercerita banyak mengenai semua kejadian yang telah dialaminya. Miris. Saya melihat sosok anak yang polos yang sudah diperdaya oleh seorang tokoh agama.

Dari cerita Mawar saya baru tahu bahwa ternyata kejadiannya sudah berlangsung sejak dua tahun yang lalu. Dengan demikian kasus ini terjadi sejak Mawar berusia tujuh belas tahun dan itu artinya Mawar masih dikategorikan sebagai anak-anak dan berhak mendapat perlindungan sebagai anak dan dilindungi dari pernikahan pada usia dini.

Semua berawal pada saat Mawar dipaksa menikah oleh S dengan cara yang sangat tidak lazim. Mawar diminta datang ke ruang utama asrama atas permintaan S. Di sana Mawar diminta untuk mau menikah dengan S. S pun meminta dengan memegang tangan Mawar dan memintanya dengan agak memaksa.

Pada awalnya Mawar tidak mau. Dua kali Mawar menyatakan penolakan namun S tetap memaksa. Mawar sempat mendapat cubitan di tubuhnya hingga ia pun merasa kesakitan, dan pada akhirnya ia pun menurut saja. Setelah mengatakan bahwa S telah menikahi Mawar, S pun langsung memaksa Mawar untuk melakukan hubungan suami istri. Kejadiannya dilakukkan di ruangan itu, di lantai dengan beralaskan tikar.

Setelah peristiwa tersebut, S bilang kepada Mawar agar tidak menceritakan hal tersebut pada siapapun. Mawarpun kembali ke kamarnya. Ada kemarahan dan perasaan lain yang berkecamuk dalam diri Mawar, tapi ia tidak tahu harus bicara ke siapa. Mawar pun takut untuk bercerita karena S sudah mewanti-wantinya agar tidak bicara kepada siapapun.

S sendiri sudah berkeluarga. S sudah memiliki anak dan istri. Istri S lebih dari satu, ada yang dinikahi secara resmi dan ada juga yang dinikahi secara siri. S sendiri merupakan anak dari seorang tokoh agama juga. Bahkan S sebenarnya merupakan lulusan dari sekolah agama di luar negeri.

Sejak saat itu, Mawar harus selalu memenuhi kemauan S, kapanpun S menginginkannya. Sebenarnya Mawar sudah berusaha untuk menghindar hingga ia sering mendapatkan teguran atau omelan dari S. Namun karena Mawar masih tinggal di pondokan itu, maka mau tidak mau ia harus terus menuruti kemauan S.

* * *

Kejadian yang dialami oleh Mawar memang sangat berliku - liku. Mungkin saya tidak perlu menceritakannya secara panjang lebar, namun yang pasti selama dua tahun itu Mawar menjadi istri siri yang tidak jelas nasibnya, karena yang tahu itu adalah pernikahan siri hanya mereka berdua. Semua orang di pondokan itu tidak pernah tahu, terlebih lagi orang yang ada di kampung itu. Sudah pasti tidak tahu apapun yang dialami oleh Mawar. Oleh karena itu kasus ini pun akirnya menyulut kemarahan warga dengan begitu cepatnya hingga menjadi tindakan anarkis.

Saya memang tidak setiap hari berkunjung ke rumah Mawar. Namun, saya tetap melakukan kontak dengan Mawar. Ia bahkan selalu memberitahukan kepada saya apapun yang dia alami saat itu ataupun berbagai proses mediasi yang terjadi antara S, keluarga, warga, dan tokoh masyarakat.

Sejak beberapa hari setelah kejadian, setelah adanya bukti-bukti lengkap, S pun di tangkap oleh kepolisian. Namun, karena S berasal dari keluarga terpandang, orang tua S tidak tinggal diam. Ayah S mengupayakan segala cara agar anaknya dibebaskan. Ia bahkan menjanjikan sejumlah besar materi kepada keluarga Mawar dan bahkan mengatakan akan segera menikahkan Mawar dengan S. Mereka berharap agar keluarga Mawar  mencabut laporannnya agar S bisa dibebaskan.

Kondisi yang cukup pelik. Tawaran sejumlah uang membuat keluarga Mawar cukup tergoda untuk mencabut laporannya. Uang dengan jumlah yang begitu banyak tentu akan sangat berguna bagi mereka yang hidupnya memang pas-pasan.

Mereka pun sempat diminta menandatangani surat perjanjian yang dibuat oleh orang tua S. Syukur pihak kepolisan cukup tanggap. Mereka banyak membantu keluarga Mawar untuk berpikir jernih terhadap persoalan yang dihadapi anaknya. Terlebih kasusnya sudah menjadi berita nasional, tentu saja kepolisian tidak mudah begitu saja mengeluarkan S. Dikhawatirkan akan merusak semangat keadilan warga dan bisa menimbulkan tindakan anarkis yang lebih besar lagi.

Setelah berkas Mawar lengkap, pihak kepolisian pun langsung melanjutkannya ke pihak kejaksaan. Persidangannya membutuhkan waktu hingga beberapa minggu lamanya. Pendmapingan terhadap Mawar pun tetap saya lakukan. Saya juga mendorong Mawar untuk tetap bisa melakukan aktivitas positif. Selama ini hari-harinya hanya diisi dengan melakukan aktivitas di pondokan, sekarang Mawar harus bisa menata dirinya sendiri di rumah dengan fasilitas yang sangat terbatas untuk memaksimalkan potensi diri. Satu keprihatinan tersndiri bagi saya, karena saya tidak mampu memberikan solusi pemberdayaan bagi Mawar. Anak yang baru masuk usia dewasa, anak yang cerdas dan punya potensi, namun memiliki keterbatasan ekonomi.


* * *

Suatu hari Mawar SMS saya.
"Ibu, apa kabar? Saya kangen ibu. Saya dapat surat pangggilan dari PN (Pengadilan Negeri). Sidangnya akan berlangsung hari.. jam.."

Saya terharu membacanya. Saya pun menelpon Mawar, dan saya bilang kalau kita akan bertemu di PN.

Hari pertama persidangan Mawar. Saya pun mempersiapkan surat permohonan dan surat tugas dari lembaga perlindungan anak yang menaungi saya. Surat itu ditujukan  kepada hakim agar saya diperkenankan bisa ikut dalam persidangan tertutup kasus Mawar.

Selama persidangan saya hanya menjadi pemantau terhadap jalannya persidangan. Sekaligus juga mendampingi dan menjaga Mawar agar tidak terekspos oleh media.

Saya harus memastikan bahwa proses hukum terhadap Mawar dapat berlangsung dengan adil tanpa ada intervensi dari si pelaku yang kaya raya, dan saya juga menjaga kondisi psikologis Mawar selama mengikuti persidangan.

Saya  ingatkan Mawar untuk tidak menerima wawancara siapapun dan agar menutup mukanya supaya tidak terekspos media. Sebenarnya sudah jelas dan ketika saya ingatkan, awak media pun mengatakan kalau sudah tahu.

Yaitu dalam UU no 23 tahun 2002 pasal 64 disebutkan bahwa anak yang  mengalami kekerasan seksual atau anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dilindungi identitasnya dari pemberitaan di media. 

Namun pada kenyataannya, apa yang dilakukan oleh awak media seringkali  jauh dari harapan saya. Saya ingin berbagi pengalaman saat menghadiri persidangan itu. Saya merasakan banyak sekali kejanggalan yang terjadi dalam persidangan kasus Mawar, saya coba runutkan di sini, yaitu:
  1. Pihak Jaksa sangat akrab dengan pelaku maupun pengacaranya. Ini terlihat langsung dengan mata kepala saya selama kejadian-kejadian di luar proses persidangan. Saya tidak tahu bagaimana etika sebenarnya dari sikap Jaksa terhadap pelaku dan pengacaranya. Yang saya rasakan hanya bahwa apa yang terlihat di depan mata saya tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Korban menjadi selalu curiga ada sesuatu dengan kedekatan itu. Wallahu’alam.
  2. Saat di luar persidangan jaksa itu sempat mengatakan kepada saya, sudahlah engga usah dipersoalkan kasus ini. Lebih baik dikawinkan saja Mawar dengan S. Daripada Mawar yang nggak jelas statusnya sekarang.. What?! Saya kaget mendengar ucapan itu dari aparat penegak hukum. Perempuan pula jaksanya. Dimanakah hati nuraninya sebagai perempuan? Sebagai seorang ibu? Pada saat itu saya tidak mungkin untuk berdebat, saya tidak ingin salah langkah yang ujung-ujungnya hanya membuat Mawar menajdi tersudut.
  3. Selama persidangan saya juga merasa aparat penegak hukum tidak terlalu punya perspektif terhadap perlindungan anak. Mawar selalu dicecar dengan pertanyaan yang menyudutkan dan selalu diancam dengan kalimat: "Ingat kalau kamu berbohong, kamu berada dibawah sumpah. Kamu bisa dipenjara dengan kebohonganmu." Tentu saja Mawar harus banyak mengingat-ingat karena kejadiannya sudah berlangsung dua tahu lebih, namun hal itu tidak membuat aparat lebih lunak menghadapi Mawar.
  4. Saksi-saksi yang dihadirkan dari pihak Mawar pun mendapat tekanan yang sama dengan Mawar. Namun, ketika ada saksi yang meringankan S. Semua jawaban saksi itu ditelan bulat-bulat, tidak ada ungkapan peringatan agar saksi harus berbicara seusai fakta dan tidak boleh berbohong. Padahal saat saksi itu bicara, Mawar mengeluhkan kepada saya, bahwa banyak hal yang tidak benar yang diungkapkan oleh saksi itu.
  5. Ketika si pelaku yang ditanya, terlihat mereka tidak banyak mempersoalkan semua jawaban si pelaku. Padahal kalau saya mencermati banyak sekali celah yang bisa dikonfrontasi dari ungkapan S yang kadang bisa berbeda-beda. Saya tidak mengerti ada apa ini.
Hal yang paling memilukan dari persidangan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Mawar adalah ketika putusan pengadilan tiba. Jaksa menuntut pelaku dengan hukuman yang sangat rendah. Setelah ada pembelaan dengan berbagai argumen, di akhir persidangan vonis hukuman  yang diberikan kepada S adalah hukum kurungan di penjara selama  kurang dari satu tahun.

Saya menceritakan semua kejadian di persidangan kepada teman saya yang merupakan seorang dosen hukum di sebuah universitas negeri. Beliau menyarankan saya untuk menyampaikan hal yang saya temui di persidangan kepada komisi etik kejaksaan. Saya bahkan diberi nomor telepon salah seorang anggota komite tersebut.

Saya ingin sekali mengadukan jaksa yang tidak berperspektif anak ke komite kejaksaan. Saya ingin sekali hal seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Saya ingin hak-hak anak di persidangan dihargai dan dipenuhi rasa keadilan hukumnya.

Setelah saya renungkan kembali.... Akhirnya saya mengurungkan niat saya. Saya tidak ingin melaporkan jaksa tersebut. Kenapa? Bukannya saya takut. Kalau untuk menolong anak-anak saya tidak takut. Saya lebih berpikir bahwa kehadiran saya bukan untuk memberikan keburukan bagi orang lain. Saya ingin ada cara yang lebih baik untuk mengingatkan Jaksa dan semua aparat penegak hukum lainnya, bukan dengan menghancurkan karirnya karena pengaduan saya.

Saya akhirnya minta kepada teman saya yang merupakan seorang wartawan media lokal untuk memuat keluhan saya mengenai persidangan kasus kekerasa seksual ini. Saya beberkan kekecewaan saya tentang jaksa yang tidak berpihak pada korban. Saya juga kecewa  dengan putusan pengadilan yang begitu ringan.

Esoknya berita itu muncul, saya tahu PN dan Kejaksaan berlangganan koran ini. Saya hanya berharap ini bisa menjadi teguran bagi para Aparat Penegak Hukum. Bahwa kerja mereka dilihat banyak orang. Mereka diberi amanah yang besar untuk berlaku adil pada siapapun. Mereka harus sadar bahwa mereka tidak bisa bertindak semaunya. Jika itu mereka lakukan, maka mereka akan merasakan pengadilan yang diberikan oleh masyarakat. Cap buruk  bagi para aparat penegak hukum yang tidak baik akan melekat di mata masyarakat kota itu, di negara  ini, bahkan di dunia sekali pun. Akankah  mereka berani  pertaruhkan reputasi mereka demi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, atau demi-demi lain yang telah menjadi rahasia umum?

* * *

Begitulah perjalanan saya mendampingi Mawar. Penuh diliputi haru biru dan rasa yang tercampur - baur. Meski demikian, saya tetap menjaga profesionalitas saya sebagai seorang relawan. Tujuannya adalah agar saya tetap fokus membantu, mendukung, dan mendampingi Mawar. Saya tidak larut dengan apa yang dialami oleh Mawar.

Saya masih merindukan Mawar hingga saat ini.

Satu hal kesedihan saya yang belum terobati adalah bahwa saya merasa belum bisa mengangkat Mawar untuk lebih berdaya sebagai seorang perempuan yang beranjak dewasa. Saya hanya mampu melakukan pendampingan bagi Mawar...

Semoga Tuhan memberkati Mawar dengan keberkahan yang berlimpah dan kehidupan yang lebih baik kedepannya... Amin YRA..

* * *

photo credits:
mypartyplanner.com 
dailycal.org
universityaffairs.ca

0 komentar:

anak,

Belum Maksimalnya Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual

21.23 Ena Nurjanah 0 Comments



photo credit: envision.ca

Semuanya bermula pada suatu sore... Saat saya menonton berita di salah satu stasiun televisi yang sedang menayangkan pidato ibu negara yang berisi ungkapan keprihatinan Ibu Ani Yudhoyono terhadap kekerasan seksual yang banyak terjadi pada anak-anak di Indonesia. Bu Ani juga kemudian menyampaikan berbagai tindakan yang sudah diambil oleh pemerintah terkait dengan keadaan darurat kekerasan seksual pada anak.

Saya sih seneag mendengarnya.. Tapi rasa-rasanya ada yang janggal
Mengapa janggal? 
Apa yang salah dengan pidato bu Ani? 
Ya... Nggak ada yang salah, bahkan sejujurnya seratus persen saya pun memberikan dukungan terhadap apa-apa yang beliau sampaikan.

Kejanggalan yang saya rasakan tadi adalah bersumber bahwa dari apa-apa yang telah Ibu Ani katakan, mengapa belum terjadi perubahan yang signifikan pada tataran kenyataan? Saya  masih sering membaca berbagai berita di media bahwa  kekerasan itu masih kerap terjadi di banyak tempat di Indonesia.

Yang paling penting lagi adalah bahwa sampai hari ini kenapa penanganan yang dilakukan terhadap korban masih belum maksimal?

Saya pun telah melakukan diskusi dengan beberapa teman sesama relawan anak. Mereka telah melakukan advokasi terhadap korban kekerasan seksual  di banyak tempat.  Keluhan mereka tetap sama dari dulu hingga sekarang. Dahulu (yang mana sepi dari kepedulian pejabat) ataupun sekarang (yang kini banyak dikomentari dan dikritisi oleh para 'pejabat'), tidak ada bedanya!

Anak yang menjadi korban masih tetap tereksploitasi media. Anak yang menjadi korban belum mendapat penanganan secara maksimal, bahkan ada kecenderungan anak yang jadi korban tersebut (khusus ABG) malah sering dipersalahkan dan diberikan tudingan bahwa kekerasan seksual yang dialaminya adalah akibat perbuatannya sendiri. 

Padahal, anak yang menjadi seperti demikian pun dapat dilihat dari latar belakangnya, pasti ada andil keterlibatan orang tua/orang dewasa yang membuat mereka berperilaku seperti itu, termasuk kelalaian orangtua dalam membimbing perkembangan remajanya. 

Masih inget  ungkapan calon hakim agung Daming, ketika ditanya tentang kasus pemerkosaan yang dialami seorang ABG, atau pernyataan Bapak Mendikbud untuk kasus yang sama, atau yang terbaru celotehan @detikcom dengan judul "anaknya lah yang minta diperkosa"? Sungguh pernyataan yang patut dipertanyakan kepeduliannya terhadap hak-hak anak.
Harusnya para orang dewasa menyadari bahwa “anak-anak hanya butuh bimbingan dan perlindungan,” bukan “disalahkan(!)"
Penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak pun masih sering berlangsung secara 'tergagap-gagap', karena banyaknya intervensi banyak pihak. Sampai kapan kita menunggu hingga penyelesaian kasus yang diberlangsungkan adalah ‘demi kepentingan terbaik bagi anak’ bisa ditegakkan?

* * *

Saya telah banyak melalui pengalaman dalam mendampingi korban kekerasan seksual. Banyak sebenarnya harapan saya yang tertuju pada pemerintah. Kalau saja kementerian yang ada bisa berjalan secara efektif, kalau saja mereka bisa menjalankan perannya dengan tepat, banyak hal yang bisa diperbuat demi perlindungan anak Indonesia. Termasuk perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Ada kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang harusnya bisa  menjadi leading sector untuk menggerakan seluruh elemen dalam perlindungan Anak. Bukan hanya dengan  kampanye atau orasi, kalau sekedar kampanye dan orasi, semua elemen juga bisa melakukannya. Untuk menggerakan sistem perlindungan anak dalam pemerintahan, hanya kementerian yang punya kewenangan.

Terhadap aparat penegak hukum, ada yang harus terus dicermati, karena masih banyak yang tidak sensitif terhadap isu-isu perlindungan anak. Kalau tidak 'mempan', harusnya Bapak Presiden bisa memberikan suaranya demi keberlangsungan anak-anak Indonesia.

Ada kementerian sosial yang pekerjaannya banyak bersentuhan dengan anak-anak. Kemensos harusnya bisa dan selalu bergandengan dengan kemenPPPA dalam perlindungan Anak.

Kementerian lain pun harusnya juga bersentuhan dengan hak-hak anak juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan anak. Bukankah itu yang diamanahkan oleh Konvensi Hak Anak PBB? Sebuah negara yang menjunjung tinggi hak anak dan memberikan perlindungan maksimal pada seluruh anak.

Sekarang bukan saatnya lagi kementerian memperbanyak kampanye, seminar, workshop, atau orasi berapi-api tak mengenal langkah konkret. Kementerian harus lebih optimal dalam menggerakkan para aparaturnya, agar benar-benar bekerja, bukan asal bekerja. Jangan sampai visi misi kementerian hanya menjadi sebuah hiasan di laman website sebuah kementerian.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di negeri ini sudah tidak bisa lagi ditolerir. Sudah terlalu banyak anak yang jadi korban.
Harapan saya pada pemerintahan negeri ini, semoga bisa bekerja lebih maksimal lagi untuk perlindungan anak, khususnya dari kekerasan seksual yang tengah merajalela. Semoga pemerintah lebih fokus untuk menggerakan roda pemerintahan di semua tingkatan dan di semua wilayah guna memaksimalkan perlindungan bagi anak. Tidak lagi hanya mengeluarkan statement semu yang menenangkan, padahal persoalan belum ada yang dituntaskan. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Kejahatan seksual terhadap anak setiap saat mengintai.

Bagi semua orang dewasa, mari kita sayangi anak-anak dengan menjaga dan memenuhi hak-haknya.


0 komentar: