no child left behind,

(PENTING) Perkembangan Karir Anak - Seriusnya Amerika Mempersiapkan Karir Anak Sejak Usia Dini (2)

14.59 Ena Nurjanah 1 Comments


Masih ingat anak ini?
Dia adalah Laura. 
Bagi yang masih bingung siapa Laura, 
silahkan melihat bagian sebelumnya dari blog post ini.

Bagian kedua ini melihat bagaimana  penyelesaian yang dilakukan bagi Laura.

Perkembangan karir (Career Development) Laura

Dari pertemuan dengan Konselor, Laura menyebutkan  beberapa  cita-citanya antara lain  ingin menjadi astronout, guru, atau pekerja medis. Pastinya cita-cita Laura dipengaruhi oleh beberapa role model seperti pamannya yang merupakan seorang astronout, guru kelas di sekolahnya, dan ibunya yang bekerja di rumah sakit. Laura tidak terpengaruh oleh pandangan tradisional mengenai cita-cita bagi gender tertentu. Laura malah merasa bisa melakukan peran yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki, yaitu menjadi peneliti ruang angkasa. Ketiga cita-cita pilihan Laura membuat dirinya bangga dan hebat,  sesuatu yang sangat ia dambakan pada saat ini.

Perkembangan karir dipengaruhi dan dibentukan oleh harapan pribadi, keluarga, maupun harapan terhadap  pekerjaan itu sendiri agar hidup menjadi lebih bermanfaat. 

Konselor mengajukan beberapa pertanyaan kepada Laura mengenai rencananya di masa yang akan datang. "Hidup seperti apa yang Laura inginkan nanti ketika ia menjadi orang tua dan apa yang menurutnya paling penting ketika dia menjadi orangtua nanti?" 

Seperti anak-anak seusianya, ketika dewasa nanti Laura ingin mengembangkan dirinya dan memiliki pekerjaan yang berarti bagi dirinya. "Aku ingin menikah, punya dua anak dan punya banyak anjing. Mungkin aku suka hidup di daerah pertanian. Aku juga mau kuliah seperti ibuku. Suatu saat aku juga akan menulis buku untuk anak-anak." Dari ungkapan Laura, sangat jelas kalau dalam dirinya sudah muncul nilai-nilai positif sebuah hubungan keluarga yang akrab, kreativitas, semangat akan pendidikan, dan juga kecintaan akan lingkungan.



Hambatan-hambatan dalam Perkembangan

Meskipun Laura sudah bisa menyebutkan citra-citanya dengan jelas, ada beberapa hal yang muncul sepanjang sesi konseling.  Hambatan ini bisa menjadi penghalang bagi Laura dalam meraih cita-citanya. 
Laura lebih sering mendengar pesan negatif tentang dirinya ketimbang pesan positif. 
Laura lebih sering fokus pada kekurangannya dibandingkan dengan kelebihan yang ada dalam dirinya. Secara umum, hubungan Laura dengan teman-teman sebayanya tidak terlalu bagus, dan Laura harus didorong untuk meningkatkan hubungan baiknya dengan teman-teman sebayanya.

Menurut Erikson, perkembangan psikososial anak-anak seusia Laura berada dalam fase industry versus inferiority. Kondisi Laura saat ini, ia kurang beruntung dalam kesempatan bersosialisasi, ia tidak memiliki teman dekat, dan ia tidak percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Padahal semua itu sangat penting untuk bisa membangun perasaan industry. Namun demikian, Laura memiliki motivasi dan semangat untuk bekerja keras. Saat ditanya mengenai kesulitannya dalam pelajaran matematika, ia menjawab "aku mesti banyak berlatih." Untuk mengatasi hal tersebut melalui pendampingan dari keluarga dan pihak sekolah, Laura bisa dibantu agar bisa mengembangkan ketrampilan sosial dan juga membangun harga dirinya.


Pengukuran (Assessment) bagi Laura

Meskipun banyak alat tes yang bisa digunakan untuk anak-anak usia Sekolah Dasar, namun kebanyakan alat tes tersebut merupakan tes kemampuan (tests of ability) yang biasa dibutuhkan oleh para guru untuk tujuan pengajaran bagi anak didiknya dan bukan untuk para konselor. 

Pada masa kanak-kanak  ini, umumnya minat, nilai, dan kepribadian anak masih terus berkembang, sehingga masih sangat terbatas alat tes bagi perkembangan personal dan karir anak. Satu hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tes terhadap anak Sekolah Dasar adalah bahwa harus ada kehati-hatian ketika melakukan tes terhadap kemampuan dan kepribadian anak. Hal ini untuk  menghindari adanya labelisasi maupun stigmatisasi terhadap anak. Meskipun memang perlu dituntut kehati-hatian, namun tes ini sangat berguna untuk melihat kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahan anak sehingga para konselor bisa memberikan pertolongan dengan tepat.
Ketika memberikan tes kepada anak, perlu diperhatikan bahwa hasil tes yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh suasana tes dan hubungan antara anak dengan petugas tes. Apalagi dalam kasus Laura yang memiliki perasaan kurang mampu dalam bidang akademis. Harus diciptakan suasana yang mendukung dan menumbuhkan perasaan positif bagi Laura. Petugas harus yakin bahwa Laura dalam suasana rileks dan nyaman, kemudian Laura juga harus tahu apa yang diharapkan darinya dalam menjalankan tes tersebut. 

Dalam melakukan tes bagi anak, sangat penting untuk mengamati perilaku anak selama tes. Apa yang dilakukan oleh anak-anak selama tes bisa memberi petunjuk mengenai motivasi, kebiasaan dalam bekerja, dan sikap yang dimiliki anak. Laura contohnya, ia selalu bertanya saat petugas menjelaskan cara pengerjaan tes, meskipun petugas belum selesai menjelaskannya. Laura selalu ingin tahu apakah jawabannya  benar atau salah dan ia juga cenderung  mengkritik dirinya sendiri.

Untuk lebih jelasnya Berikut ini dua jenis  pengukuran yang dilakukan terhadap Laura:

1) Pengukuran kemampuan (Assessment of Abilities)
Secara umum, tes bakat (aptitude test) kurang penting bagi anak-anak dibandingkan dengan tes intelegensi dan tes prestasi. Tes bakat tujuannya untuk  membuat ramalan (prediction). Peramalan masa depan anak-anak melalui bakatnya masih membutuhkan waktu yang cukup lama, kemudian juga bakat anak saat berada di bangku Sekolah Dasar  belum berkembang maksimal.

Pengukuran kemampuan anak bisa dilakukan dengan melihat pada tingkatan/kelas (grades) anak. Caranya adalah dengan membandingkan antara tingkatan sekolah anak pada saat ini, dengan skor nilai tes intelegensi dan skor nilai tes prestasi . Hasil yang didapat akan memberikan gambaran tentang bagaimana anak menggunakan kemampuan yang dimilikinya.

Dari raport Laura kuartal ketiga menunjukkan bahwa Laura rajin datang ke sekolah dengan capaian di atas rata-rata kelas. Capaian prestasi Laura yaitu: nilai A untuk pelajaran Seni (art), komunikasi tulisan (written communication), pendidikan fisik (physical education); nilai C untuk mengeja (spelling) dan komunikasi lisan (oral communication); Laura mendapat nilai baik ‘Good’ untuk  ketrampilannya dalam: berusaha (effort), kewarganegaraan (citizenship), dan ketrampilan belajar (study skill). Dari hasil raport yang diperoleh Laura menunjukkan bahwa ia  dapat beradaptasi dengan baik  di kelas baru.

Psikolog sekolah telah melakukan tes  IQ pada Laura dengan menggunakan alat tes WISC-III (Wechsler Intelligence Scale for Children third edition).  Hasilnya adalah: skor verbal IQ 113, performance IQ 108, dan nilai skor total nya adalah 112. Kemampuan verbal dan nilai skor total berada dalam rentang di atas rata-rata, dan performance berada dalam garis rata-rata. Antara skor intelegensi Laura dengan jenjang sekolah (grade) nampaknya cukup kongruen. Hal ini mengindikasikan bahwa Laura mampu menggunakan kemampuan intelektualnya dengan baik.

Selain tes WISC-III, Laura juga di tes lagi dengan menggunakan alat tes  WJII (The Woodcock-Johnson Psycho-Educational Battery II). Alat  tes ini pelaksanaannya harus individual untuk menilai kemampuan kognitif (cognitive ability) dan prestasi sekolah (scholastic achievement). Alat tes ini berguna bagi anak yang mengalami kesulitan belajar (learning disabilities) dan juga untuk membuat perencanaan belajar (instructional planning).  Dari hasil tes tersebut, nilai yang didapat Laura adalah sebagai berikut:


Subtes
Age
Grade
Standard Score
Reading
7.9
2.6
82
Mathematics
10.3
5.3
102
Written language
8.2
3.1
84
Knowledge
11.2
5.8
108
Skill
8.8
3.5
88


Dari hasil tes terlihat bahwa kemampuan Laura tidak berkembang secara merata, dan ini memang ciri dari anak yang mengalami kesulitan belajar. Nilai matematika dan pengetahuan umum (knowledge)  nya di atas rata-rata, sementara ketiga nilai lainnya berada di bawah rata-rata, dan nilai membaca (reading) mendapatkan nilai paling rendah yang menggambarkan area yang jadi masalah bagi Laura. Walaupun pihak sekolah sudah mengatakan bahwa Laura sudah berusaha dengan sangat baik untuk mengatasi kekurangannya tersebut, namun pada saat ini hasil yang didapat belum terlalu memuaskan. Namun demikian, dari hasil diagnosa menunjukkan bahwa kesulitan yang dialami oleh Laura masih tahap awal dan telah mendapat penanganan yang tepat.

2) Pengukuran kepribadian dan Minat (Personality and Interest Assessment)
Bagi anak usia Sekolah Dasar, kepribadian dan minat seringkali tidak dapat dipisahkan. Perubahan yang terjadi dalam minat seorang anak akan selalu  berkaitan dengan perkembangan kepribadian.

Tujuan utama dari penggunaan tes kepribadian/minat bagi anak usia Sekolah Dasar adalah untuk menolong anak agar lebih mampu mengembangkan kesadaran diri (self-awareness) dan juga  memfasilitasi anak untuk mencari pengalaman   eksplorasi yang relevan  dengan usianya.

Assessment kepribadian tidak akan dilakukan pada anak jika memang tidak ada masalah dengan kesehatan mental (mental health) pada anak. Konselor tidak akan melakukan analisis dan diagnosis terhadap fungsi psikologis anak. Diskusi dengan anak hanya dilakukan untuk meningkatkan harga diri (self-esteem), pengetahuan tentang diri (self-knowledge) anak  dan pertumbuhan diri (personal growth) anak tersebut.

Sebenarnya banyak alat tes kepribadian yang bisa digunakan. Namun, seringkali alat tes tersebut kurang cocok untuk anak atau seringkali alat tes tersebut masih harus diperhatikan lagi masalah reliabilitas dan validitas dari alat ukur tersebut.

Untuk mendapatkan informasi mengenai kesadaran karir (career awareness) dan kepribadian (personality) Laura, konselor sekolah menggunakan alat tes the JOB-O E (elementary). Alat tes ini dapat dilaksanakan secara individual maupun kelompok. Ala tes ini memfokuskan pada enam kelompok pekerjaan, yaitu: Grup 1 – mekanik, konstruksi, pertanian; Grup 2 - ilmuwan, pekerja teknikal ; Grup 3 – pekerja kreatif dan seni; Grup 4 – pekerja sosial, hukum, pendidik; Grup 5 – manager dan sales; Grup 6 – pekerja adminsitrari.  Dari alat tes ini akan dilihat mengenai minat, kemampuan eksplorasi diri, dan kemampuan.
  
Setelah menyelesaikan keseluruhan tes tersebut akan terlihat  tingakatan minat anak terhadap enam kelompok pekerjaan tersebut. Mereka juga akan memilih jenis pekerjaan yang ingin diketahui dan diteliti lebih banyak lagi. Alat tes ini juga mendorong adanya keterlibatan orang tua  dengan meminta anak untuk bertanya kepada orang tua mereka “ Empat hal penting apa  yang harus saya pikirkan dalam merencanakan karir?.”

Dari hasil tes JOB-O-E, Laura memiliki minat  cukup  luas yang meliputi bidang sosial, artistik, dan sains. Minat Laura ini sebenarnya bisa digunakan sebagai batu loncatan untuk mendorong Laura agar mencari pengalaman-pengalaman baru dan belajar lebih baik lagi untuk  mencapai cita-citanya. Dengan demikian, keberagaman minat yang dimiliki Laura dapat dimaskimalkan untuk mendorong perkembangan personal dan intelektualnya.

Meskipun guru-gguru Laura mengatakan Laura sudah mengalami banyak kemajuan di sekolah, namun perlu tetap diperhatikan bahwa kemampuan verbal Laura masih kurang, kemudian juga Laura masih memiliki masalah dengan gambaran dirinya (self-image).

Sebagai konsekuensi dari beberapa masalah yang dialami Laura maka dilakukanlah tes berikutnya untuk Laura yaitu ‘ the Piers-Harris Children’s Self-Concept Scale’. Tes ini digunakan untuk melihat kepribadian Laura terutama masalah gambaran dirinya (self-image). Alat tes ini dirancang untuk anak kelas 4 hingga kelas 12. Ada 80 statement dalam alat tes tersebut yang harus direspon dengan menyatakan apakah statement tersebut  menggambarkan tentang  dirinya atau tidak.

Hasil tes tersebut akan diperoleh dalam bentuk enam area  yaitu kemampuan penyesuaian perilaku (behavioral Adjusment), kemampuan intelektual dan sekolah (Intellectual and school status), penampilan dan atribut fisik (Physical Appearance and Attributes), bebas dari rasa cemas (Freedom From Anxiety), Popularitas (Popularity), kebahagiaan dan kepuasan (Happiness and Satisfaction).

Penjelasan dari hasil tes terhadap Laura menunjukkan bahwa nilai keseluruhan dari tingkat konsep diri (self-concept) Laura jika dibandingkan dengan  rata-rata anak Sekolah dasar di US, peringkat Laura berada dibawah rata-rata. Laura merasa dirinya tidak efektif dan selalu ragu-ragu dalam situasi yang membutuhkan penalaran kognitif maupun dalam situasi hubungan interpersonal. Skor Laura pada keenam area juga di bawah rata-rata.


Laura mendapat nilai tertinggi pada kemampuan penyesuaian perilaku. Hal ini menunjukkan perasaan positifnya terhadap sekolah dan kemampuannya untuk berteman. Sedangkan untuk nilai yang lain, perasaan yang dimiliki Laura cenderung biasa-biasa saja. Namun, khusus untuk penampilan fisik  Laura memiliki  sikap negatif atas penampilan dirinya.


Rekomendasi bagi Laura

Dari keseluruhan konseling terhadap Laura, bisa digambarkan di sini bahwa Laura  memiliki sikap yang terbuka dan konsisten. Laura menunjukkan performa yang baik di sekolah. Program khusus yang diikutinya mampu mengembangkan dirinya. Laura juga mendapat dukungan penuh dari kedua orang tua dan gurunya. Namun, perlu dicermati juga bahwa kesulitan belajar yang mengharuskannya mengikuti kelas khusus memberi dampak negatif bagi dirimya. Laura merasa kalau dirinya berbeda dengan teman-temannya, ia menjadi rendah diri dan  membuatnya sering menyalahkan diri sendiri. 

Dengan demikian, Perlu diperhatikan oleh para konselor, ketika merekomendasikan  Laura untuk mendapat pelajaran di kelas khusus harus juga diperhatikan aspek sosial dan psikologis.  Bantuan yang diberikan juga harus meliputi berbagai pihak, tidak hanya bagi  individu tersebut, tetapi juga harus melibatkan dukungan dari keluarga dan sebaiknya juga  Luara dilibatkan dalam grup koseling sebaya.

Konseling individual dengan melibatkan keluarga harus bisa mendorong kemampuan Laura untuk mampu mengekspresikan diri (self-expression), menumbuhkan kepercayaan diri (self-confidence) dan ketrampilan menjalin hubungan interpersonal (interpersonal skill). Keluarga harus turut membantu Laura agar memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya (self-efficacy) tentu saja dengan tidak memberi tanggungjawab yang berlebihan ataupun yang tanggung jawab yang tidak relevan dengan cita-cita Laura.
Program ‘konseling teman sebaya’ di sekolah harus mampu membantu Laura untuk meningkatkan kemampuannya dalam membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Partisipasi yang ada dalam program konseling teman sebaya harus juga bisa membangun harga diri (self-esteem) Laura. Program ini harus memberi kesempatan pada Laura untuk mengembangkan ketrampilan  dan memperjelas minatnya.

Perlu juga ada penjelasan tentang kondisi Laura pada saat pertemuan antar para guru. Hal ini agar para guru bisa memahami kondisi Laura dan sekaligus menumbuhkan pengertian bagi para guru bahwa sekalipun Laura  anak yang penuh semangat, namun ia masih butuh bantuan, karena Laura masih  memiliki  perasaan  harga diri (self-esteem) yang rendah.

* * *

Demikianlah sekelumit studi kasus tentang Laura yang berasal dari sebuah Sekolah Dasar di Amerika.  Studi kasus ini memperlihatkan apa saja yang telah dilakukan oleh pihak sekolah terhadap Laura. Banyak pihak yang terlibat. Semuanya ingin mendorong penyelesaian yang terbaik bagi Laura. Mulai dari keterlibatan guru, psikolog sekolah, konselor, teman-teman sebaya, dan juga keluarga terdekat.

Penyelesaian yang dilakukan terhadap Laura begitu komperhensif. Hal ini menjadi bukti kepedulian bangsa Amerika akan anak-anak sebagai generasi penerus bangsanya. Tidak ada yang terlewatkan dalam pendidikan, sekalipun pada anak dengan kesulitan belajar atau anak dengan kesulitan-kesulitan/ keterbatasan-keterbatasan yang lain.

Jika melihat dari studi kasus ini, saya jadi ingat satu program yang begitu menyentak harapan seluruh anak Amerika dan menjadi sangat berkesan bagi saya. Program Nasional yang telah di canangkan oleh George W. Bush sejak tahun 2001 dan hingga saat ini tetap berjalan, yaitu program "No Child Left Behind". Program yang diluncurkan untuk memastikan bahwa tidak ada satu anakpun tertinggal dalam dunia pendidikan, apapun alasannya. Sungguh program yang luar biasa dari seorang Presiden yang sangat peduli akan hak-hak setiap anak. Akan kah Indonesia mendapatkan Presiden yang peduli pendidikan bagi Anak......Pendidikan bagi Seluruh Anak Indonesia, tanpa kecuali tanpa diskriminasi?? SEMOGA.....



Photo Credits:
dorleem.com
123rf.com
illustration-pictures.vidzshare.net
gettyimages.com


1 komentar:

perekmbangan karir,

Seriusnya Amerika Mempersiapkan Karir Anak-anak Sejak Usia Dini

18.49 Ena Nurjanah 1 Comments



Saya sangat tertarik ketika membahas mengenai perkembangan karir. Umumnya ketika seseorang berbicara tentang karir, maka yang menjadi tema pembicaraan adalah karir bagi orang-orang dewasa. Istilah karir seringkali hanya ditujukan bagi orang dewasa yang sibuk mencari kerja, ataupun orang dewasa yang sedang berusaha untuk meningkatkan karir yang dimilikinya sekarang.

Hampir tidak ada yang membicarakan karir bagi anak-anak. Rasanya terkesan seperti sebuah 'pemaksaan', apabila kita bicara masalah karir pada mereka yang masih berusia kanak-kanak.

Tahukah wahai orangtua dan guru.. Karir bagi anak-anak sejak usia dini bahkan sudah banyak dibicarakan oleh Amerika sejak puluhan tahun yang lalu. Literatur tentang pendidikan karir bagi anak juga sudah banyak yang ditulis. Bahkan sudah lama pula diterapkannya pendidikan karir sejak usia dini di bangku-bangku sekolah di Amerika (yaitu sejak anak-anak masuk kindergarten/ TK). 

Di sini saya fokuskan untuk berbicara tentang pendidikan karir di Amerika sesuai dengan literatur yang ada juga berdasarkan pada buku-buku  perkembangan karir yang telah saya baca dan pahami. Hampir sebagian besar buku-buku itu ditulis oleh para ahli dari Amerika. Berikut ini saya akan memaparkan ulasan kasus yang berkaitan dengan perkembangan karir pada anak Sekolah Dasar dengan setting kondisi yang terjadi di Amerika.  
Hal-hal yang saya tuliskan adalah untuk pembelajaran bagi bangsa kita di kedepannya...
Saya  ingin memberi satu wacana baru (mungkin tidak baru  bagi mereka yang sudah mengetahuinya) kepada para orangtua atau guru atau pun orang dewasa pada umumnya, betapa negara Amerika sudah begitu peduli akan masa depan seluruh anak-anak  mereka. Anak-anak sejak dini sudah mulai dipersiapakan kesuksesan karirnya, dan tidak menunggu hingga munculnya kebingungan ketika mereka lulus SMA dan bertanya-tanya, “mau kuliah jurusan apa?” bahkan ketika lulus kuliah, “mau kerja apa?”

Tentu saja satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, mungkin sebagian pembaca akan merasa bingung dan agak aneh ketika mendengarnya, "anak-anak kok diajarkan tentang karir sejak usia sangat dini?" "Tidakkah itu satu bentuk pemaksaan?” Mungkin itu yang terbersit di benak para orangtua. 

Kalau kita sudah membaca literatur atau sudah pernah melihat secara langsung bagaimana pendidikan yang ada di sana, pasti akan merasakan hal yang sebaliknya. Pendidikan karir dibangun dengan landasan berbagai pendekatan keilmuwan yang terkait dengan anak-anak. Yang paling utama adalah  pemahaman yang utuh tentang psikologi perkembangan anak, psikologi pendidikan, dan juga berbagai pendekatan keilmuan lainnya. Semua itu membuat pendidikan karir diberikan  dengan  cara yang menarik dan bisa dinikmati serta sangat sesuai dengan tingkatan usia anak-anak.

Ada yang memang perlu diluruskan di sini. Bagi kita, di Indonesia, ketika berbicara tentang  karir, maka kita berbicara tentang bagaimana mencari pekerjaan atau bagaimana meraih suatu cita-cita. Adapun yang berkembang di Amerika adalah bahwa ketika berbicara tentang karir, itu artinya menjadi bagian dari pembahasan tentang perkembangan karir (career development).

Dari berbagai literatur yang ada, saya pun mengambil makna perkembangan karir dari  tesis saya yang berbicara tentang karir. Perkembangan karir dimaknai sebagai proses yang kompleks meliputi keseluruhan perjalanan kehidupan seseorang dan juga meliputi  keseluruhan peran maupun kedudukan yang diemban oleh seseorang. (dikutip dr tesis Ena Nurjanah, 2011).

Tahun 1994, Linda Seligman dari Virginia, USA menerbitkan buku yang berbicara tentang bagaimana memahami perkembangan karir mulai dari anak usia dini, kemudian bagaimana membuat agar pendidikan karir bisa diterapkan di dalam dunia pendidikan dengan mengintegrasikannya ke dalam setiap mata pelajaran yang ada di sekolah.

* * *

Saya akan mencoba menceritakan satu kisah dalam buku tersebut. Kisah ini bercerita tentang bagaimana pihak sekolah melalui psikolognya membantu seorang siswa yang mengalami masalah di sekolah. Kita akan melihat betapa kepedulian mereka akan perkembangan karir anak sesuai dengan tingkat pendidikan anak. 

Penyelesaian yang ditawarkan sangat komprehensif. Membuat saya merasa bangga dengan para pendidik di Amerika yang begitu perhatian  terhadap perkembangan yang ada pada anak  didiknya dan sekaligus sangat peduli akan perkembangan karir anak didiknya.

Berikut ini akan saya tuliskan kembali studi kasus yang ada dalam buku Seligman (1994).  Studi kasus ini akan bisa menjelaskan banyak hal  mengenai pola-pola perkembangan yang ada pada anak-anak dan juga bagaimana konseling dan prosedur assessment (pengukuran) yang dilakukan terhadap anak-anak Sekolah Dasar.

Studi kasus tentang seorang anak yang bernama Laura. Laura adalah seorang siswi di sebuah sekolah dasar. Laura telah dirujuk kepada konselor sekolah karena sikap inkonsistensinya ketika bergaul dengan teman-teman sebayanya di sekolah. Pada satu waktu Laura akan berperilaku baik dengan teman-temannya. Namun, lain waktu ia menjadi sangat dominan dan suka membuat teman-teman sebayanya menangis karena perbuatannya.

Saat Laura menemui konselor sekolah tidak terlihat bahwa ia menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan penyesuaian sosial. Laura adalah seorang anak yang mungil dan ramping dengan kacamata besar. Potongan rambutnya berantakan, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan energik. Saat awal pertemuan dengan konselor sekolah Laura memulainya dengan mengatakan: "Terima kasih sudah memanggilku. Aku jadi bisa keluar dari kelas pelajaran matematika,"

Latar belakang Laura
Saat mulai konseling, Laura berusia 10 tahun. Duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar. Ia mengalami kesulitan sejak di taman kanak-kanak, dan ketika duduk di kelas satu Sekolah Dasar Laura menjadi sangat frustrasi karena mengalami banyak kesulitan. Hasil dari evaluasi,  Laura dianggap mengalami kesulitan belajar (learning disability). Menurut hasil evaluasi, kesulitan belajar Laura adalah karena mengalami hambatan dalam  integrasi visual-motor.

Prestasi Laura sangat rendah dalam  membaca, aritmatik, dan kemampuan menuliskan huruf-huruf. Kemudian Laura direkomendasikan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus. Berdasarkan laporan yang ada, Laura  membutuhkan remedial secara berkelanjutan. Saat duduk di kelas dua dan kelas tiga Laura ditempatkan di sebuah kelas khusus dengan rasio jumlah guru dan murid yang rendah. Memasuki kelas empat, Laura kembali memasuki kelas biasa. Laura tetap didampingi seorang mentor yang akan membantunya dalam penyesuaian di  kelas biasa.

Laura tinggal di pinggiran kota. Kedua orang tuanya bekerja penuh waktu. Ibunya seorang tenaga medis, dan ayahnya seorang sales di perusahaan automobil. Laura dan adiknya Kevin biasa dititipkan ke nenek dari ibunya saat mereka pulang dari sekolah. Kevin berusia 8 tahun dan duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Kevin pelajar yang berprestasi, Ia sangat pandai dalam bidang akademis dan atletik.

Dari cerita Ayah Laura, ayahnya memiliki saudara laki-laki yang mengalami masalah dalam belajar. Waktu itu tidak ada program khusus yang diberikan bagi saudaranya itu. Ayah Laura lulusan SMA dan langsung harus bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga besar. Ibu Laura menyelesaikan pendidikan 2 tahun di sebuah community college.

Persepsi Laura
Laura menggambarkan dirinya sebagai sosok yang tidak disukainya: “Aku pendek, anak perempuan paling pendek di kelas, dan aku juga pakai kacamata. Hal terburuk yang aku rasakan adalah aku punya banyak kesulitan di sekolah; Aku tidak pernah bisa dapat nilai A untuk matematika!” 

Namun di antara luapan kalimatnya, dia telah mengatakan hal-hal positif tentang dirinya. Laura telah mengikuti kelas balet sejak berusia 2 tahun. Dia punya banyak koleksi boneka porselen. Musim panas ini ia akan ikut space camp (kemah ruang angkasa) dan dengan bangga Laura mengatakan bahwa ia ingin menjadi astronout seperti pamannya. Dia juga mengatakan bahwa ia suka membuat cerita dan menawarkan untuk menceritakan tulisan terakhirnya kepada konselor.

Laura menceritakan gambaran positifnya tentang keluarganya. "Ibu dan ayah bekerja keras, namun mereka selalu punya waktu untuk menemani dan membacakan kami cerita saat menjelang tidur. Pada hari Sabtu, kami biasa pergi ke taman dan main bola." Laura kurang suka dengan adiknya, Kevin. “Kevin sering menyakiti aku. Dia pernah  merusak mainanku. Kevin hampir setinggi aku."

Bagi Laura, nampaknya teman memiliki tempat tersendiri. "Mereka selalu mengolok-olok tulisanku dan selalu menjadikan aku sebagai pilihan terakhir untuk dilibatkan dalam permainan. Kadang-kadang mereka mentertawakanku ketika aku bertanya di kelas." Laura bingung mengapa anak-anak tidak menyukainya sekalipun mereka belum mengenal siapa dirinya. Pada saat anak-anak seusia Laura bersenang-senang dengan banyak berteman, Laura malah kesulitan untuk mencari teman.

Dari sini jelas terlihat bahwa Laura telah mendapat pesan negatif dari teman-teman sebayanya, hampir semua memberikan gambaran negatif tentang dirinya.  Bagi anak seusai Laura, teman sebaya memiliki pengaruh yang besar bagi gambaran tentang dirinya (self-image) dan juga bagi keberhargaan dirinya (self-esteem). Melalui kelompoknya, anak-anak bisa melihat tentang dirinya sendiri dan mengembangkan gambaran yang realistis tentang dirinya. Dalam kasus Laura, Ia mendapat gambaran yang negatif  dari teman sebayanya yang bisa jadi karena ketidak sabaran teman-teman Laura  melihat kelambanan Laura dalam belajar.

Laura menambahkan cerita tentang sekolahnya. "Aku tahu aku punya masalah dengan belajarku," kata Laura. "Orangtuaku sudah menjelaskan hal itu padaku. Mereka bilang  aku tidak bodoh, menurut mereka aku hanya harus belajar lebih banyak untuk memahami sesuatu." Laura mengatakan dia sangat menyukai pelajaran olahraga, seni, dan menulis (mengarang cerita). Pelajaran matematika dan membaca dianggapnya paling sulit. Laura sangat suka bermain di luar seperti balet, bermain dengan anjingnya, dan menonton program tentang kegiatan di luar ruang angkasa.

Sepulang dari sekolah, Laura harus segera  pulang ke rumah neneknya, kemudian bermain. Dia biasa membantu pekerjaan rumah tangga seperti merapikan meja makan dan membersihkan kamar tidur. Laura harus mengerjakan PR-nya sebelum waktu makan malam. Laura punya sedkit kesempatan untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebayanya. 

Saat Laura bermain dengan teman sebayanya, dia suka menjadi guru, bermain dengan boneka, dan main sepak bola. Jika bermain Laura sangat taat akan aturan, ia akan sangat marah jika melakukan kesalahan saat bermain. Laura cenderung sangat kritis terhadap dirinya sendiri dan perfeksionis yang membuat ia jadi susah untuk berteman. Laura sendiri pernah bilang: “mereka bilang aku ini bossy, padahal aku hanya ingin mengikuti aturan permainan.”

Tahun ini, Laura terpilih  masuk dalam kelas menulis kreatif bagi anak berbakat. Di tempat ini, ide lebih penting dari sekedar kebenaran pengucapan satu kata. Bahkan guru kelas menulisnya pun melihat bahwa Laura bisa berkembang lebih baik lagi dibandingkan dengan teman-temannya.

To be continued: ......
penulisan selanjutnya melihat bagaimana  penyelesaian bagi Laura.


1 komentar:

crtical paedagogy,

Selamatkan Anak-Anak! (Torehan Peradaban dalam Menciptakan Masa Kanak-kanak)

14.44 Ena Nurjanah 1 Comments


Sebuah Pengantar

Kini sudah lazim, kebersamaan dengan anak-anak kita ciptakan lewat menonton televisi, film, musik, bermain game, atau media-media pop lainnya. Gejala tersebut tampak seperti sebuah fenomena sosial biasa. Namun, Neil Postman menengarai adanya bahaya yang mengancam. Batas antara orang dewasa dengan anak-anak kian mengabur. Orang dewasa menjadi lebih kekanak-kanakan, sedang anak-anak justru menjadi cepat dewasa. Pada waktu yang bersamaan, angka kejahatan remaja dan penyakit-penyakit sosial lainnya menunjukkan peningkatan yang kian menggiriskan.

Persoalan tersebut pernah dibedah Neil Postman dengan menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, dan semantik (pembelajaran tentang makna). Ia pun melacak hingga abad Pertengahan. 

Neil Postman menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan istilah baru, seiring dengan munculnya gagasan tentang pendidikan, konsep malu, dan budaya baca tulis. Meski demikian, seperti yang sudah diramalkan Thoreau, masyarakat kapitalis yang cenderung tak terkendali dan banal telah memberangusnya. Industri hiburan terutama televisi, mengubah kekerasan dan seks menjadi hiburan populer dan menyederhanakan berita dan iklan hingga setaraf intelektual anak-anak.
Itulah sekelumit dari isi buku Neil Postman yang diberi judul edisi bahasa Indonesia “Selamatkan Anak-Anak”  diterbitkan oleh Resist Book, Yogyakarta, 2009. Edisi aslinya berjudul  The Dissapearance of Childhood/Neil Postman;1994
Karya-karya Neil Postman tersebut sangat menarik untuk ditelaah kembali isi dan maknanya karena sangat relevan dengan berbagai kondisi dan fenomena yang kita alami saat ini. Karyanya sangat baik untuk dibaca oleh para orangtua dan orang-orang dewas lainnya. 

Kita bisa melihat anak-anak sebagai bagian dari sejarah kehidupan manusia, dan masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh peradaban yang ada. Semua yang dibahas dalam buku Neil Postman akan memperkaya wacana kita tentang masa kanak-kanak, sekaligus menumbuhkan kesadaran bagi para orang tua terhadap perputaran roda peradaban dan pengaruhnya terhadap masa kanak-kanak. 

* * *

Cerita akan dibagi berdasarkan dua tema besar, yaitu:
I. Penemuan Konsep Mengenai Masa Kanak-kanak
II. Menghilangnya Masa Kanak-kanak

* * *


Postman mengatakan bahwa  tema dalam bukunya tersebut cukup menyedihkan. Makin menyedihkan manakala fakta yang tertulis dalam buku ini hanya sedikit memberikan solusi pada persoalan-persoalan yang telah diangkat (bahkan bisa dikatakan, tidak ada solusi sama sekali). 

Padahal dalam penulisan ini Postman berharap bahwa fenomena menghilangnya masa kanak-kanak akan berakhir. Namun, pada kenyataanya apa yang terjadi saat ia tulis buku ini pertama kali yaitu di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, semua kejadian itu masih terus berlangsung hingga saat ini.

Diantara kecemasan akan  menghilangnya masa kanak-kanak, Postman masih bisa bernafas lega. Ia masih menemukan anak-anak yang punya kekuatan. Yaitu kekuatan moral dari anak-anak yang dengan polos memprotes isi dari buku Postman. Anak-anak ini diajak oleh para gurunya untuk mendiskusikan isi buku Postman. Anak-anak tersebut kemudian menulis surat padanya untuk menyatakan protes bahwa mereka  masih peduli dengan pentingnya pembedaan antara kanak-kanak dengan orang dewasa.

* * *

I. Penemuan Konsep Mengenai Masa Kanak-Kanak

1. Ketika Konsep tentang Anak-Anak Tidak Ada
Sejarah peradaban biasanya melihat pada peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pada masa itu orang Yunani kuno masih sangat samar tentang 'masa kanak-kanak'. Kata Yunani untuk anak dan pemuda bersifat ambigu, dan tampaknya  menyangkut hampir semua yang termasuk antara masa bayi dan masa tua. Meskipun orang Yunani memiliki standar yang ambigu mengenai sifat masa kanak-kanak, orang Yunani memiliki semangat yang tunggal terhadap pendidikan. Filosof terbesar Athena, Plato, menulis secara panjang lebar mengenai tema pendidikan ini.
Ide tentang kata sekolah juga berasal dari kata Yunani yang berarti “waktu senggang”. Kata itu mencerminkan karakteristik kepercayaan orang Athena bahwa waktu senggang bagi seorang yang beradab mestinya dihabiskan untuk berpikir dan belajar.
Ide orang Yunani tentang sekolah  tetap saja tidak menggambarkan konsep tentang masa kanak-kanak. Semua anak diperlakukan sama dengan orang dewasa. Ketika mereka mendisiplinkan anak lebih seperti sebuah siksaan untuk pengertian normal bagi masyarakat modern. Banyak anak-anak yang teraniaya karena para orangtua pada zaman itu tidak memiliki kapasitas untuk berempati kepada anak-anak.

Bangsa Romawi mengadopsi ide sekolah dari bangsa Yunani. Namun bangsa Romawi melampaui ide orang Yunani tentang masa kanak-kanak. Bangsa Romawi telah mulai mengembangkan suatu kesadaran tentang masa kanak-kanak.

Orang Romawi pun mengembangkan ide  masa kanak-kanak dengan memunculkan  konsep tentang rasa malu. Catatan tentang hal ini tertulis dari kisahnya Quintilian yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap teman-temannya yang tidak tahu malu di depan anak-anak bangsawan Romawi.

Dalam pernyataanya, Quintilian telah mencoba membuat definisi tentang anak sekaligus juga adanya pengakuan bahwa masa kanak-kanak itu mesti dihindarkan dari rahasia-rahasia orang dewasa, khususnya rahasia-rahasia seksual. Ketidaksetujuan Quintilian pada orang-orang dewasa yang gagal menjaga rahasia-rahasia ini dari kaum muda menjadi gambaran sempurna mengenai sebuah ciri dari kebudayaan yang beradab.

Setelah berakhirnya zaman Romawi, semua ide-ide pun lenyap. Adanya serangan kaum barbar dari utara, kehancuran kekaisaran Roma, terkuburnya kebudayaan klasik, dan menurunnya budaya Eropa menjadi apa yang dikenal Abad kegelapan dan Pertengahan.

Memasuki abad pertengahan, ide mengenai masa kanak-kanak tidak ada lagi. Hal ini didasarkan pada ketiadaan literasi, ketiadaan gagasan mengenai pendidikan, dan ketiadaan gagasan akan rasa malu. Pada masa ini  tingkat kematian anak-anak cukup tinggi. Sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan anak-anak untuk bertahan hidup. Di sisi lain orang-orang dewasa tidak memiliki komitmen emosional kepada anak-anak.

Memasuki  abad keenambelas, Inggris mulai membangun masa kanak-kanak. Sebuah lingkungan komunikasi baru mulai terbentuk sebagai akibat dari munculnya percetakan dan literasi sosial. Percetakan  telah menciptakan sebuah definisi baru mengenai usia dewasa berdasarkan kemampuan membaca, dan karenanya, sebuah konsepsi baru mengenai usia anak-anak dibuat berdasarkan ketidakmampuan membaca. Sebelum munculnya lingkungan baru tersebut, masa bayi berakhir pada usia tujuh tahun dan usia dewasa dimulai setelahnya.

2. Mesin Cetak dan Usia Dewasa Baru
Sebuah gagasan tentang masa kanak-kanak bisa muncul, karena ada sebuah perubahan dalam dunia orang dewasa. Perubahan ini, memunculkan definisi baru mengenai usia dewasa. Pada pertengahan abad kelimabelas muncullah penemuan mesin cetak dengan tipe yang bisa berpindah.

Mesin cetak telah menciptakan dunia simbolis baru yang pada gilirannya memerlukan konsepsi baru mengenai usia dewasa. Usia dewasa baru yang mengecualikan anak-anak. Dan saat anak-anak keluar dari dunia orang dewasa, maka anak-anak  perlu menemukan dunia baru yang bisa mereka huni. Dunia ini kemudian dikenal sebagai masa kanak-kanak.

3. Periode Awal (Incunabula) Masa Kanak-kanak
Lima puluh tahun pertama dari munculnya mesin cetak disebut sebagai masa incunabula, yang secara harfiah berarti masa merangkak. Ketika mesin cetak mulai beranjak dari masa merangkak, gagasan mengenai usia kanak-kanak mulai muncul. Masa merangkak ini berlangsung selama dua ratus tahun. Setelah Abad keenambelas dan Ketujuhbelas barulah usia kanak-kanak mulai diakui dan menjadi ciri tatanan alamiah.

Menulis mengenai masa incunabula, J.H. Plumb mencatat bahwa,”Secara bertahap, anak-anak menjadi obyek yang dihormati, mahluk spesial dengan sifat dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, yang memerlukan pemisahan dan perlindungan dari dunia orang dewasa.” Pemisahan ini merupakan kata kunci. Ketika memisahkan seseorang dari orang lain, berarti menciptakan kelas-kelas manusia, di mana anak-anak merupakan sebuah contoh yang historis dan manusiawi.

Ide mengenai masa kanak-kanak masih belum merata. Namun, biasanya masa kanak-kanak ini muncul ketika ide tentang literasi dijunjung dan ditekankan. Ide tentang literasi akan memunculkan banyak sekolah. Dari  sekolah inilah kemudian mendorong munculnya konsep tentang masa kanak-kanak.

Ide mengenai masa kanak-kanak lebih banyak muncul di kepulauan-kepulauan Inggris pada masa Henry VIII bertahta. William Forest telah menyerukan pentingnya pendidikan dasar. Forest mengusulkan agar pada usia empat tahun, anak-anak harus dikirim ke sekolah “untuk belajar beberapa literatur” sehingga memungkinkan mereka  memahami jalan Tuhan. Sebuah ide yang serupa diajukan oleh Thimas Starkey dalam bukunya Dialogue, yang mengusulkan sekolah gereja untuk semua anak berusia di bawah tujuh tahun. Dalam waktu yang singkat, Bangsa Inggris mengubah masyarakat mereka menjadi sebuah pulau sekolah-sekolah. Selama Abad Keenambelas, ratusan permohonan pembuatan sekolah gratis diajukan oleh desa-desa untuk pengajaran dasar bagi anak-anak lokal.

Pada masa itu ada tiga jenis sekolah dasar, yaitu: sekolah gratis yang mengajarkan matematika, komposisi bahasa Inggris, dan retorika; sekolah tata bahasa yang melatih kaum muda yang akan masuk universitas; dan sekolah hukum yang mengajarkan tata bahasa Inggris dan linguistik klasik. Keberadaan sekolah yang begitu banyak membuat Inggris dikenal sebagai masyarakat yang paling terpelajar. Kemudian hal ini juga diikuti oleh bangsa Perancis.

Pada Abad Ketujuhbelas, masa kanak-kanak merupakan gambaran dari tingkat pencapaian simbolis. Masa bayi berakhir ditandai dengan kemampuan berbicara. Kemudian, masa kanak-kanak dimulai dengan tugas untuk mempelajari cara membaca. Oleh karena itu kata anak sering dipakai untuk menggambarkan orang-orang dewasa yang tidak bisa membaca, atau orang-orang dewasa yang dinggap kekanak-kanakan secara intelektual.

Menurut Plumb, “proses dari sebuah pendidikan literasi harus berkembang bersama anak yang sedang berkembang; membaca harus dimulai sekitar umur empat atau lima tahun, dan kemudian menulis, lalu mata pelajaran yang makin rumit harus ditambahkan... Pendidikan (menjadi) terikat mati dengan kalender umur anak-anak.”

Pada masa itu, ikatan antara pendidikan dan usia belum berkembang. Usaha untuk membangun kelas-kelas atau tingkatan-tingkatan pelajar pada awalnya hanya berdasarkan kemampuan membaca para siswa, bukan usia.

Pengaturan kelas-kelas sekolah sebagai sebuah hirarki kemampuan membaca berakibat pada munculnya kesadaran akan sifat khusus dari masa kanak-kanak atau orang muda. Kemudian juga muncul ide bahwa di dalam masa kanak-kanak atau usia muda terdapat berbagai varias kategori. Munculnya ide-ide tentang kategori tersebut merupakan sebuah persepsi sosial tentang suatu kelompok. Dengan adanya kategori sosial dan intelektual pada masa kanak-kanak, membuat semakin jelasnya tahapan-tahapan masa kanak-kanak. Perubahan-perubahan tersebut pun mendorong adanya pembedaan dalam berpakaian. Pakaian anak-anak menjadi berbeda dengan pakaian orang dewasa. Pada akhir abad keenambelas kebiasaan akhirnya menuntut anak-anak harus memiliki kostum mereka sendiri.

Dari mulai adanya perbedaan dalam berpakaian diikuti dengan pandangan yang berbeda mengenai figur fisik anak-anak. Hal ini bisa terlihat dalam lukisan abad keenambelas, anak-anak tidak lagi digambarkan sebagai miniatur orang dewasa. Bahasa anak-anak pun mulai dibedakan dari bahasa percakapan orang dewasa. Pada tahun 1744 mulai muncul literatur tentang anak-anak Jack Sang Pembunuh Raksasa yang ditulis oleh John Newbery. Kemudian pada tahun 1780 mulai banyak pengarang profesional yang memproduksi karya sastra remaja.

Seiring  dengan pembentukan masa kanak-kanak, berlangsung juga pembentukan keluarga modern. Peristiwa penting yang membentuk keluarga modern adalah penemuan dan perluasan sekolah formal. Muncullah tuntutan sosial bahwa anak-anak harus dididik secara formal untuk jangka waktu yang lama. Hal ini mendorong adanya orientasi baru dari relasi orang tua dan anak-anaknya.

Harapan dan tanggung jawab orangtua menjadi lebih serius dan diperluas. Orang tua harus mampu menjadi penjaga, perawat, pelindung, pengasuh, penghukum, serta penentu selera dan perilaku baik. Einstein memberi sebuah tambahan bagi evolusi ini: “ Sebuah arus tanpa akhir dari literatur yang mengajarkan moralitas mulai merasuki ruang pribadi di rumah....’keluarga’ (menjadi) penyedia baru fungsi-fungsi pendidikan dan agama.”

Pada saat itu, buku-buku mengenai semua topik banyak tersedia. Para orang tua dipaksa mengemban peran sebagai seorang pendidik atau teolog. Para orang tua bertugas untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang dewasa yang takut pada Tuhan dan juga terpelajar. Keluarga harus bisa memastikan bahwa anak-anak mereka tidak hanya terdidik di sekolah, tetapi juga harus mendapat pendidikan tambahan di rumah. Menurut F.R.H. Du Boulay pada masa ini juga mulai muncul kelas menengah yang memiliki uang berlebih. Mereka banyak berinvestasi dalam bentuk properti. Mereka juga menjadikan anak-anak sebagai obyek konsumsi melalui pendidikan dan pakaian yang dikenakan anak-anak mereka.

Pemaparan  Du Boulay itu menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang baik memainkan peran penting dalam memperkuat kesadaran mengenai anak-anak dan juga membuat mereka menjadi lebih terlihat secara sosial. Pada masa ini anak laki-laki menjadi kelas utama, terutama anak laki-laki dari kelas menengah. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masa kanak-kanak dimulai sebagai ide dari kelas menengah, sebagian disebabkan karena kelas menengah lah yang mampu menyokong ide tersebut. Setelah satu abad lamanya barulah ide muncul di kelas-kelas sosial yang lebih rendah.

Elizabeth Einstein pernah menyatakan bahwa sejak abad keenambelas, langkah pertama menuju usia dewasa adalah penguasaan terhadap aksara. Penguasaan aksara yang sangat menentukan seseorang menjadi dewasa membuat  J.H.Plumb membuat satu kesimpulan bahwa harus dicermati hubungan antara sifat masa kanak-kanak dan bias-bias percetakan. Contohnya adalah bahwa seorang anak berubah menjadi usia dewasa ketika ia mampu menjadi pembaca yang baik; memiliki perasaan individualitas yang kuat; mampu berpikir secara logis dan runut; dan yang terpenting adalah kemampuan untuk melakukan kontrol diri.
Seiring dengan usaha menemukan masa kanak-kanak yang berbeda dari orang dewasa, ada beberapa tokoh yang justru menolak penemuan masa kanak-kanak ini.
Contohnya adalah Phillippe Aries. Menurutnya penemuan masa kanak-kanak cenderung membatasi energi yang dimiliki kaum muda. Dalam dunia bebas kaum muda mengekspresikan dirinya secara luas. Namun, ketika masa kanak-kanak yang dituntut dalam dunia belajar, keceriaan semacam itu harus dimodifikasi secara tajam. Penuh dengan aturan. Pada abad keenambelas ini kepala sekolah dan para orang tua menerapkan disiplin yang sangat ketat pada anak-anak. Kecenderungan alamiah anak-anak dipandang sebagai sebuah hambatan pembelajaran dan juga dianggap sebagai ekpresi dari suatu sifat jahat. Jadi, usia dewasa sangat ditentukan pada kemampuan kontrol diri seseorang. Kontrol diri ini menjadi salah satu tujuan esensial dari pendidikan.

Pada abad ini juga dikembangkan prinsip rasa malu sebagai bagian dari ciri orang dewasa. Erasmus banyak menulis tentang berbagai sikap yang menunjukkan rasa malu yang harus dimiliki oleh orang dewasa. Tahun 1516 Erasmus menulis buku Colloquies tentang tata krama bagaimana anak laki-laki harus menata kehidupan insting mereka. Tremasuk insting seksual yang harus dijaga agar tidak merusak diri kaum muda.

Menurut Norbert Elias sejalan dengan berkembangnya konsep mengenai masa kanak-kanak, masyarakat mulai mengumpulkan bahan-bahan rahasia yang kaya untuk dijauhkan dari kaum muda; rahasia-rahasia mengenai hubungan seksual, uang, kekerasan, penyakit, kematian, dan hubungan sosial. Termasuk juga ‘kata-kata’ yang tidak pantas diucapkan di hadapan anak-anak.

Ada sebuah ironi yang terjadi pada masa ini. Munculnya budaya buku berarti memutuskan ‘monopoli-monopoli’ pengetahuan. Buku membuka rahasia-rahasia teologis, politis, dan akademis ke khalayak ramai. Di sisi lain, dengan membatasi anak-anak pada pembelajaran buku telah menutup mereka pada dunia kehidupan sehari-hari yang sebelumnya akrab dalam kehidupan  mereka.

4. Perjalanan (Ide) Mengenai Masa Kanak-kanak
Ide mengenai masa kanak-kanak berkembang mengalami pasang surut, bergeser dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Namun demikian, ide masa kanak-kanak mulai berkembang pada abad ketujuhbelas. Ide ini menjadi lebih baik ketika era penemuan mesin cetak. Namun ide masa kanak-kanak ini pun mengalami pasang surut tergantung dari masing-masing bangsa memahami ide ini, tergantung juga pada peradaban yang berjalan di negara tersebut.

Ide masa kanak-kanak ini pun terus bergerak ke berbagai wilayah. Seperti yang disebutkan dalam buku Neil Postman bahwa pada abad ketujuhbelas ide masa kanak-kanak berkembang di Inggris kemudian mulai bergerak ke benua Eropa. Ada masa di mana Inggris memperlakukan anak dengan sangat buruk, yang tergambar pada tahun 1833 ketika pendidikan di Inggris berada dalam tingkatan paling rendah. Kemajuan masa kanak-kanak lebih berkembang di bagian lain benua Eropa. Hingga pada akhir abad kedelapanbelas, orang-orang Jerman dan Skotlandia  mampu membangun sistem pendidikan dasar yang terbesar di daratan Eropa.

Memasuki  abad pertengahan kesembilanbelas,  mulai ada kesamaan di wilayah Eropa dalam pemahamanan mengenai arti dari masa kanak-kanak. Hal ini tergambar dari kesamaan tingkatan pemahaman yang ada di Perancis dan Inggris. Gerakan seluruh Eropa menuju konsepsi yang manusiawi mengenai masa kanak-kanak tercapai, sampai pada makna tertinggi  akan tanggung jawab pemerintah pada kesejahteraan anak-anak.

Pada abad kedelapanbelas ide bahwa negara memiliki hak untuk bertindak sebagai pelindung anak-anak merupakan hal baru dan juga radikal. Meski begitu, secara perlahan otoritas total orang tua secara manusiawi dimodifikasi, sehingga semua kelas dipaksa bekerjasama dengan pemerintah dalam mengambil tanggung jawab mengasuh anak.

Lalu bagaimana perkembangan konsep masa kanak-kanak dari para intelektual? Kita bisa melihatnya pada abad keenambelas. Ada dua tokoh intelektual yang cukup diperhitungkan ketika berbicara mengenai ide masa kanak-kanak. Di Inggris kita mengenal John Locke yang telah menulis buku yang luar biasa, Some Thoughts Concerning Education yang terbit tahun 1693. 

Ide Locke yang terkenal yaitu bahwa pada saat kelahiran, pikiran adalah sebuah lembaran kosong, suatu tabula rasa. Sebuah tanggung jawab besar jatuh pada para orang tua dan kepala sekolah (dan kemudian pada pemerintah) akan apa yang tertulis di pikiran. Seorang anak yang acuh, tanpa rasa malu, liar, adalah mewakili kegagalan para orang dewasa, bukan si anak.

Di Perancis kita mengenal Rousseau. Menurut Rousseau bahwa anak-anak adalah penting bagi dirinya sendiri, tidak hanya sebagai alat mencapai tujuan. Rousseau juga berpendapat bahwa kehidupan intelektual dan emosional seorang anak sangat penting, bukan karena maksud kita untuk mengajari dan melatih anak-anak kita, tapi karena masa kanak-kanak merupakan tahapan kehidupan di mana seorang manusia paling dekat dengan ‘keadaan alami’.

Kedua ide mengenai masa kanak-kanak dari dua tokoh ini terus bergerak hingga memasuki abad kesembilanbelas dan abad keduapuluh. Begitu juga ide ini meluas hingga ke berbagai belahan dunia. Konsepsi Masa kanak-kanak Lockean biasa disebut juga Protestan, dan konsepsi Rousseau, atau Romantis.

Dalam pandangan Protestan, anak adalah pribadi yang belum terbentuk yang melalui literasi, pendidikan, akal, pengendalian diri, dan rasa malu menjadi orang dewasa yang beradab. Dalam Pandangan Romantis, masalahnya bukan anak-anak yang terbentuk tapi orang dewasa yang tidak sempurna. Anak-anak memiliki kapasitas tekad, pemahaman, rasa ingin tahu, dan spontanitas bawaan lahir yang dibunuh karena literasi, pendidikan, akal, kontrol diri, dan rasa malu.

Perbedaan antara dua pandangan ini bisa dilihat  paling jelas melalui metafora (perbandingan analogis) yang berlawanan dari kedua tokoh ini mengenai masa kanak-kanak. Locke menganggap bahwa pikiran sebagai lembaran kosong dengan tepat menggambarkan hubungan antara ide mengenai masa kanak-kanak dan percetakan. Metafora tabularasa (pandangan bahwa seorang manusia lahir dengan "kosong") memandang anak-anak sebagai buku yang belum ditulisi, yang halaman-halamannya harus diisi agar bisa menuju kedewasaan. Tidak ada yang “alami” atau biologis dalam proses ini. Ini merupakan sebuah proses perkembangan simbolis–berurutan, tersegmentasi, linguistik. Bagi Locke dan kebanyakan pemikir abad kedelapan belas, kebutahurufan dan masa kanak-kanak tak terpisahkan, dan masa dewasa didefinisikan sebagai kompetensi linguistik total.

Di sisi lain, Rousseau, menulis dalam bukunya Emile “tanaman ditingkatkan melalui perkebunan, dan manusia melalui pendidikan”. Di sini anak-anak adalah suatu tanaman liar, yang hampir tidak  mungkin bisa diperbaiki dengan pembelajaran melalui buku. Pertumbuhannya organik dan natural.

Bagi Rousseau, pendidikan pada dasarnya sebuah pengurangan; sedangkan bagi Locke, sebuah penambahan. Tapi, apa pun perbedaan antara kedua metafora ini, kedua-duanya memiliki kepedulian yang sama untuk masa depan. Locke menginginkan dengan pendidikan menghasilkan sebuah buku yang kaya, beragam dan berlimpah; Rousseau menginginkan pendidikan untuk menghasilkan bunga yang sehat. Pada abad ke sembilanbelas pandangan Protestan mendominasi wilayah Amerika. Meskipun demikian, tidak berarti pandangan Romantis benar-benar menghilang. Pada abad ini, ide yang terus berkembang mengenai masa kanak-kanak akan selalu berporos pada kedua pandangan tersebut.

Pada akhir abad kesembilanbelas muncullah dua karya yang kemudian menjadi wacana yang digunakan dalam diskusi mengenai masa kanak-kanak pada abad ini. Pada tahun 1899 terbitlah dua buah maha karya , Interpretation of Dream dari Sigmund Freud dan The School and Society dari John Dewey. Dari kedua karya mereka telah memunculkan begitu banyak penelitian. Buah karya mereka mewakili sebuah sintesa dan merangkum sebuah perjalanan masa kanak-kanak dari abad keenambelas ke abad dua puluh.

Freud berpendapat bahwa ada sebuah struktur yang tidak bisa disangkal, begitu juga isi yang khusus pada jiwa anak-anak (misalnya bahwa anak-anak memiliki seksualitas dan dipenuhi kompleks-kompleks dorongan-dorongan psikis instingtif/ biologis). Freud juga mengklaim bahwa usaha-usaha mereka untuk mencapai masa kanak-kanak yang dewasa, anak-anak harus mengatasi, menumbuhkan, dan mengasah gairah-gairah instingtif mereka. 

Freud membuktikan bahwa pandangan Locke salah dan membenarkan pandangan Rousseau: Jiwa bukan sebuah tabula rasa; pada tataran tertentu tuntutan alamiah harus diperhatikan, jika tidak maka  akan terjadi disfungsi kepribadian permanen. Tetapi pada saat yang sama, Freud menolak pandangan Rousseau dan membenarkan Locke: Interaksi-interaksi paling awal antara anak-anak dan orang tua sangat penting dalam menentukan masa dewasanya seorang anak; melalui pikiran, gairah-gairah jiwa bisa dikontrol; peradaban hampir tidak mungkin tanpa penekanan dan sublimasi.

Dengan cara yang mirip, meski dari kerangka pandangan filsafat, Dewey berargumen bahwa jiwa harus disinggung, dalam arti seperti apa anak-anak itu, bukan akan jadi apa anak itu. Baik di rumah maupun di sekolah orang-orang dewasa harus bertanya. Apa yang dibutuhkan anak sekarang? Persoalan-persoalan apa yang harus dia atasi sekarang? Hanya dengan cara itu menurut Dewey, anak-anak akan menjadi seorang partisipan yang konstruktif dalam kehidupan komunitas sosial.

Freud dan Dewey mengkristalisasi paradigma dasar mengenai masa kanak-kanak yang sebelumnya sudah mulai muncul pada era mesin cetak. Anak-anak sebagai anak sekolah yang kedirian dan individualitasnya harus dipelihara dan diasuh, yang kapasitas mengontrol diri, menunda gratifikasi, dan pikiran logis harus dibawah kontrol orang-orang dewasa. Tapi pada saat yang sama, anak-anak harus dipahami bahwa mereka memiliki aturan-aturan perkembangan sendiri, karisma, rasa ingin tahu, dan keceriaan yang tidak boleh dikekang.

Dari semua riset psikologis yang dilakukan pada abad ini, tidak seorangpun yang menyangkal bahwa anak-anak harus mencapai masa dewasa. Tak seorangpun menyangkal bahwa tanggung jawab bagi pertumbuhan anak-anak terletak ditangan orang-orang dewasa. Bahkan, tak seorangpun yang menyangkal  adanya  kesan bahwa orang-orang dewasa mengalami masa terbaik dan paling beradab adalah  pada saat mereka mengasuh anak-anak. Oleh karena itu, harus diingat bahwa  paradigma modern mengenai masa kanak-kanak adalah juga paradigma modern mengenai masa dewasa.


.
To be continued: ......
II. Menghilangnya Masa Kanak-Kanak.


Photo Credits: 
Jessie Willcox Smith circa 1909, 
nazariograziano.com, 
earlychildhoodireland.ie, 
content.time.com, 
wikimedia.org, 
wallcoo.net.


1 komentar:

pencabulan,

Revisi UU Perlindungan Anak, Mungkinkah?

18.48 Ena Nurjanah 1 Comments


Lanjutan dari: Mandulnya UU Perlindungan Anak
(UU Perlindungan Anak no.23 tahun 2002)


UU Perlindungan Anak: Benarkah Melindungi Anak?

Saya ingin kembali melihat bagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak no.23 tahun 2002 layaknya sekedar hiasan di atas kertas. Apa yang barusan saya katakan adalah berdasarkan apa yang saya sendiri alami ketika terjun di lapangan maupun ketika melihat rentetan kenyataan secara keseluruhan yang ada di Negeri kita ini.

Sempat ramai sebuah kasus di sebuah sekolah bertaraf internasional, berawal dari keberanian seorang ibu untuk melaporkan perkara, yang kemudian beranjak dan membongkar hal-hal memprihatinkan lain yang terjadi di sekolah tersebut. Namun muaranya sama, yaitu masalah kekerasan seksual.

Dari peristiwa tersebut kemudian datanglah gerakan penghujatan terhadap pelaku secara berbondong-bondong, meminta hukuman bagi pelaku yang seberat-beratnya. Namun tidak pernah ada kata sepakat terkait dengan institusi sekolah yang terlibat tersebut. Bahkan di antara sesama aktivis anak saja, bisa terjadi silang pendapat. Ada yang menyalahkan sekolah tersebut, dan ada pula yang membela sekolah tersebut.

Kejadian seperti ini sebenarnya banyak terjadi di sekolah-sekolah lain, terbukti belakangan mulai terungkap kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak di sekolah. Di daerah tempat tinggal  penulis sendiri juga pernah terjadi pencabulan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Guru tersebut memang langsung di tangkap polisi karena menghindari amuk dari para orangtua murid. Namun selanjutnya, beritanya pun tertutupi tanpa bisa diketahui.


Kekerasan seksual pada anak di sekolah ternyata bisa dilakukan oleh siapapun, mulai dari OB, guru, maupun pengelola sekolah. Hal ini  sangat mengerikan.  Sehingga  banyak para orangtua  yang menjadi khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka. Mereka bertanya-tanya ‘Kemana lagi harus menitipkan anak untuk menuntut ilmu?’

UU Perlindungan Anak pasal 54 berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan  oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Seharusnya setiap  institusi sekolah beserta guru tahu dengan pasti akan kewajiban mereka ini, agar para orangtua murid  yakin dengan keputusannya menitipkan anaknya di tempat yang tepat. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak. Jadi, sekolah harus  menjadi tempat yang nyaman bagi anak dalam menuntut ilmu.

Untuk sanksi bagi pelaku  kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah, terdapat dalam dalam bab XII tentang ketentuan pidana pasal 77-90. Semua pihak yang ada di sekolah memiliki tanggung jawab yang sama terhadap anak  dan akan mendapat sanki yang sama  jika melakukan pelanggaran terhadap anak, termasuk juga  guru.

Hal ini seharusnya bisa diketahui oleh semua guru yang ada di Indonesia. Guru seharusnya  tidak  berperilaku seenaknya terhadap anak murid. Sehingga tidak akan terjadi  relasi antara guru dan murid yang menakutkan. Guru yang bersikap otoriter cenderung memunculkan tindakan kekerasan. Hingga saat ini, saya masih sering mendengar keluhan para orang tua murid yang anaknya takut dengan guru mata pelajaran tertentu. Jika murid  melakukan kesalahan maka akan keluarlah kata-kata kasar yang akan menjatuhkan harga diri mereka di depan teman-teman mereka. Atau ada juga guru yang dengan gampangnya menghukum murid jika murid melakukan sebuah kesalahan.

Kalau saja para guru tadi menyadari bahwa cara mengajar mereka tidak memenuhi aspek mendidik yang tepat, mereka pasti akan merasa dibayang-bayangi dengan sanksi pidana yang siap menjerat mereka.
Pada poin ini memang banyak guru yang merasa ketakutan untuk dikriminalisasi oleh para murid-muridnya. Padahal,  jika mereka paham dunia pendidikan, rasa-rasanya tidak ada hal yang harus mereka takutkan. Jika mereka mendidik dengan tepat,  tidak akan ada yang menjerat mereka ke muka hakim.

Undang-Undang Perlindungan Anak sudah  berumur 12 tahun. Namun semakin ke sini realisasi dari perlindungan anak di sekolah justru semakin mengkhawatirkan. Semakin banyak terungkap tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah. Seringkali pelakunya adalah para guru yang seharusnya menjadi pendidik yang diteladani oleh murid.

Hingga saat ini, banyak para guru yang tidak mengetahui Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi.... bagaimana anak-anak  bisa terlindungi hak-haknya dari tindak  kekerasan yang terjadi di sekolah? Kalau ternyata, masih saja terdapat sekolah dan pihak-pihak yang berada di dalam sekolah (termasuk para guru) ini belum tahu dan merealisasikan undang-undang ini.

Sanksi Pidana
Ada hal yang menarik yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, yaitu mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Saat ini mulai gencar diperbincangkan oleh berbagai pihak mengenai hukuman yang harus diperberat. Ada yang meminta agar pelaku di kebiri, diberikan hukuman seumur hidup, ada juga yang menyatakan agar pelaku diberikan hukuman berupa sanksi sosial dengan diumumkan ke publik, dicirikan pada bagian tubuh yang  mudah terlihat setiap orang, hingga hukuman mati.

Memang sangat miris kalau melihat praktek penerapan sanksi ini. Hampir tidak pernah betul-betul diterapkannya pemberian  sanksi terberat (15 tahun). Paling sering malah si pelaku diberikan sanksi yang paling ringan , yaitu selama 3 tahun.

Pengalaman dalam Kasus
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya sendiri yang mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Si pelaku tidak dikenai UU Perlindungan Anak, tetapi malah menggunakan Kitab Undang-Undang yang lain. Sehingga akhirnya si pelaku hanya menjalani masa tahanan kurang dari 1 tahun. Sungguh sangat keterlaluan, di mana rasa keadilan yang dimiliki para aparat penegak hukum?

Sebenarnya masih banyak lagi uneg-uneg saya sebagai relawan dan pendamping anak.. Bahwa betapa mandulnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini.

Kalau teman-teman para aktivis anak atau siapapun yang peduli terhadap anak menginginkan adanya revisi terhadap sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual, saya berharap jangan hanya satu hal itu saja. Sebaiknya  kita semua mau menyimak  keseluruhan isi dari Undang-Undang Perlindungan Anak ini dan temukan banyak sekali kekurangan yang ditemui dari Undang-Undang ini. Terlebih lagi hingga saat ini tidak ada turunan dari Undang-Undang tersebut berupa peraturan presiden  yang membuat Undang-Undang ini bisa lebih adaptif terhadap berbagai persoalan di lapangan. 

Bisa kita lihat, sering sekali  dalam Undang Undang tersebut disebutkan mengenai tanggungjawab dari pemerintah. Namun tidak pernah disebut secara definit, ‘pemerintah’ yang dimaksud itu siapa? Sehingga wajar saja jika saat ini banyak kasus yang terjadi, namun tidak ada satupun pihak ‘pemerintah’ yang menyatakan diri bertanggung jawab terhadap persoalan ini.

Padahal kalau kita lihat di negara maju, para pejabat hingga setingkat perdana menteri akan berani mengatakan “saya bertanggung jawab terhadap terjadinya kasus ini, dan siap pula untuk mempertangggung jawabkannya sekalipun harus megundurkan diri.”

Di negara kita, rasa-rasanya belum pernah saya mendengar hal ini sekalipun. Jika anak-anak Indonesia mengalami begitu banyak kekerasan, belum pernah saya dengar ada pihak pemerintah yang merasa bertanggung jawab dan siap mundur jika semua itu karena kelalaian mereka sebagai pejabat yang telah diberi amanah terhadap penyelenggaraan perlindungan bagi anak-anak Indonesia.


Photo Credits:
maia.com.au,
classroomclipart.com,
childrenforhealth.org,
stmedia.startribune.com.


1 komentar: