Parenting Tips

Anak Juga Punya Harga Diri (Kiat Menghadapi Perkembangan Anak)

09.07 Ena Nurjanah 0 Comments


Kita mungkin pernah melihat orangtua marah-marah melihat anaknya yang tidak mau bicara saat ditanya oleh orang yang baru dikenalnya. 
“Kok ga mau jawab sih?” 
“bikin malu papah aja, segitu aja ga bisa jawab?” ungkap kemarahan seorang ayah atas ketidak-pede-an anaknya untuk menjawab pertanyaan teman ayahnya.

Cerita lain adalah saat anak yang batal tampil di panggung karena malu, hingga orangtuanya merasa jengkel dengan kelakuan anaknya. Atau, kita pernah juga melihat orangtua yang mencela anak yang salah mengancingkan baju: 
“Ya ampuun kamu ini payah banget sih, pake baju gitu aja engga bisa!”

Kita juga sering melihat orangtua yang tidak sabaran melihat anaknya makan berantakan. Sang ibu segera mengambil peralatan makan, menyeka mulut  anaknya, membersihkan lantai yang berantakan  kemudian menyuapi anaknya sambil memarahinya:
“Kalau  ga bisa makan sendiri jangan sok-sok an, jadi tumpah-tumpah makanannya, kamu bikin mubazir saja!”

Atau… Orangtua yang mencoba memberi kesempatan anaknya belajar makan sendiri, namun ibu tidak henti-hentinya mengelap mulut anaknya setiap kali sang anak selesai memasukan makanan ke mulutnya.

Orangtua seringkali tidak paham  kondisi yang tepat kapan harus bersabar dan kapan harus segera bertindak membantu.

Padahal sikap-sikap  tersebut memiliki pengaruh bagi perkembangan harga diri anak. Dengan dunia yang semakin maju dan berkembang pesat, kita pasti ingin memiliki anak-anak yang hebat bisa menguasai dunia, atau minimal anak-anak kita mampu eksis menjadi bagian dari angggota masyarakat dunia. Maka, langkah awalnya adalah bagaimana agar anak mampu menguasai dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, dan menghargai dirinya sendiri. 

Sudah saatnya orangtua belajar melakukan yang terbaik bagi perkembangan buah hatinya. Karena faktor terbesar keberhasilan anak ada ditangan para orangtua. Seorang anak juga sama seperti manusia pada umumnya. Sama seperti orang dewasa, punya harga diri. Meskipun tentu saja (ada yang tetap harus diingat), jangan pernah jadikan anak seperti miniatur orang dewasa. Anak bukan orang dewasa.

Harga diri anak dibangun melalui interaksi dengan orang di sekelilingnya. Interaksi pertama dimulai dengan orang-orang terdekatnya seperti ayah dan ibu, kemudian keluarga besar, guru, teman sebaya dan masyarakat sekitar. Mereka semua turut berkontribusi terhadap proses pembentukan identitas diri dan harga diri anak.

Seorang  psikolog, Erik Erikson menjelaskan proses pembentukan identitas diri melalui teori perkembangan psikososial. Menurut beliau ada 8 tahap pencapaian identitas diri. Dimulai sejak  bayi baru dilahirkan hingga usia senja. Pembahasan kali ini  khusus terkait dengan tahapan yang terjadi saat usia anak, yaitu tahap 1 sampai 4.

Setiap tahapan yang berhasil dilewati anak dengan baik akan terus terbawa dan mewarnai tahapan selanjutnya. Demikian juga seandainya tidak berhasil melalui tahapan sebelumnya maka akan berpengaruh dan memperberat usaha anak untuk meraih identitas diri maupun keberhargaan diri di tahap selanjutnya. Perlu dipahami bahwa anak tidak menuntut orangtua yang sempurna. Melainkan orang tua yang bisa memberikan keseimbangan dalam pengasuhan. 


Yuk kita simak, Empat Tahap Pembentukan Harga Diri Anak: 

Tahap Pertama  “Trust vs Mistrust” ( 0 – 18 bulan)
Pada tahap ini bayi membentuk perasaan ‘trust vs mistrust’ (percaya vs curiga) terhadap orang dan lingkungannya.

Bayi yang baru lahir pasti butuh orang lain untuk merawatnya. Interaksi pertamanya adalah dengan orang-orang terdekatnya terutama ibu, ayah, atau pengasuhnya.

Kehidupan bayi masih sangat tergantung orang lain. Baik itu pemenuhan kebutuhan makan, minum, sentuhan, dan kehangatan.  Tidak hanya kebutuhan makan, bayi juga  butuh kontak fisik dan perhatian yang konsisten.

Jika ayah dan ibu dapat memberikan kehangatan, menunjukkan sikap konsisten dan kesinambungan dalam perawatan dan pengasuhan maka bayi akan mengembangkan perasaan bahwa dunianya adalah tempat yang aman, orang-orang disekitarnya benar-benar ada dan mencintainya. 

Melalui respon orangtua bayi juga belajar mengenali dirinya dan keinginan biologis yang menyertainya seperti rasa lapar, haus, dan lain sebagainya.

Jika orangtua tidak mengharapkan kehadiran bayi, berlaku kasar pada bayi, lebih mementingkan kepentingan mereka dari pada bayinya, atau pengasuh yang bergonta-ganti dan berbeda-beda karakter maupun perlakuan terhadap bayi, maka bayi akan menjadi gelisah dan mudah curiga dengan orang-orang di sekelilingnya. Bayi merasa bahwa dunia ini tidak konsisten dan tidak dapat diduga. Hal ini biasanya nampak pada perilaku Bayi yang rewel dan sulit ditenangkan.

Namun, terlalu  protektif juga tidak baik karena akan membuat bayi menjadi maladaptive (tidak punya penyesuaian yang baik dengan lingkungan sekitarnya) atau tidak mampu mengembangkan kemampuan sensorynya dengan tepat. Contohnya: Belum saatnya anak lapar dan haus sudah dijejali makanan dan diberi susu karena ibunya takut anaknya lapar kemudian sakit. 

Penyesuaian diri yang baik dan tumbuhnya kepercayaan pada orang lain  akan nampak pada saat bayi bisa meneriman ketidakhadiran ibunya tanpa kecemasan yang berlebihan. Bayi tersebut tidak marah saat menunggu kebutuhannya tercukupi. Bayi yakin  dengan orangtuanya, jika mereka tidak muncul segera, mereka pasti akan tiba pada waktunya.

Tahap kedua “Autonomy vs Shame and Doubt” (18 bulan – 3 / 4 tahun)
Anak berusaha menjadi diri yang autonomy (mandiri) atau justru menjadi pribadi yang shame and doubt (pemalu dan peragu).

Pada tahap kedua dan selanjutnya,  anak mulai memiliki lingkup sosial yang lebih luas. Anak berusaha memiliki perasaan otonomi atau kontrol terhadap fungsi tubuhnya, ketrampilan motorik kasar dan halusnya. 

Anak mulai belajar berjalan, bicara, memakai baju, dan kontrol buang air. Anak juga ingin melakukan berbagai hal sendiri tanpa bantuan orangtuanya. Orangtua  harus bersabar memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Orangtua yang tidak sabar hanya akan membuat anak frustasi.

Kadang kala orangtua membuat anak malu, baik tanpa sengaja (dengan sikap tidak sabarnya) atau disengaja (dengan memarahi atau bersikap kasar atas kesalahan yang diperbuat anak).

Selain bersabar, orangtua juga harus mulai menerapkan aturan perilaku yang tepat pada anak. Orangtua juga sebaiknya tidak menerapkan kontrol yang berlebihan dan mudah menyalahkan anak. Hal tersebut membuat anak merasa malu atas kesalahannya dan merasa tidak bisa mandiri. Kontrol yang terlalu kuat juga membuat anak kehilangan minat untuk mencoba.

Saat anak mampu mengontrol diri, termasuk fungsi tubuh dan kemampuan motoriknya, anak punya keinginan kuat untuk mengeksplorasi sekelilingnya dengan suka cita. Anak mencoba mengembangkan perasaan mandiri dan bebas bergerak. Sebaiknya para orangtua menyediakan tempat yang aman bagi anak agar anak dapat menjelajah tanpa ragu dan tidak membahayakan dirinya. Pindahkan porselen atau hiasan mahal di tempat yang jauh dari jangkauan anak sehingga anak bebas bergerak dan orangtua tidak terus menerus mengeluarkan kata-kata larangan ataupun omelan.

Satu hal yang penting diingat adalah jangan pernah memaksa anak melakukan eksplorasi dan berharap segera bisa mandiri. Pemaksaan akan membuat anak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan dan akhirnya meyakini bahwa dirinya memang tidak mampu.

Jangan pula membatasi, menganggap anak belum mampu melakukan tugasnya, tidak diberi kesempatan untuk mencoba, dan mencela jika usahanya  kurang bagus. Kondisi tersebut membuat anak menjadi tergantung pada orang lain, kurang percaya diri, jadi pemalu dan peragu, serta akhirnya membuat anak enggan mencoba hal-hal baru.

Jika orangtua  tidak sabar dalam mengajarkan anaknya, seperti menunggu anaknya mengikat tali sepatunya sendiri, maka anak tidak pernah belajar bagaimana caranya mengikat tali sepatu. Dan mereka akan berasumsi bahwa betapa sulitnya belajar mengikat tali sepatu.

Adanya rasa malu dan ragu (dalam kadar yang sedikit) memang tidak bisa terelakkan namun di satu sisi juga bermanfaat. 

Jika anak tidak punya rasa malu dan ragu maka anak cenderung menjadi impulsif, menjadi anak yang tidak tahu malu, dan ketika besar cenderung kurang punya pertimbangan saat bertindak.

Anak yang terlalu pemalu dan peragu juga tidak baik untuk dirinya, karena akan mendorong perilaku kompulsif. Mereka merasa bahwa dirinya sangat ditentukan oleh usahanya. Semua pekerjaan harus sempurna. Sangat patuh pada peraturan. Kesalahan  sekecil apapun harus dihindarkan dan dengan cara apapun.

Sikap orangtua haruslah seimbang, orangtua memberi kesempatan pada anak untuk mencoba sendiri. Kemudian tidak mengkrtitik atas kegagalan yang terjadi. Orangtua juga membantu anak untuk memiliki kontrol diri tanpa harus kehilangan harga diri.

Tahap Ketiga  (3/4 tahun -  5/6 tahun)
Konflik antara anak dan orangtua biasanya dimulai pada tahap ini. Anak selalu ingin menentukan pilihannya sendiri sehingga para orangtua sering menganggapnya sebagai sikap agresif.

Pada tahap ini anak mulai berinteraksi dengan teman di sekolah (TK). Fase utamanya adalah bermain, bukan terpaku pada pendidikan formal. Jadi, beri kesempatan anak mengeksplorasi ketrampilan interpersonalnya melalui berbagai kegiatan dengan teman-temannya.

Pada saat bermain anak mengasah banyak kemampuan. Dan yang utama dalam tahap ini adalah kemampuan berinisiatif. Anak belajar berinteraksi dengan teman sebayanya dan belajar  mengajak temannya bermain atau melakukan berbagai kegiatan lainnya.

Inisiatif adalah usaha yang dilakukan anak untuk mewujudkan sesuatu yang dia pikirkan. Anak pada tahapan ini juga sangat aktif, seperti lokomotif yang selalu berada di depan. Mereka banyak bicara dan banyak bertanya. Mereka juga  senang bereksperimen dan belajar melalui  permainan imajinatifnya.

Mereka haus pengetahuan. Inisiatifnya mendorong anak jadi banyak bertanya. Para orangtua seharusnya bisa bersabar menjawab berbagai pertanyaan anak untuk memenuhi rasa ingin tahu anak. Jika orangtua  menyikapi pertanyaan anak dengan kemarahan, merasa terganggu, atau tindakan yang mengancam lainnya  maka anak akan merasa bersalah, menganggap bahwa dirinya adalah pengganggu.

Kemandirian yang dimiliki anak perlu mendapat arahan orangtua sehingga anak memiliki keseimbangan dalam kemampuan kontrol diri, karena seringkali  perbuatan  anak seusia ini penuh dengan resiko.  Seperti ingin menyeberang jalan sendiri atau mencoba bermain di tempat yang jauh dari jangkauan pengawasan orangtuanya.

Pemahaman sebab akibat anak pada tahap ini juga masih sangat primitif. Mereka mudah percaya perkataan orangtuanya: 
“Kalau kamu nakal, mama bawa ke dokter untuk disuntik!”
“Hati-hati, kamu bisa jatuh kalau tidak dengar ayah!”

Sebaiknya orangtua berhati-hati dalam menyampaikan informasi yang tidak masuk akal, karena anak sedang belajar memahami apapun yang ia dengar.

Dukungan orang tua  sangat penting dalam setiap usaha anak.  Jika orangtua tidak mendukung usahanya, mengatakan mereka anak bodoh, menyusahkan, maka anak akan mengembangkan perasaan bersalah atas keinginan dan  kebutuhannya.

Terlalu banyak perasaan bersalah dapat membuat anak menjadi lamban dalam berinteraksi dengan orang lain dan akan menghambat kreativitas mereka.

Terlalu banyak inisiatif dan tidak punya rasa bersalah  juga merupakan kondisi maladaptive, anak cenderung menjadi kasar. Mereka hanya peduli pada rencana mereka sendiri, tidak peduli pendapat siapapun dan dalam situasi apapun. Baginya, yang penting tujuan tercapai dan perasaan bersalah dianggap sebagai sebuah kelemahan. 

Jangan sampai pula anak tidak punya inisiatif sama sekali. Anak yang tidak punya inisiatif berarti anak itu mengalami inhibition (hambatan). Anak yang terhambat tidak akan mau mencoba karena tidak punya keberanian. Lebih baik tidak berbuat apa-apa supaya tidak ada masalah dan  tidak ada perasaan bersalah.

Kondisi seimbang tercapai saat anak memiliki inisiatif yang cukup dan punya sedikit rasa bersalah. Sedikit rasa bersalah penting agar anak bisa berlatih mengontrol diri dan memiliki kesadaran diri.

Tahap Keempat “Industry vs Inferiority” (6 – 12 tahun)
Pada tahapan ini, selain orangtua, peran guru, teman sebaya, dan masyarakat sekitarnya cukup penting bagi perkembangan identitas diri anak. 

Anak butuh diterima oleh teman sebayanya dan diakui kemampuannya oleh orang lain. Anak juga mulai mengembangkan perasaan bangga akan prestasi yang dimilikinya.

Pada tahapan ini anak sangat menyadari siapa dirinya. Mereka berusaha keras menjadi anak baik dan melakukan segala sesuatu dengan benar. 

Mereka mulai terbiasa berbagi dan bekerjasama dengan teman. Anak mulai memahami konsep ruang dan waktu, lebih logis dan praktis. Mereka juga mulai mengerti hubungan sebab akibat.

Kemampuan anak yang sudah berhasil melampaui tahap sebelumnya nampak terlihat melalui permainan yang dilakukan bersama teman sebaya. Pada tahap ketiga, anak kurang memahami dan kurang peduli pada aturan permainan, bahkan aturan tersebut sering mereka ubah-ubah sendiri selama permainan berlangsung. Mereka jarang menyelesaikan permainannya, kecuali berakhir dengan keributan dan saling melempar mainan kearah lawannya. 

Bagi anak yang berada dalam tahap keempat, mereka sangat menjunjung tinggi aturan. Mereka akan kecewa jika permainan tidak diakhiri dengan baik.

Pada tahap ini anak lebih berani mencoba dan berusaha menyelesaikan berbagai ketrampilan yang kompleks. Anak mulai belajar membaca, menulis, dan mendengar. 

Anak yang mendapat dukungan dari orangtua dan guru akan mengembangkan perasaan kompeten. Namun, jika kurang mendapat dukungan dari orangtua, guru dan teman, anak menjadi ragu akan kemampuannya.

Saat ini, anak tidak lagi terfokus pada imajinasinya. Mereka harus bisa mengendalikan imajinasinya dan harus mulai mengedepankan pendidikan serta belajar berbagai ketrampilan sosial.

Anak yang jarang mendapat kesuksesan karena terkendala sikap keras dari guru atau penolakan dari teman-temannya, akan mengembangkan sikap rendah diri dan tidak kompeten dalam usahanya.

Orang tua atau Guru yang bersikap pilih kasih pada anak atau murid akan sangat merugikan anak-anak yang terabaikan. Anak-anak tidak hanya menjadi kurang perhatian namun sikap pengabaian juga akan menurunkan harga diri mereka dihadapan saudara atau teman-temannya yang lain.

Perasaan rendah diri juga bisa muncul dari sikap diskriminasi, baik diskriminasi terhadap ras, gender, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Diskriminasi membuat anak meyakini bahwa kesuksesan lebih dikarenakan siapa kamu bukan karena seberapa besar perjuanganmu. Jika hal ini terjadi anakpun berpikir: “buat apa saya harus mencoba?”

Masa kanak-kanak adalah masa melakukan eksplorasi berbagai hal, jangan biarkan anak terpaku untuk produktif dalam satu hal saja karena hal tersebut mengabaikan hak mereka sebagai seorang anak. Anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan minatnya yang lebih luas. Mereka menjadi anak-anak tanpa kehidupan. Contohnya seperti: Artis cilik, atlit cilik, musisi cilik. Mereka memang anak-anak ajaib dari berbagai jenis keahlian. Kita semua sangat kagum dengan prestasi mereka, dengan jiwa industri yang mereka miliki, namun jika kita melihat lebih dekat, mereka berada dalam dunia yang kosong.

Kondisi ekstrem lain yaitu Inferiority kompleks, yaitu orang yang merasa jika sekali gagal maka selamanya tidak akan sukses. Ketika tidak bisa matematika, lebih baik bolos pelajaran matematika. Atau anak yang merasa dipermalukan saat olahraga, maka mereka tidak pernah mau lagi ikut kegiatan olahraga. Yang lebih parah adalah ketika anak tidak punya ketrampilan sosial (padahal ini ketrampilan yang paling penting dalam kehidupannya) membuatnya tidak pernah mau pergi ke ruang publik.

Yang terbaik dari semua itu adalah kondisi seimbang. Kemampuan industri yang luar biasa harus diimbangi dengan sedikit perasaan inferior untuk menjaga agar anak tetap memiliki sikap rendah hati (humble).

Akhir kata… Anak hebat bisa lahir dari manapun, selama ia bisa meraih potensi-potensi terbaiknya dirinya melalui sentuhan terbaik orang-orang disekelilingnya.

0 komentar:

Parenting Tips,

Apa Cita-citamu? Begini Cara Memaksimalkannya!

08.02 Ena Nurjanah 0 Comments



Jika anak TK ditanya mengenai cita-citanya, tanpa perlu berpikir panjang mereka langsung memberikan jawabannya. Jawaban mereka  sesuai dengan gambaran sosok yang melekat dalam benak mereka.  

"Saya mau jadi Dokter!"
"Aku ingin jadi Pilot!"
"Aku mau jadi Polisi!" 

Begitulah  jawaban spontan mereka. Saat ditanya cita-cita, anak TK akan langsung membayangkan diri mereka seperti sosok idola mereka, dengan pakaian seragam tertentu yang mereka lihat dan ketahui. 

Ketika SD, anak-anak pun masih bisa menjawab pertanyaan cita-cita dengan mudah, walaupun jawaban mereka sudah mulai ada unsur suka dan tidak suka terhadap pilihannya. Tidak seperti saat TK, yang mana jawaban mereka hanya berdasarkan imajinasi,  tanpa pernah memikirkan suka atau tidak terhadap bidang pekerjaan tersebut.

Memasuki usia SMP, jawaban mereka  masih lumayan lancar ketika ditanya tentang cita-cita. Meskipun biasanya mereka mulai berpikir, melihat kemampuan yang mereka miliki. "Bisakah saya menjadi dokter? Menjadi insinyur?"

Saat duduk di bangku SMA, jawaban bisa menjadi berbeda. Ketika remaja ditanya cita-cita, kebanyakan dari mereka justru kebingungan. "Saya mau jadi apa ya?"

Cita-cita yang dulu mereka sebutkan ketika kecil, sekarang tidak lagi terasa seyakin saat mereka duduk di bangku TK. Bahkan, biasanya  mereka memikirkan ulang akan cita-citanya. Kira-kira apa yang layak dan pantas buat mereka? Tidak lagi apa yang mereka mau. Karena ternyata, yang mereka cita-citakan saat TK tidak selamanya sejalan dengan perkembangan kemampuan, kapasitas, kompetensi, bahkan minat mereka.

Saat sudah masuk perguruan tinggi, para pelajar yang sudah menjadi mahasiswa justru banyak yang kebingungan dengan cita-cita mereka. Bahkan tidak  sedikit dari mereka yang sudah kuliah di universitas negeri ternama, masih belum yakin dengan cita-citanya. Belum yakin dengan pilihan jurusan yang mereka ambil. 

Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa ada anak yang sejak kecil berprestasi, namun ketika di bangku kuliah justru mengalami banyak kendala dengan pendidikannya. Bukan karena mereka tidak mampu secara intelektual tetapi mereka mengalami hambatan yang sifatnya non-akademis. Mereka menjalani perkuliahan dengan berat dan penuh beban, karena mereka menjalani perkuliahan untuk bidang studi yang mungkin tidak mereka sukai. 

Ada yang tetap berhasil, namun tentu saja dengan jerih payah yang luar biasa. Bahkan, yang cukup ironis, mereka berhasil menjadi sarjana namun tidak berminat untuk bekerja sesuai dengan jurusannya.

Saat Memulai Dari Nol

Saat lulus perguruan tinggi adalah saatnya memasuki dunia cita-cita masa kecil. Namun, pada kenyataannya justru menjadi saat-saat yang menegangkan bagi para lulusan perguruan tinggi. Mereka sepertinya harus mulai dari nol dalam menentukan pekerjaan. Bisa jadi pekerjaan pilihan mereka tidak lagi sama dengan cita-cita masa kecil mereka (terkecuali untuk lulusan sekolah kedinasan yang sudah pasti penyaluran bagi lulusannya).

Jadi, jangan heran kalau kita seringkali mendapatkan seseorang yang pekerjaannya berbeda dengan jurusan yang mereka tempuh saat dibangku kuliah. Misalnya, pegawai bank dengan latar belakang ilmu pertanian, teknik industri, dll; Pegawai IT dengan latar belakang ilmu kimia, serta masih banyak contoh lainnya.

Walaupun tidak bisa dipungkiri, ada faktor lain diluar diri mereka yang membuatnya tidak bekerja sesuai dengan jurusannya. Contohnya adalah karena terbatasnya lahan pekerjaan yang sesuai, atau mereka memilih jurusan kuliah hanya untuk memenuhi keinginan orangtua, serta faktor eksternal lainnya. 

Tulisan ini akan lebih memfokuskan pada faktor-faktor internal yang masih bisa dibenahi agar setiap anak mampu meraih cita-citanya dengan pilihan matang, penuh kesadaran akan potensi, minat dan bakatnya.

Tidak ada maksud untuk menyalahkan kondisi yang ada. Namun, ada hal yang patut untuk kita cermati, mengapa fenomena seperti itu terlalu banyak terjadi di tengah-tengah kita. Seharusnya, yang namanya penyimpangan itu jumlahnya kecil saja, jangan mengalahkan keumuman yang semestinya.

Berbagai Keluhan  mengenai ketidakcocokan biasanya baru bisa dirasakan dan disuarakan ketika memasuki usia remaja akhir. Ketika cara berpikir sudah mulai matang, keberanian berpendapat sudah mulai muncul seiring dengan pertambahan usia.

Kita tahu bahwa orang yang telah dewasa akan berusaha mendapatkan pekerjaan. Bekerja sebagai wujud dari kemandirian ekonomi. Namun demikian,  kemandirian ekonomi tidak bisa dicapai secara tiba-tiba, bahkan bisa jadi sebagai proses terberat yang harus dilalui orang dewasa.

Orang dewasa harus menghidupi dirinya sendiri, dengan demikian mencari pekerjaan adalah sebuah kemestian. Bekerjanya seseorang memiliki banyak nilai penting bagi dirinya. Dengan bekerja seseorang menjadi lebih berdaya, lebih percaya diri, lebih bisa diterima di masyarakat, lebih dihargai, dan yang terpenting lebih bisa mengatur kehidupannya menjadi lebih baik. 

Menengok Barat

Sejak tahun 1990an dunia barat menyadari peran penting pemahaman perkembangan karir sejak usia dini. Hal ini tergambar jelas dalam dunia pendidikan barat. Mereka gencar mengintegrasikan pemahaman perkembangan karir dalam dunia pendidikan mereka. Harapannya selepas SMA anak-anak mereka mempunyai kemampuan menentukan pilihan karir secara matang. Apakah mereka akan magang, ikut kursus, lanjut kuliah, atau bekerja.

Negara-negara barat telah merancang program-program terbaik agar anak-anak mereka memiliki kesadaran karir sejak dini. Pemahaman pentingnya perkembangan karir dalam dunia pendidikan dibuat dengan cara yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Hal ini penting ditekankan, karena banyak yang salah memahami  bahwa mengenalkan anak dengan dunia karir diangap seolah-olah menuntut anak dengan tanggung jawab yang terlalu dini. 

Di Indonesia, usaha dunia pendidikan mengenalkan anak tentang karir sebenarnya sudah ada. Bisa dilihat, sejak TK anak-anak sudah diperkenalkan dengan berbagai jenis pekerjaan. Ketika SD, SMP dan SMA ada kegiatan career day, career fair, visiting profesional, dan lain sebagainya. Bahkan, bimbingan karir juga sudah harus ada sejak di tingkat SMP. Namun, sangat disayangkan pemahaman perkembangan karir  belum utuh dan menyeluruh sehingga belum memberi hasil yang signifikan bagi anak-anak Indonesia.

Perkembangan Karir Menurut Para Ahli

Perkembangan karir bukanlah pencapaian tiba-tiba yang terjadi setelah  dewasa. Perkembangan karir adalah proses berkelanjutan sepanjang hidup seseorang yang dimulai sejak usia dini. Masa remaja menjadi jembatan terbaik yang bisa mengantarkan masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mandiri .

Berbagai aspek penting dari perkembangan karir terjadi sepanjang masa usia sekolah. Perkembangan karir sesungguhnya berproses selaras dengan tahapan perkembangan lainnya, seperti tahap perkembangan kognitif, moral, psikososial dan lainnya.

Saat dewasa, pilihan karir yang sesuai akan sangat  berpengaruh bagi kehidupan seseorang secara keseluruhan.

Adapun tahap awal dalam perkembangan karir adalah membangun kesadaran karir sejak dini kepada anak. Anak diajak untuk bisa memahami karakter pribadinya, minat, bakat, maupun ketrampilan yang dikuasainya, bisa menghormati semua jenis pekerjaan yang dilakukan secara profesional, dan mengetahui  keterkaitan antara prestasi yang dia miliki dengan cita-citanya kelak.

Tahap eksplorasi merupakan fondasi kedua yang harus dibangun oleh para orangtua dan guru. Anak harus mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya untuk mengeksplorasi berbagai jenis pekerjaan maupun kegiatan. Tujuannya agar anak benar-benar mampu menemukan kecocokan antara minat dan apa yang ia cita-citakan. Minat itu sendiri seringkali dipengaruhi oleh pengalaman anak baik itu pengalaman dari rumah, keluarga besar, tetangga, sekolah atau lingkungan sekitarnya. 

Peran Orangtua bagi Perkembangan Karir Anak

Peran orangtua sangat signifikan bagi perkembangan karir anak. Orangtua memiliki kesempatan paling besar dalam memberikan informasi tentang dunia kerja/karir bagi anak. Peran orangtua juga sangat efektif dalam membuat perencanaan dan menentukan cita-cita yang diinginkan anak. Orangtua harus menyadari bahwa perannya adalah mengantarkan anak menjadi arsitek bagi masa depan anak itu sendiri dan bukan memaksakan pilihan orangtua untuk anak.

Peran yang bisa dilakukan oleh Orangtua antara lain:
1) Bantu anak memahamai minat, kapasitas, dan nilai yang ia miliki
2) Diskusi tentang  pekerjaan, apa  saja jenisnya, apa yang dilakukan, syarat menjadi pekerja, dan lain sebagainya, dengan cara yang menyenangkan bagi anak
3) Bantu anak menentukan cita-cita dengan mencarikan informasi sebanyak-banyaknya tentang Perguruan Tinggi dan karir
4) Ajarkan anak bahwa pilihan pekerjaan harus sesuai dengan nilai dan punya etika
5) Bersikap hati-hati agar tidak merendahkan suatu pekerjaan maupun pekerjanya
6) Memberi kesempatan pada anak melakukan pekerjaan di rumah atau di lingkungannya
7) Latih anak memiliki ketrampilan mengambil keputusan
8) Dorong anak  membuat perencanaan pendidikan maupun karirnya

0 komentar:

Parenting Tips

HUKUMAN bagi ANAK, Benarkah Diperlukan?

17.11 Ena Nurjanah 0 Comments


Menghukum anak dalam Parenting, apakah sebuah langkah yang tepat untuk diambil? 
Apa yang harus diketahui dan diperhatikan orangtua mengenai 'hukuman' dalam mendidik anak?



Berikut cerita selengkapnya,

"Hukuman", kata yang sering kali kita dengar, dalam konteks apapun itu. Konteks yang paling dekat dan kerap kali kita temui adalah tindakan pemberian hukuman yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya di rumah atau seorang guru yang menghukum  muridnya di sekolah. Dalam konteks yang lebih luas adalah tindakan hukuman yang diberikan oleh seorang hakim kepada sang terdakwa di meja pengadilan. 

Hukuman yang dilakukan hakim kepada terdakwa adalah tindakan yang sudah ada aturannya dalam undang-undang. Pemberian hukuman dilakukan dalam konteks negara hukum. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi seluruh warga negaranya.

Hukuman yang dilakukan di rumah ataupun disekolah jelas berbeda dengan hukuman dalam konteks negara hukum tadi. Hukuman yang dilakukan di rumah maupun di sekolah seringkali justru terjadi tidak dilandasi dengan aturan yang dibuat sebelumnya. Hukuman yang diberikan lebih sering  bersifat reaktif, tidak terencana dan tidak ada ukuran/batasan yang jelas mengenai berat-ringannya hukuman. Hukuman yang dilakukan di rumah maupun di sekolah biasanya dilakukan dengan alasan sebagai upaya mendidik dan mengasuh anak.  Denga kata lain "Hukuman" menjadi salah satu strategi para orangtua dan guru dalam mendidik anak atau murid. 

Menjadikan "hukuman" sebagai salah satu cara dalam mendidik anak, nampaknya sudah menjadi suatu yang  lumrah di kalangan masyarakat.  Menghukum anak terlihat menjadi sesuatu yang wajar, bisa diterima begitu saja, tidak perlu lagi mencari alasan mengapa harus menghukum dan tidak perlu dipikirkan dampaknya. Hukuman menjadi 'cara pintas' mendidik anak.

Tindakan menghukum yang dilakukan oleh  orang tua maupun guru biasanya mulai dari tindakan verbal seperti meneriaki, memarahi, dll; maupun hukuman fisik seperti memukul, menampar, dll.  Mulai dari hukuman yang kadarnya ringan hingga hukuman tingkatan yang 'lebih berat'.

Satu hal yang sudah pasti terjadi ketika anak mendapat hukuman adalah bahwa hukuman akan meninggalkan bekas pada anak, baik fisik maupun psikis. Tentu saja dengan kualitas yang sangat beragam tergantung dari apa yang dirasakan maupun yang dipersepsikan oleh si anak yang mendapat hukuman tersebut.

Dalam Undang-undang Perlindungan anak no.35 tahun 2014, dalam rangka memberikan perlindungan maksimal bagi anak diantara isi undang-undang tersebut adalah negara melindungi setiap anak Indonesia dari tindakan kekerasan baik fisik maupun psisik. Pelaku tindakan kekerasan akan mendapat sanksi hukuman berupa pemidanaan maupun denda. Bahkan jika pelakunya adalah orang tua, guru, pendidik, keluarga maka hukuman bisa ditambah sepertiga dari hukuman yang diberikan.

Masyarakat yang selama ini permisif dengan pemberian hukuman cenderung menjadi resah, karena merasa kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka.  Gencarnya sosialisasi Undang-undang Perlindungan anak justru membuat banyak orang tua, guru, maupun masyarakat yang menjadi kebingungan bahkan ada yang ketakutan. Kenapa? karena  tindakan menghukum anak yang memberi dampak fisik maupun psikis justru akan menjerat mereka ke meja hijau. Para guru banyak yang mengeluh. Mereka merasa kesulitan untuk mendidik murid-murid mereka yang mereka katakan "nakal". Mereka tidak lagi bisa berlaku keras (kasar) terhadap murid-murid mereka, karena perbuatan mereka bisa diadukan ke kepolisian karena dianggap telah melakukan tindakan kekerasan fisik/psikis terhadap anak.

Para orangtua maupun guru sering berdalih bahwa dulu mereka sering mendapat hukuman namun tidak ada masalah bagi mereka, tidak ada yang kemudian mendapat sanksi hukum, bahkan mereka merasa menjadi semakin baik dengan diberikan hukuman oleh orang tua atau guru mereka. Mengapa sekarang mereka tidak boleh menghukum anak atau murid mereka? Padahal " kenakalan" anak sekarang sudah sangat kelewatan.

Dalam mendidik sesungguhnya banyak sekali metode yang bisa dilakukan. Hukuman hanyalah salah satu jenis dari cara mendidik yang sebaiknya tidak dilakukan, tidak menjadi prioritas, atau dilakukan tapi mengkombinasikannya dengan metode lain secara  tepat.  Jadi, para pendidik seharusnya tidak kehabisan akal dalam memberikan didikan yang tepat dan bermartabat bagi anak. 

Kondisi dulu dan sekarang ternyata memang tidak bisa disamakan. Banyak faktor yang membuat kondisinya menjadi berbeda. Faktor terpenting dari perubahan paradigma tentang anak adalah saat Indonesia meratifikasi kebijakan dunia dalam hal memberikan perlindungan bagi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) PBB tahun 1990. Sebagai konsekuensi dari meratifikasi KHA maka Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dan atau memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak  yang diakui di dalam KHA. Wujud nyata dari ratifikasi KHA adalah Indonesia telah membuat UU Perlindungan Anak yang menjadi landasan hukum bagi semua pihak dalam memperlakukan anak dengan baik dan tepat.


"Hukuman" dari Sudut Pandang Para Ahli

Alasan utama para orang tua atau guru memberikan  hukuman pada anak adalah agar anak tidak mengulangi perbuatannya atau sebisa mungkin  menghilangkan perilaku buruk tersebut. Menghukum sebagai cara mereka mendidik anak dan murid mereka.

Para pakar teori belajar seperti Skinner dan Thorndike memiliki pendapat yang sama tentang efektivitas hukuman. Menurut mereka hukuman tidak akan menurunkan peluang terulangnya perilaku yang tidak diinginkan. Walaupun hukuman bisa menekan munculnya perilaku yang tidak diharapkan selama hukuman diterapkan, namun hukuman tidak akan melemahkan perilaku tersebut.

Skinner sangat menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk menghilangkan perbuatan yang tidak di kehendaki, ada beberapa alasan yang beliau kemukakan, yaitu:

  1. Hukuman hanya menekan perilaku, namun ketika ancaman hukuman dihilangkan, tingkat perilaku akan kembali sepertri semula. Jadi, hukuman hanya akan memberikan efek temporer.
  2. Hukuman akan menyebabkan efek samping emosional yang buruk. Hukuman hanya akan menimbulkan rasa takut. Ketakutan terhadap semua hal yang menyebabkan ia  mendapat hukuman.
  3. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan anak, bukan apa yang seharusnya dilakukan. Hukuman sesungguhnya tidak memberikan pelajaran baru bagi si anak, kecuali hanya larangan untuk melakukan perbuatan buruk tersebut. Dengan demikian orangtua harus memberi penjelasan lagi mengenai alasan-alasan menghukum anak dan menyampaikan kepada anak apa yang seharusnya dilakukan.
  4. Pemberian hukuman sama artinya dengan memberikan pembenaran atas tindakan menyakiti pihak lain. Ketika seorang anak dipukul, maka ia belajar bahwa dalam situasi tertentu anak pun boleh melakukan tindakan memukul.
  5. Perilaku yang sebelumnya diberi hukuman dikemudian hari  tidak lagi mendapat hukuman, akan membuat anak menganggap bahwa perilaku tersebut boleh dilakukan.
  6. Hukuman akan menimbulkan agresi baik bagi yang memberi hukuman maupun pihak yang menerima hukuman
  7. Hukuman sering  kali tidak meninggalkan perilaku buruk melainkan menggantinya dengan perilaku buruk yang lainnnya.


End Point:

Para ahli ada juga yang berpendapat bahwa hukuman masih bisa dilakukan dengan kondisi sangat terpaksa. Biasanya diberikan untuk anak dengan perilaku yang sangat buruk dan perilakunya cenderung membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.

Perlu dingat bahwa hukuman adalah memberikan konsekuensi negatif kepada anak yang melanggar aturan atau melakukan perbuatan yang buruk. Tujuan pemberian hukuman agar anak tersebut mengetahui perilakunya yang salah.

Oleh karena itu, jika hukuman diberikan tanpa disertai penjelasan, maka anak hanya tahu perilaku yang tidak boleh dilakukannya tapi tidak pernah tahu perilaku yang seharusnya dilakukan.

Pastikan pula bahwa hukuman tidak pernah dilakukan dalam bentuk menyakiti (secara verbal maupun fisik). 


Pemberian hukuman juga harus diseimbangkan  dengan memberikan pujian dan penghargaan terhadap perilaku baik yang telah dilakukan anak.

0 komentar: