Anak dan Pornografi

Ketika Sekolah Terjerat Masalah, Bagaimana Mengambil Sikap?

20.13 Ena Nurjanah 0 Comments




Pornografi & Anak Didik, Bagaimana Sekolah & Mediator Mengambil Sikap? 

Di era kemudahan akses informasi telah menimbulkan banyak gejolak yang tidak diharapkan. Dampak yang paling utama adalah dampak yang terjadi pada. Mereka menjadi sasaran empuk apapun yang datangnya dari berbagai pihak termasuk media, baik itu hal yang baik ataupun yang buruk.

* * *

Kisah perbuatan anak yang lepas kontrol dan mengarah kepada tindakan pornografi tidak hanya membuat orang tua kebingungan, namun dampaknya ternyata juga dirasakan oleh pihak sekolah. Guru di sekolah kini pun menjadi lebih sulit untuk menjaga perilaku anak-anaknya. Sekarang, kontrol guru harus menjadi lebih ekstra dalam mengawasi tingkah polah anak didiknya.

Ada satu kejadian yang telah membuat sekolah kelimpungan dalam menghadapinya. Seorang siswa lak-laki kelas satu SD berulangkali mencium bibir siswa perempuan sekelasnya. Peristiwa itu terjadi beberapa kali, selang beberapa hari. Sang guru pun tidak tinggal berdiam diri saja, ia telah berusaha keras menegur dan memperingatkan siswa tersebut dan juga kepada seluruh siswa yang ada di kelas tersebut mengenai perilaku yang tidak pantas tersebut. Entah apa yang ada dipikiran anak tersebut, sehingga kejadian itu harus terulang kembali. 

Kisah lain tak kalah mengkhawatirkan, terjadi pada anak yang masih duduk di kelas satu SD juga. Kali ini dilakukan antar sesama anak laki-laki. Seorang anak bernama A berulang kali berusaha menggiring temannya yang juga seorang laki-laki (sebut saja B) ke pojok lemari agar tersembunyi dari penglihatan orang. Si A kemudian memelorotkan (membuka paksa) celana si B dengan tujuan untuk memegang kemaluan si B.

* * *

Kejadian pertama (re: cium), terjadi di dalam kelas saat situasi sedang ramai, dan anak laki-laki tersebut spontan mencium si perempuan. Guru yang mengetahui pun segera mengambil sikap.

Pada kejadian yang kedua, ternyata pada awalnya tidak diketahui siapapun. Kejadian ini baru diketahui oleh orang tua B pada saat di rumah menjelang malam. Si B yang pemalu dan penakut saat di sekolah, pada saat di rumah pun menjadi lebih ceria. Semua terungkap saat si B bermain loncat-loncatan di tempat tidur bersama adiknya, yang secara spontan bercerita kepada ibunya. 

"Ibu.. Celanaku dipelorotin lagi sama si A”, ucapnya polos sambil bermain-main. Sang ibu tersentak kaget. Ternyata kejadian ini sebenernya bukan yang pertama kali, beberapa minggu sebelumnya pernah terjadi. Si ibu pun meminta agar pihak guru kelas memperhatikan kondisi tersebut dan memberi perhatian terhadap kasus ini dan berharap agar si A bisa dikonseling oleh psikolog sekolah, khawatir ada sesuatu dalam dirinya yang butuh untuk diberi 'perhatian' lebih.

* * *

Dari kedua peristiwa tersebut, yang merasa sangat dirugikan adalah orangtua yang menjadi korban (meskipun pada hakekatnya ketika berbicara tentang anak, maka anak yang dianggap sebagai pelaku, atau anak yang telah berlaku salah itupun merupakan korban juga; yaitu korban dari interaksi yang ada di lingkungan sekelilingnya, baik itu dipengaruhi oleh orangtua, keluarga, kerabat, tetangga, media ataupun dari sekolah).

Pihak sekolah pun tentu saja menjadi kebingungan menyikapi kondisi yang telah menimpa dan terjadi pada anak didik mereka tersebut. Tidak ada satu sekolahpun yang sebenarnya menghendaki situasi tersebut.

* * *

Apa yang bisa dicermati dan bagaimana solusi mengatasi kondisi tersebut?

1) Pihak sekolah harus bersikap proaktif melihat adanya kejadian yang tidak normal di sekolah tersebut. Sebuah kejadian yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak yang terdidik.

Berdasarkan dari 2 permasalahan  tadi, yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah diantaranya adalah:

  1. Segera melakukan evaluasi terhadap pengawasan siswa didik di kelas maupun di luar kelas. Guru dan pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap siswa lebih meningkat pengawasan terhadap siswa yang bertingkah laku tidak sesuai.
  2. Berusaha menutup peluang bagi kemungkinan terjadinya tindakan tersebut, baik dengan memperketat jadwal kegiatan dalam  kelas dan luar kelas maupun setting ruang kelas dan areal luar kelas sehingga menjadi lebih terbuka dan terlihat ,jangan ada ruang-ruang atau areal tersembunyi yang sulit dijangkau mata guru kelas atau pihak pengawas lainnya.
  3. Tata tertib berperilaku sopan santun harus terus disampaikan ke siswa dengan membuka ruang diskusi sehingga anak memahami bukan sekedar takut bertindak yang membuat mereka dihukum tapi mereka mau menerima tata tertib tersebut karena mereka paham maksud dan tujuan dari tata tertib tersebut bagi kebaikan mereka.
  4. Untuk anak-anak yang sudah terlanjur melakukan tindakan asusila tersebut sebaiknya segera dilakukan konseling oleh konselor/psikolog sekolah dengan melibatkan pihak orang tua anak-anak tersebut, karena tidak akan mungkin penyelesaian anak hanya dilakukan sekolah padahal porsi waktu terbesar anak-anak adalah di rumah. Tanggung jawab pengasuhan yang terbesar juga ada pada para orangtua siswa.
  5. Pihak sekolah harus membangun pemahaman yang baik kepada seluruh orangtua siswa tentang bagaimana pengasuhan yang baik bagi anak dan sebisa mungkin menjaga anak dari dampak buruk  kemudahan akses informasi baik melalui televisi maupun internet.Tujuannya agar kejadian tersebut tidak akan terulang lagi menimpa siswa lain di sekolah tersebut.

2) Seandainya ternyata pihak orangtua siswa yang menjadi korban tidak puas dan melakukan tuntutan kepada pihak sekolah ataupun kepada pihak orang tua siswa yang menjadi pelaku, maka sebaiknya dilakukan mediasi. Mediasi bisa dilakukan antara kedua orangtua siswa tersebut dengan dimediasi oleh kepala sekolah. Atau jika ternyata orang tua korban menunjukkan sikap tidak percaya akan kenetralan dari pihak sekolah, maka pihak sekolah bisa mengundang pihak lain, seperti lembaga perlindungan anak untuk menjadi pihak ketiga/ke empat yang menjadi mediator bagi penyelesaian masalah yang terjadi diantara mereka.


3) Langkah-langkah yang seharusany dilakukan oleh seorang mediator dari lembaga Perlindungan anak antara lain adalah:
  1. Memimpin jalannya mediasi dengan baik
  2. Membuat aturan selama jalannya mediasi
  3. Menyatakan ke netralan dirinya sebagai mediator
  4. Menyatakan keberpihakannya hanya pada “kepentingan terbaik bagi anak” (sesuai dengan hak dasar bagi setiap anak)
  5. Menjelaskan kepada semua pihak bahwa anak, baik dia korban maupun pelaku sama-sama korban (pelaku adalah korban dari lingkungan yang tidak tepat, bisa itu dari orangtua,keluarga,tetangga, media, sekolah,dll)
  6. Mengingatkan para pihak bahwa perbuatan anak yang berusia dibawah 12 tahun tidak pernah bisa diproses secara hukum, keputusan yang ada dalam UU adalah agar anak dikembalikan kepada kedua orangtuanya.
  7. Mediator memberikan hak yang sama kepada semua pihak yang hadir untuk menyampaikan pendapatnya.
  8. Tidak membatasi hak masing-masing pihak untuk menyampaikan keluh kesah dan pendapatnya selama itu dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan bertanggung jawab.
  9. Setelah semua pihak mengutarakan isi hatinya, mediator menyampaikan point-point yang menjadi bahasan agar semua bisa focus pada masalah dan target penyelesaian.
  10. Mediator  harus berani mengatakan sekiranya ada kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan masing-masing pihak yang berdampak pada terabaikannya hak-hak anak, baik kesalahan itu dilakukan oleh orangtua korban, orang tua pelaku, ataupun pihak sekolah.
  11. Mediator sebisa mungkin memberi pencerahan terhadap pemahamn-pemahaman yang keliru tentang anak dan kasusnya dengan cara yang tepat dan tidak menggurui (sesuai dengan kaidah andragogi)
  12. Mediator menyampaikan gagasan penyelesaian dengan meminta pertimbangan semua pihak. Hal ini karena setiap langkah penyelesaian akan sangat dibutuhkan kesiapan, kesanggupan dan komitmen masing-masing pihak  untuk menjalankan kesepakatan tersebut.
  13. Mediator memberikan ruang adanya negosiasi penyelesaian diantar masing-masing pihak.
  14. Kesepakatan akhir harus menjadi kesepakatan yang benar-benar realistis, mampu dijalankan oleh semua pihak, bukan hanya sekedar semangat membuat kesepakatan tanpa melihat realitas di lapangan. Jangan sampai ada salah satu pihak yang ternyata menanggung beban lebih besar sehingga cenderung tidak mampu menjalankan kesepakatan tersebut. Jika hal ini terjadi maka, mediasi yang sudah dibuat tidak ada artinya, karena sama saja hal tersebut sebagai sebuah kegagalan mediasi
  15. Kesepakat tersebut harus dituliskan, dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang terlibat.
  16. Sebaiknya ada batasan waktu yang realistis dalam menjalankan kesepakatan tersebut agar bisa dievaluasi progress dari kesepakatan itu.

4) Lembaga yang siap menjadi mediator seharusnya tidak meninggalkan pihak-pihak yang dimediasikannya. Sebagai wujud tanggung jawab moral sekaligus wujud kepedulian terhadap kepentingan terbaik bagi anak, Lembaga tersebut harus bisa mengawal hingga kasus itu bisa terselesaikan dengan baik. 
      
Setelah mediasi selesai, pihak sekolah harus tetap menjaga situasi agar tetap konudisf bagi semua pihak. Pihak sekolah sangat berkepentingan terhadap penyelesaian kasus anak didiknya yang melibatkan para orang tuanya. Keberhasilan sekolah dalam penyelesaian kasus ini akan memberi dampak positif tumbuhnya rasa nyaman dan aman bagi siswa didik terhadap lingkungan sekolahnya.

You Might Also Like

0 komentar: