crtical paedagogy,

Selamatkan Anak-Anak! (Torehan Peradaban dalam Menciptakan Masa Kanak-kanak)

14.44 Ena Nurjanah 1 Comments


Sebuah Pengantar

Kini sudah lazim, kebersamaan dengan anak-anak kita ciptakan lewat menonton televisi, film, musik, bermain game, atau media-media pop lainnya. Gejala tersebut tampak seperti sebuah fenomena sosial biasa. Namun, Neil Postman menengarai adanya bahaya yang mengancam. Batas antara orang dewasa dengan anak-anak kian mengabur. Orang dewasa menjadi lebih kekanak-kanakan, sedang anak-anak justru menjadi cepat dewasa. Pada waktu yang bersamaan, angka kejahatan remaja dan penyakit-penyakit sosial lainnya menunjukkan peningkatan yang kian menggiriskan.

Persoalan tersebut pernah dibedah Neil Postman dengan menggunakan pendekatan psikologi, sejarah, dan semantik (pembelajaran tentang makna). Ia pun melacak hingga abad Pertengahan. 

Neil Postman menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan istilah baru, seiring dengan munculnya gagasan tentang pendidikan, konsep malu, dan budaya baca tulis. Meski demikian, seperti yang sudah diramalkan Thoreau, masyarakat kapitalis yang cenderung tak terkendali dan banal telah memberangusnya. Industri hiburan terutama televisi, mengubah kekerasan dan seks menjadi hiburan populer dan menyederhanakan berita dan iklan hingga setaraf intelektual anak-anak.
Itulah sekelumit dari isi buku Neil Postman yang diberi judul edisi bahasa Indonesia “Selamatkan Anak-Anak”  diterbitkan oleh Resist Book, Yogyakarta, 2009. Edisi aslinya berjudul  The Dissapearance of Childhood/Neil Postman;1994
Karya-karya Neil Postman tersebut sangat menarik untuk ditelaah kembali isi dan maknanya karena sangat relevan dengan berbagai kondisi dan fenomena yang kita alami saat ini. Karyanya sangat baik untuk dibaca oleh para orangtua dan orang-orang dewas lainnya. 

Kita bisa melihat anak-anak sebagai bagian dari sejarah kehidupan manusia, dan masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh peradaban yang ada. Semua yang dibahas dalam buku Neil Postman akan memperkaya wacana kita tentang masa kanak-kanak, sekaligus menumbuhkan kesadaran bagi para orang tua terhadap perputaran roda peradaban dan pengaruhnya terhadap masa kanak-kanak. 

* * *

Cerita akan dibagi berdasarkan dua tema besar, yaitu:
I. Penemuan Konsep Mengenai Masa Kanak-kanak
II. Menghilangnya Masa Kanak-kanak

* * *


Postman mengatakan bahwa  tema dalam bukunya tersebut cukup menyedihkan. Makin menyedihkan manakala fakta yang tertulis dalam buku ini hanya sedikit memberikan solusi pada persoalan-persoalan yang telah diangkat (bahkan bisa dikatakan, tidak ada solusi sama sekali). 

Padahal dalam penulisan ini Postman berharap bahwa fenomena menghilangnya masa kanak-kanak akan berakhir. Namun, pada kenyataanya apa yang terjadi saat ia tulis buku ini pertama kali yaitu di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, semua kejadian itu masih terus berlangsung hingga saat ini.

Diantara kecemasan akan  menghilangnya masa kanak-kanak, Postman masih bisa bernafas lega. Ia masih menemukan anak-anak yang punya kekuatan. Yaitu kekuatan moral dari anak-anak yang dengan polos memprotes isi dari buku Postman. Anak-anak ini diajak oleh para gurunya untuk mendiskusikan isi buku Postman. Anak-anak tersebut kemudian menulis surat padanya untuk menyatakan protes bahwa mereka  masih peduli dengan pentingnya pembedaan antara kanak-kanak dengan orang dewasa.

* * *

I. Penemuan Konsep Mengenai Masa Kanak-Kanak

1. Ketika Konsep tentang Anak-Anak Tidak Ada
Sejarah peradaban biasanya melihat pada peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pada masa itu orang Yunani kuno masih sangat samar tentang 'masa kanak-kanak'. Kata Yunani untuk anak dan pemuda bersifat ambigu, dan tampaknya  menyangkut hampir semua yang termasuk antara masa bayi dan masa tua. Meskipun orang Yunani memiliki standar yang ambigu mengenai sifat masa kanak-kanak, orang Yunani memiliki semangat yang tunggal terhadap pendidikan. Filosof terbesar Athena, Plato, menulis secara panjang lebar mengenai tema pendidikan ini.
Ide tentang kata sekolah juga berasal dari kata Yunani yang berarti “waktu senggang”. Kata itu mencerminkan karakteristik kepercayaan orang Athena bahwa waktu senggang bagi seorang yang beradab mestinya dihabiskan untuk berpikir dan belajar.
Ide orang Yunani tentang sekolah  tetap saja tidak menggambarkan konsep tentang masa kanak-kanak. Semua anak diperlakukan sama dengan orang dewasa. Ketika mereka mendisiplinkan anak lebih seperti sebuah siksaan untuk pengertian normal bagi masyarakat modern. Banyak anak-anak yang teraniaya karena para orangtua pada zaman itu tidak memiliki kapasitas untuk berempati kepada anak-anak.

Bangsa Romawi mengadopsi ide sekolah dari bangsa Yunani. Namun bangsa Romawi melampaui ide orang Yunani tentang masa kanak-kanak. Bangsa Romawi telah mulai mengembangkan suatu kesadaran tentang masa kanak-kanak.

Orang Romawi pun mengembangkan ide  masa kanak-kanak dengan memunculkan  konsep tentang rasa malu. Catatan tentang hal ini tertulis dari kisahnya Quintilian yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap teman-temannya yang tidak tahu malu di depan anak-anak bangsawan Romawi.

Dalam pernyataanya, Quintilian telah mencoba membuat definisi tentang anak sekaligus juga adanya pengakuan bahwa masa kanak-kanak itu mesti dihindarkan dari rahasia-rahasia orang dewasa, khususnya rahasia-rahasia seksual. Ketidaksetujuan Quintilian pada orang-orang dewasa yang gagal menjaga rahasia-rahasia ini dari kaum muda menjadi gambaran sempurna mengenai sebuah ciri dari kebudayaan yang beradab.

Setelah berakhirnya zaman Romawi, semua ide-ide pun lenyap. Adanya serangan kaum barbar dari utara, kehancuran kekaisaran Roma, terkuburnya kebudayaan klasik, dan menurunnya budaya Eropa menjadi apa yang dikenal Abad kegelapan dan Pertengahan.

Memasuki abad pertengahan, ide mengenai masa kanak-kanak tidak ada lagi. Hal ini didasarkan pada ketiadaan literasi, ketiadaan gagasan mengenai pendidikan, dan ketiadaan gagasan akan rasa malu. Pada masa ini  tingkat kematian anak-anak cukup tinggi. Sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan anak-anak untuk bertahan hidup. Di sisi lain orang-orang dewasa tidak memiliki komitmen emosional kepada anak-anak.

Memasuki  abad keenambelas, Inggris mulai membangun masa kanak-kanak. Sebuah lingkungan komunikasi baru mulai terbentuk sebagai akibat dari munculnya percetakan dan literasi sosial. Percetakan  telah menciptakan sebuah definisi baru mengenai usia dewasa berdasarkan kemampuan membaca, dan karenanya, sebuah konsepsi baru mengenai usia anak-anak dibuat berdasarkan ketidakmampuan membaca. Sebelum munculnya lingkungan baru tersebut, masa bayi berakhir pada usia tujuh tahun dan usia dewasa dimulai setelahnya.

2. Mesin Cetak dan Usia Dewasa Baru
Sebuah gagasan tentang masa kanak-kanak bisa muncul, karena ada sebuah perubahan dalam dunia orang dewasa. Perubahan ini, memunculkan definisi baru mengenai usia dewasa. Pada pertengahan abad kelimabelas muncullah penemuan mesin cetak dengan tipe yang bisa berpindah.

Mesin cetak telah menciptakan dunia simbolis baru yang pada gilirannya memerlukan konsepsi baru mengenai usia dewasa. Usia dewasa baru yang mengecualikan anak-anak. Dan saat anak-anak keluar dari dunia orang dewasa, maka anak-anak  perlu menemukan dunia baru yang bisa mereka huni. Dunia ini kemudian dikenal sebagai masa kanak-kanak.

3. Periode Awal (Incunabula) Masa Kanak-kanak
Lima puluh tahun pertama dari munculnya mesin cetak disebut sebagai masa incunabula, yang secara harfiah berarti masa merangkak. Ketika mesin cetak mulai beranjak dari masa merangkak, gagasan mengenai usia kanak-kanak mulai muncul. Masa merangkak ini berlangsung selama dua ratus tahun. Setelah Abad keenambelas dan Ketujuhbelas barulah usia kanak-kanak mulai diakui dan menjadi ciri tatanan alamiah.

Menulis mengenai masa incunabula, J.H. Plumb mencatat bahwa,”Secara bertahap, anak-anak menjadi obyek yang dihormati, mahluk spesial dengan sifat dan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda, yang memerlukan pemisahan dan perlindungan dari dunia orang dewasa.” Pemisahan ini merupakan kata kunci. Ketika memisahkan seseorang dari orang lain, berarti menciptakan kelas-kelas manusia, di mana anak-anak merupakan sebuah contoh yang historis dan manusiawi.

Ide mengenai masa kanak-kanak masih belum merata. Namun, biasanya masa kanak-kanak ini muncul ketika ide tentang literasi dijunjung dan ditekankan. Ide tentang literasi akan memunculkan banyak sekolah. Dari  sekolah inilah kemudian mendorong munculnya konsep tentang masa kanak-kanak.

Ide mengenai masa kanak-kanak lebih banyak muncul di kepulauan-kepulauan Inggris pada masa Henry VIII bertahta. William Forest telah menyerukan pentingnya pendidikan dasar. Forest mengusulkan agar pada usia empat tahun, anak-anak harus dikirim ke sekolah “untuk belajar beberapa literatur” sehingga memungkinkan mereka  memahami jalan Tuhan. Sebuah ide yang serupa diajukan oleh Thimas Starkey dalam bukunya Dialogue, yang mengusulkan sekolah gereja untuk semua anak berusia di bawah tujuh tahun. Dalam waktu yang singkat, Bangsa Inggris mengubah masyarakat mereka menjadi sebuah pulau sekolah-sekolah. Selama Abad Keenambelas, ratusan permohonan pembuatan sekolah gratis diajukan oleh desa-desa untuk pengajaran dasar bagi anak-anak lokal.

Pada masa itu ada tiga jenis sekolah dasar, yaitu: sekolah gratis yang mengajarkan matematika, komposisi bahasa Inggris, dan retorika; sekolah tata bahasa yang melatih kaum muda yang akan masuk universitas; dan sekolah hukum yang mengajarkan tata bahasa Inggris dan linguistik klasik. Keberadaan sekolah yang begitu banyak membuat Inggris dikenal sebagai masyarakat yang paling terpelajar. Kemudian hal ini juga diikuti oleh bangsa Perancis.

Pada Abad Ketujuhbelas, masa kanak-kanak merupakan gambaran dari tingkat pencapaian simbolis. Masa bayi berakhir ditandai dengan kemampuan berbicara. Kemudian, masa kanak-kanak dimulai dengan tugas untuk mempelajari cara membaca. Oleh karena itu kata anak sering dipakai untuk menggambarkan orang-orang dewasa yang tidak bisa membaca, atau orang-orang dewasa yang dinggap kekanak-kanakan secara intelektual.

Menurut Plumb, “proses dari sebuah pendidikan literasi harus berkembang bersama anak yang sedang berkembang; membaca harus dimulai sekitar umur empat atau lima tahun, dan kemudian menulis, lalu mata pelajaran yang makin rumit harus ditambahkan... Pendidikan (menjadi) terikat mati dengan kalender umur anak-anak.”

Pada masa itu, ikatan antara pendidikan dan usia belum berkembang. Usaha untuk membangun kelas-kelas atau tingkatan-tingkatan pelajar pada awalnya hanya berdasarkan kemampuan membaca para siswa, bukan usia.

Pengaturan kelas-kelas sekolah sebagai sebuah hirarki kemampuan membaca berakibat pada munculnya kesadaran akan sifat khusus dari masa kanak-kanak atau orang muda. Kemudian juga muncul ide bahwa di dalam masa kanak-kanak atau usia muda terdapat berbagai varias kategori. Munculnya ide-ide tentang kategori tersebut merupakan sebuah persepsi sosial tentang suatu kelompok. Dengan adanya kategori sosial dan intelektual pada masa kanak-kanak, membuat semakin jelasnya tahapan-tahapan masa kanak-kanak. Perubahan-perubahan tersebut pun mendorong adanya pembedaan dalam berpakaian. Pakaian anak-anak menjadi berbeda dengan pakaian orang dewasa. Pada akhir abad keenambelas kebiasaan akhirnya menuntut anak-anak harus memiliki kostum mereka sendiri.

Dari mulai adanya perbedaan dalam berpakaian diikuti dengan pandangan yang berbeda mengenai figur fisik anak-anak. Hal ini bisa terlihat dalam lukisan abad keenambelas, anak-anak tidak lagi digambarkan sebagai miniatur orang dewasa. Bahasa anak-anak pun mulai dibedakan dari bahasa percakapan orang dewasa. Pada tahun 1744 mulai muncul literatur tentang anak-anak Jack Sang Pembunuh Raksasa yang ditulis oleh John Newbery. Kemudian pada tahun 1780 mulai banyak pengarang profesional yang memproduksi karya sastra remaja.

Seiring  dengan pembentukan masa kanak-kanak, berlangsung juga pembentukan keluarga modern. Peristiwa penting yang membentuk keluarga modern adalah penemuan dan perluasan sekolah formal. Muncullah tuntutan sosial bahwa anak-anak harus dididik secara formal untuk jangka waktu yang lama. Hal ini mendorong adanya orientasi baru dari relasi orang tua dan anak-anaknya.

Harapan dan tanggung jawab orangtua menjadi lebih serius dan diperluas. Orang tua harus mampu menjadi penjaga, perawat, pelindung, pengasuh, penghukum, serta penentu selera dan perilaku baik. Einstein memberi sebuah tambahan bagi evolusi ini: “ Sebuah arus tanpa akhir dari literatur yang mengajarkan moralitas mulai merasuki ruang pribadi di rumah....’keluarga’ (menjadi) penyedia baru fungsi-fungsi pendidikan dan agama.”

Pada saat itu, buku-buku mengenai semua topik banyak tersedia. Para orang tua dipaksa mengemban peran sebagai seorang pendidik atau teolog. Para orang tua bertugas untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi orang dewasa yang takut pada Tuhan dan juga terpelajar. Keluarga harus bisa memastikan bahwa anak-anak mereka tidak hanya terdidik di sekolah, tetapi juga harus mendapat pendidikan tambahan di rumah. Menurut F.R.H. Du Boulay pada masa ini juga mulai muncul kelas menengah yang memiliki uang berlebih. Mereka banyak berinvestasi dalam bentuk properti. Mereka juga menjadikan anak-anak sebagai obyek konsumsi melalui pendidikan dan pakaian yang dikenakan anak-anak mereka.

Pemaparan  Du Boulay itu menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang baik memainkan peran penting dalam memperkuat kesadaran mengenai anak-anak dan juga membuat mereka menjadi lebih terlihat secara sosial. Pada masa ini anak laki-laki menjadi kelas utama, terutama anak laki-laki dari kelas menengah. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masa kanak-kanak dimulai sebagai ide dari kelas menengah, sebagian disebabkan karena kelas menengah lah yang mampu menyokong ide tersebut. Setelah satu abad lamanya barulah ide muncul di kelas-kelas sosial yang lebih rendah.

Elizabeth Einstein pernah menyatakan bahwa sejak abad keenambelas, langkah pertama menuju usia dewasa adalah penguasaan terhadap aksara. Penguasaan aksara yang sangat menentukan seseorang menjadi dewasa membuat  J.H.Plumb membuat satu kesimpulan bahwa harus dicermati hubungan antara sifat masa kanak-kanak dan bias-bias percetakan. Contohnya adalah bahwa seorang anak berubah menjadi usia dewasa ketika ia mampu menjadi pembaca yang baik; memiliki perasaan individualitas yang kuat; mampu berpikir secara logis dan runut; dan yang terpenting adalah kemampuan untuk melakukan kontrol diri.
Seiring dengan usaha menemukan masa kanak-kanak yang berbeda dari orang dewasa, ada beberapa tokoh yang justru menolak penemuan masa kanak-kanak ini.
Contohnya adalah Phillippe Aries. Menurutnya penemuan masa kanak-kanak cenderung membatasi energi yang dimiliki kaum muda. Dalam dunia bebas kaum muda mengekspresikan dirinya secara luas. Namun, ketika masa kanak-kanak yang dituntut dalam dunia belajar, keceriaan semacam itu harus dimodifikasi secara tajam. Penuh dengan aturan. Pada abad keenambelas ini kepala sekolah dan para orang tua menerapkan disiplin yang sangat ketat pada anak-anak. Kecenderungan alamiah anak-anak dipandang sebagai sebuah hambatan pembelajaran dan juga dianggap sebagai ekpresi dari suatu sifat jahat. Jadi, usia dewasa sangat ditentukan pada kemampuan kontrol diri seseorang. Kontrol diri ini menjadi salah satu tujuan esensial dari pendidikan.

Pada abad ini juga dikembangkan prinsip rasa malu sebagai bagian dari ciri orang dewasa. Erasmus banyak menulis tentang berbagai sikap yang menunjukkan rasa malu yang harus dimiliki oleh orang dewasa. Tahun 1516 Erasmus menulis buku Colloquies tentang tata krama bagaimana anak laki-laki harus menata kehidupan insting mereka. Tremasuk insting seksual yang harus dijaga agar tidak merusak diri kaum muda.

Menurut Norbert Elias sejalan dengan berkembangnya konsep mengenai masa kanak-kanak, masyarakat mulai mengumpulkan bahan-bahan rahasia yang kaya untuk dijauhkan dari kaum muda; rahasia-rahasia mengenai hubungan seksual, uang, kekerasan, penyakit, kematian, dan hubungan sosial. Termasuk juga ‘kata-kata’ yang tidak pantas diucapkan di hadapan anak-anak.

Ada sebuah ironi yang terjadi pada masa ini. Munculnya budaya buku berarti memutuskan ‘monopoli-monopoli’ pengetahuan. Buku membuka rahasia-rahasia teologis, politis, dan akademis ke khalayak ramai. Di sisi lain, dengan membatasi anak-anak pada pembelajaran buku telah menutup mereka pada dunia kehidupan sehari-hari yang sebelumnya akrab dalam kehidupan  mereka.

4. Perjalanan (Ide) Mengenai Masa Kanak-kanak
Ide mengenai masa kanak-kanak berkembang mengalami pasang surut, bergeser dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Namun demikian, ide masa kanak-kanak mulai berkembang pada abad ketujuhbelas. Ide ini menjadi lebih baik ketika era penemuan mesin cetak. Namun ide masa kanak-kanak ini pun mengalami pasang surut tergantung dari masing-masing bangsa memahami ide ini, tergantung juga pada peradaban yang berjalan di negara tersebut.

Ide masa kanak-kanak ini pun terus bergerak ke berbagai wilayah. Seperti yang disebutkan dalam buku Neil Postman bahwa pada abad ketujuhbelas ide masa kanak-kanak berkembang di Inggris kemudian mulai bergerak ke benua Eropa. Ada masa di mana Inggris memperlakukan anak dengan sangat buruk, yang tergambar pada tahun 1833 ketika pendidikan di Inggris berada dalam tingkatan paling rendah. Kemajuan masa kanak-kanak lebih berkembang di bagian lain benua Eropa. Hingga pada akhir abad kedelapanbelas, orang-orang Jerman dan Skotlandia  mampu membangun sistem pendidikan dasar yang terbesar di daratan Eropa.

Memasuki  abad pertengahan kesembilanbelas,  mulai ada kesamaan di wilayah Eropa dalam pemahamanan mengenai arti dari masa kanak-kanak. Hal ini tergambar dari kesamaan tingkatan pemahaman yang ada di Perancis dan Inggris. Gerakan seluruh Eropa menuju konsepsi yang manusiawi mengenai masa kanak-kanak tercapai, sampai pada makna tertinggi  akan tanggung jawab pemerintah pada kesejahteraan anak-anak.

Pada abad kedelapanbelas ide bahwa negara memiliki hak untuk bertindak sebagai pelindung anak-anak merupakan hal baru dan juga radikal. Meski begitu, secara perlahan otoritas total orang tua secara manusiawi dimodifikasi, sehingga semua kelas dipaksa bekerjasama dengan pemerintah dalam mengambil tanggung jawab mengasuh anak.

Lalu bagaimana perkembangan konsep masa kanak-kanak dari para intelektual? Kita bisa melihatnya pada abad keenambelas. Ada dua tokoh intelektual yang cukup diperhitungkan ketika berbicara mengenai ide masa kanak-kanak. Di Inggris kita mengenal John Locke yang telah menulis buku yang luar biasa, Some Thoughts Concerning Education yang terbit tahun 1693. 

Ide Locke yang terkenal yaitu bahwa pada saat kelahiran, pikiran adalah sebuah lembaran kosong, suatu tabula rasa. Sebuah tanggung jawab besar jatuh pada para orang tua dan kepala sekolah (dan kemudian pada pemerintah) akan apa yang tertulis di pikiran. Seorang anak yang acuh, tanpa rasa malu, liar, adalah mewakili kegagalan para orang dewasa, bukan si anak.

Di Perancis kita mengenal Rousseau. Menurut Rousseau bahwa anak-anak adalah penting bagi dirinya sendiri, tidak hanya sebagai alat mencapai tujuan. Rousseau juga berpendapat bahwa kehidupan intelektual dan emosional seorang anak sangat penting, bukan karena maksud kita untuk mengajari dan melatih anak-anak kita, tapi karena masa kanak-kanak merupakan tahapan kehidupan di mana seorang manusia paling dekat dengan ‘keadaan alami’.

Kedua ide mengenai masa kanak-kanak dari dua tokoh ini terus bergerak hingga memasuki abad kesembilanbelas dan abad keduapuluh. Begitu juga ide ini meluas hingga ke berbagai belahan dunia. Konsepsi Masa kanak-kanak Lockean biasa disebut juga Protestan, dan konsepsi Rousseau, atau Romantis.

Dalam pandangan Protestan, anak adalah pribadi yang belum terbentuk yang melalui literasi, pendidikan, akal, pengendalian diri, dan rasa malu menjadi orang dewasa yang beradab. Dalam Pandangan Romantis, masalahnya bukan anak-anak yang terbentuk tapi orang dewasa yang tidak sempurna. Anak-anak memiliki kapasitas tekad, pemahaman, rasa ingin tahu, dan spontanitas bawaan lahir yang dibunuh karena literasi, pendidikan, akal, kontrol diri, dan rasa malu.

Perbedaan antara dua pandangan ini bisa dilihat  paling jelas melalui metafora (perbandingan analogis) yang berlawanan dari kedua tokoh ini mengenai masa kanak-kanak. Locke menganggap bahwa pikiran sebagai lembaran kosong dengan tepat menggambarkan hubungan antara ide mengenai masa kanak-kanak dan percetakan. Metafora tabularasa (pandangan bahwa seorang manusia lahir dengan "kosong") memandang anak-anak sebagai buku yang belum ditulisi, yang halaman-halamannya harus diisi agar bisa menuju kedewasaan. Tidak ada yang “alami” atau biologis dalam proses ini. Ini merupakan sebuah proses perkembangan simbolis–berurutan, tersegmentasi, linguistik. Bagi Locke dan kebanyakan pemikir abad kedelapan belas, kebutahurufan dan masa kanak-kanak tak terpisahkan, dan masa dewasa didefinisikan sebagai kompetensi linguistik total.

Di sisi lain, Rousseau, menulis dalam bukunya Emile “tanaman ditingkatkan melalui perkebunan, dan manusia melalui pendidikan”. Di sini anak-anak adalah suatu tanaman liar, yang hampir tidak  mungkin bisa diperbaiki dengan pembelajaran melalui buku. Pertumbuhannya organik dan natural.

Bagi Rousseau, pendidikan pada dasarnya sebuah pengurangan; sedangkan bagi Locke, sebuah penambahan. Tapi, apa pun perbedaan antara kedua metafora ini, kedua-duanya memiliki kepedulian yang sama untuk masa depan. Locke menginginkan dengan pendidikan menghasilkan sebuah buku yang kaya, beragam dan berlimpah; Rousseau menginginkan pendidikan untuk menghasilkan bunga yang sehat. Pada abad ke sembilanbelas pandangan Protestan mendominasi wilayah Amerika. Meskipun demikian, tidak berarti pandangan Romantis benar-benar menghilang. Pada abad ini, ide yang terus berkembang mengenai masa kanak-kanak akan selalu berporos pada kedua pandangan tersebut.

Pada akhir abad kesembilanbelas muncullah dua karya yang kemudian menjadi wacana yang digunakan dalam diskusi mengenai masa kanak-kanak pada abad ini. Pada tahun 1899 terbitlah dua buah maha karya , Interpretation of Dream dari Sigmund Freud dan The School and Society dari John Dewey. Dari kedua karya mereka telah memunculkan begitu banyak penelitian. Buah karya mereka mewakili sebuah sintesa dan merangkum sebuah perjalanan masa kanak-kanak dari abad keenambelas ke abad dua puluh.

Freud berpendapat bahwa ada sebuah struktur yang tidak bisa disangkal, begitu juga isi yang khusus pada jiwa anak-anak (misalnya bahwa anak-anak memiliki seksualitas dan dipenuhi kompleks-kompleks dorongan-dorongan psikis instingtif/ biologis). Freud juga mengklaim bahwa usaha-usaha mereka untuk mencapai masa kanak-kanak yang dewasa, anak-anak harus mengatasi, menumbuhkan, dan mengasah gairah-gairah instingtif mereka. 

Freud membuktikan bahwa pandangan Locke salah dan membenarkan pandangan Rousseau: Jiwa bukan sebuah tabula rasa; pada tataran tertentu tuntutan alamiah harus diperhatikan, jika tidak maka  akan terjadi disfungsi kepribadian permanen. Tetapi pada saat yang sama, Freud menolak pandangan Rousseau dan membenarkan Locke: Interaksi-interaksi paling awal antara anak-anak dan orang tua sangat penting dalam menentukan masa dewasanya seorang anak; melalui pikiran, gairah-gairah jiwa bisa dikontrol; peradaban hampir tidak mungkin tanpa penekanan dan sublimasi.

Dengan cara yang mirip, meski dari kerangka pandangan filsafat, Dewey berargumen bahwa jiwa harus disinggung, dalam arti seperti apa anak-anak itu, bukan akan jadi apa anak itu. Baik di rumah maupun di sekolah orang-orang dewasa harus bertanya. Apa yang dibutuhkan anak sekarang? Persoalan-persoalan apa yang harus dia atasi sekarang? Hanya dengan cara itu menurut Dewey, anak-anak akan menjadi seorang partisipan yang konstruktif dalam kehidupan komunitas sosial.

Freud dan Dewey mengkristalisasi paradigma dasar mengenai masa kanak-kanak yang sebelumnya sudah mulai muncul pada era mesin cetak. Anak-anak sebagai anak sekolah yang kedirian dan individualitasnya harus dipelihara dan diasuh, yang kapasitas mengontrol diri, menunda gratifikasi, dan pikiran logis harus dibawah kontrol orang-orang dewasa. Tapi pada saat yang sama, anak-anak harus dipahami bahwa mereka memiliki aturan-aturan perkembangan sendiri, karisma, rasa ingin tahu, dan keceriaan yang tidak boleh dikekang.

Dari semua riset psikologis yang dilakukan pada abad ini, tidak seorangpun yang menyangkal bahwa anak-anak harus mencapai masa dewasa. Tak seorangpun menyangkal bahwa tanggung jawab bagi pertumbuhan anak-anak terletak ditangan orang-orang dewasa. Bahkan, tak seorangpun yang menyangkal  adanya  kesan bahwa orang-orang dewasa mengalami masa terbaik dan paling beradab adalah  pada saat mereka mengasuh anak-anak. Oleh karena itu, harus diingat bahwa  paradigma modern mengenai masa kanak-kanak adalah juga paradigma modern mengenai masa dewasa.


.
To be continued: ......
II. Menghilangnya Masa Kanak-Kanak.


Photo Credits: 
Jessie Willcox Smith circa 1909, 
nazariograziano.com, 
earlychildhoodireland.ie, 
content.time.com, 
wikimedia.org, 
wallcoo.net.


You Might Also Like

1 komentar: