anak Indoensia,
Pemberitaan dengan alasan sebagai pelajaran buat anak-anak lain juga rasanya tidak patut. Mengapa? Karena perilaku anak pada dasarnya adalah hasil dari proses peniruan. Jadi, jangan jejali anak dengan wacana keburukan yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Pembunuhan oleh Anak di Sekolah, Bagaimana Menyikapinya?
Hari pertama diberitakan di media online, dan hari kedua pun muncul bahkan dijadikan satu sesi tersendiri oleh sebuah media TV swasta. Tema bahasannya adalah kasus yang menimpa seorang siswa kelas 2 SD yang memukul teman sekelasnya sendiri hingga terjatuh dan akhirnya meninggal di rumah sakit.
Rasa-rasanya sudah cukuplah berita itu bercerita banyak hal, sehingga tidak perlu diulang-ulang diulas dalam pemberitaan televisi.
Adakah manfaat dari pemberitaan tersebut? Kebaikan apa yang bisa didapat dari menceritakan masalah yang terjadi antara anak dengan anak?
Peristiwa tersebut telah menyebabkan satu anak jadi korban meninggal dunia. Kejadian ini tentunya membuat sedih yang mendalam dari pihak keluarga. Dengan adanya pemberitaan di berbagai media membuat mereka 'dipaksa' untuk terus menerus mengingat kejadian yang sangat tidak diharapkan menimpa anak mereka. Cara pemberitaan yang tidak tepat hanya akan mendorong orang tua korban terus menerus menyimpan amarah pada pelaku.
Bagi anak yang jadi pelaku, pemberitaan hanya membuat ia semakin tertekan, semakin disudutkan oleh lingkungan rumah, sekolah, bahkan seluruh masyarakat yang menonton berita tersebut.
Yang jelas hanya ada keuntungan bagi media, yaitu penontonnya jadi semakin banyak karena kasusnya yang memang sedang hangat, spesial, dan merupakan sebuah kasus yang langka.
Pemberitaan dengan alasan sebagai pelajaran buat anak-anak lain juga rasanya tidak patut. Mengapa? Karena perilaku anak pada dasarnya adalah hasil dari proses peniruan. Jadi, jangan jejali anak dengan wacana keburukan yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benaknya.
Jika pemberitaan itu diwacanakan sebagai pelajaran bagi orang dewasa, tidak perlulah dengan memaparkan kasus anak yang terbilang berat ini. Banyak sekali yang bisa diberitakan media agar bisa diambil pelajaran oleh orang dewasa dalam mendidik anak-anak mereka tanpa harus mengorbankan hak dan masa depan anak yang terlibat dalam masalah berat tersebut.
Seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah setempat, melalui jajaran aparat pemerintahan maupun lembaga-lembaga Negara yang relevan dengan penanganan permasalahan dan perlindungan anak-anak segera bicara: Melarang membuat pemberitaan lebih lanjut tentang kasus anak tersebut. Atas dasar alasan apapun pemberitaan itu, pemerintah harusnya melarang.
Berikan perlindungan maksimal dan yang terbaik bagi anak, jauhkan anak dari stigma sebagai anak nakal, berikan haknya untuk dilindungi dari pemberitaan media, dari labeling yang buruk atas dirinya, dari catatan buruk yang tertoreh di media massa yang berdampak pada masa depannya kelak.
Berikan perlindungan maksimal dan yang terbaik bagi anak, jauhkan anak dari stigma sebagai anak nakal, berikan haknya untuk dilindungi dari pemberitaan media, dari labeling yang buruk atas dirinya, dari catatan buruk yang tertoreh di media massa yang berdampak pada masa depannya kelak.
Jika kita mencermati kasus-kasus anak yang terjadi di Negara-negara maju, Pernah kah kita mendengar kasus anak yang diekspos dan dijadikan topik berbagai media? TIDAK PERNAH. Kalaupun ada yang pernah kita dengar, hampir tidak pernah ada penjelasan secara rinci, karena sifatnya sangat rahasia. Mereka sudah pham benar, bagaimana harus melindungi anak-anak. Anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.
Dalam pemberitaan di sebuah media TV swasta, pembahasan mengenai kasus tersebut diulas panjang lebar. Memang, satu sisi ada pelajaran yang hendak disampaikan. Psikolog dihadirkan untuk menjelaskan bagaimana cara mendidik anak yang baik, bagaimana menghindari agar tidak terjadi kekerasan, bagaimana mengantisipasi kondisi yang terjadi.
Namun, menurut saya tetap tidak tepat mengangkat kasus pembunuhan anak tersebut sebagai tema utamanya. Pembahasan kasus tersebut pastinya tidak cukup hanya sampai disitu, akan terjadi penggalian berbagai masalah yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan tersebut. Hingga kemudian dari dialog tersebut munculah apa yang dianggap akar masalah antar anak tersebut. Kejadian berawal dari adanya saling ejek yang memang sudah berlangsung lama. Adanya sebuah dendam yang menahun, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak perkelahian antar mereka. Jika disimak dari dialog tersebut, mengerucutlah pada tindakan menyalahkan salah satu pihak yang dianggap lalai.
Apa yang terjadi pada kasus tersebut, tidak bisa dilihat dari satu sisi. Tidak bisa dianggap sebagai kesalahan salah satu pihak. Peristiwa ini merupakan rangkaian dari sebuah cerita kehidupan. Banyak pihak yang terlibat. Yang pasti, yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini adalah orang-orang dewasa yang ada di sekeliling kehidupan anak-anak ini. Bukan hanya satu pihak, tapi semua pihak punya kontribusi sehingga anak berperilaku di luar batas. Ini cerminan bagi semua pihak untuk melakukan intrsopeksi diri dan memperbaiki kesalahan yang berdampak fatal pada perilaku buruk anak.
Kita semua tahu bahwa anak adalah cermin dari kehidupan yang ia saksikan dalam kesehariannya. Anak adalah peniru yang ulung, Anak mudah mencontoh dari apa yang ia lihat dan ia saksikan dalam dunia nyata atau pun dari media TV atau media online. Jadi, perbuatan anak tidak bisa hanya dilihat sebagai permasalahan anak semata. Namun, kita harus bisa melihat dan memetakan kondisi di sekitar anak. Lingkungan anak itu seperti apa, bagaimana orangtua, bagaimana pengasuhan, bagaimana lingkungan rumah dan masyarakat sekitar, bagaimana lingkungan sekolahnya, dll.
Dari segi hukum, tidak ada artinya melakukan penggalian masalah anak ini. Temuan-temuan yang didapat dari hasil diskusi yang diekspos media tidak akan merubah hukuman anak. Menggali permasalahan yang terjadi antara kedua anak ke media hanya akan menyudutkan anak. Terlebih bagi kehidupan si pelaku. Padahal dari segi hukuman, semakin banyak informasi ataupun fakta-fakta baru yang didapat tentang si anak sebagai pelaku, tidak akan membuat hukuman baginya menjadi lebih berat. So what's the point?
Untuk kasus pidana yang menimpa anak sudah diatur dalam UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) no. 11 tahun 2012. UU SPPA no 11 tahun 2012 menyebutkan bahwa yang bisa dikenai proses hukum hanya anak yang sudah memasuki usia 12 tahun. Langkah hukum yang dimungkinkan ditempuh bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan belum berusia 12 tahun harus diupayakan diversi dalam setiap tingkatan proses hukum. Langkah yang ditempuh bagi anak tersebut adalah mengembalikan kepada kedua orangtuanya, jika ia masih memiliki orang tua/ keluarga yang mampu merawat dan mendidiknya.
Jika mencermati hal ini, perlu diambil langkah-langkah solusi yang terbaik bagi semua pihak. Solusi yang diambil harus melibatkan lembaga pemerintahan terkait. Pemerintah harus turun tangan terhadap warga negaranya.
Proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada akhirnya mengedepankan proses diversi, dengan mengembalikan anak yang menjadi pelaku kepada keluarganya.
Ketika anak dikembalikan kepada keluarganya seharusnya pihak pemerintah terkait turut bertanggung jawab dengan memberikan pendampingan kepada kedua orangtua pelaku. Orangtua pelaku harus dibantu mengenai bagaimana cara membimbing anaknya dengan baik. Jika anak dikembalikan kepada orangtua sementara orangtua tidak merubah sedikitpun cara mendidik anaknya, maka akan sulit dicapai perbaikan bagi anak tersebut. Orang tua harus diajarkan bagaimana cara yang tepat dalam mendidik anak. Kehadiran pendamping yang ahli di bidangnya sangat dibutuhkan bagi anak dan kedua orangtua, selagi anak masih memiliki orangtua maka langkah terbaik adalah memberikan bimbingan dan pendampingan kepada orangtua pelaku bagaimana cara terbaik mendidik anak.
Disinilah perlunya layanan dari lembaga pemerintah dengan cara apapun itu agar bisa menghadirkan para relawan/ pekerja sosial yang memiliki keahlian dibidangnya untuk memberikan bimbingan/arahan dalam mendidik anak. Sekaligus tentunya juga mengajarkan bagaimana cara mengatasi trauma-trauma yang dialami oleh anak yang menjadi pelaku. Trauma yang dialami si pelaku sesungguhnya sudah terjadi sejak ia menyadari bahwa perbuatanya telah menyebabkan kematian temannya. Trauma bertambah berat ketika ia menjadi sorotan massa melalui pemberitaan di banyak media yang memandang dirinya buruk.
Bagi keluarga yang anaknya menjadi korban, sebaiknya juga mendapatkan hak yang sama, yaitu hak untuk diberi bantuan mengatasi kesedihan, bagaimana mengatasi kepergian anak yang meninggal dengan cara tragis. Keluarga korban perlu mendapat pendampingan dalam menerima kenyataan terhadap permasalahan yang menimpa mereka. Bantu mereka dengan berbagai terapi ataupun konseling untuk bisa menerima keadaan, agar mereka tabah, dan pada akhirnya bisa berbesar hati memaafkan anak yang menjadi pelaku.
Hal selanjutnya yang harus dicermati adalah sistem yang ada di sekolah. Sistem yang ada harus segera dirubah. Sekolah harus bisa memastikan bahwa semua anak-anak yang berada di sekolah tersebut dalam keadaan aman dan nyaman. Anak-anak terhindar dari tindakan kekerasan siapapun, baik yang dilakukan oleh teman, guru, atau pihak lain yang terlibat dalam aktivitas di sekolah. Anak juga harus mendapat jaminan bahwa mereka terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik, kekerasan verbal, maupun bentuk kekerasan lainnya.
Ketika berbicara pendidikan di sekolah maka para guru, kepala sekolah dan seluruh pihak penyelenggara sekolah harus memahami benar arti dari mendidik, sehingga semuanya punya konsentrasi yang sama untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak selama berada di sekolah. Para guru yang merupakan pengganti orang tua di rumah, harus mampu menjadi pendidik yang mengayomi, yang menentramkan anak didik di kelas, yang memotivasi anak didik untuk belajar dalam semangat kebersamaan dengan teman-temannya di sekolah.
0 komentar: