anak Indoensia,

Pahami Anak, Cegah Terjadinya Kekerasan

06.11 Ena Nurjanah 0 Comments



Dalam liputan sebuah berita, diceritakan tentang seorang anak yang pingsan akibat pukulan temannya di sekolah.

Di tempat lain, ada pengaduan tentang  seorang  anak yang  takut untuk datang ke sekolah dan selalu mencari-cari alasan untuk tidak sekolah. Sampai akhirnya masalahnya terungkap, hal tersebut   disebabkan karena guru kelasnya yang kerap melakukan kekerasan fisik setiap kali muridnya melakukan kesalahan.

Di sebuah sekolah yang dilaksanakan full day, seorang anak laki-laki kelas 1 SD  dengan tiba-tiba menceritakan kepada orangtuanya kalau ia selalu disuruh oleh teman sekelasnya untuk melakukan hal yang tidak wajar dilakukan anak seusianya; yaitu membuka celananya.
   
Ada lagi siswa SMP yang berubah drastis menjadi tertutup, sensitif, juga gampang  marah. Setelah cukup lama dicari akar masalahnya, akhirnya ia mengakui bahwa ia pernah dipaksa oleh gurunya untuk membuka jilbab saat pengambilan foto ijazah. Ia kecewa karena pihak sekolah tidak memenuhi permintaannya  agar diizinkan tetap memakai jilbab. Ia  merasa  sangat malu karena sekarang teman-temannya tahu kalau  rambutnya semi botak akibat penggunaan perias rambut secara berlebihan untuk keperluannya tampil beberapa tahun lalu.

* * *

Hal di atas barulah sebagian kecil kejadian-kejadian di sekolah. Peristiwa 'kekerasan' pada anak sekarang ini justru mulai banyak terjadi di sekolah. Itu adalah apa yang sudah terberitakan melalui media, namun tidak sedikit juga yang melaporkan kasus ke lembaga-lembaga perlindungan anak.  

Kekerasan yang terjadi di sekolah bisa dilakukan oleh guru, teman, maupun staff sekolah. Korbannya sudah pasti adalah siswa sekolah. Kekerasnnya pun bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa Anak adalah sosok yang sangat rentan menjadi korban dari tindak kekerasan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini anak pun cukup berpotensi untuk menjadi pelaku dalam tindak kekerasan di sekolah. 

Untuk anak yang menjadi pelaku dari tindak kekerasan, pada hakekatnya dia adalah korban. Korban dari para orang dewasa yang menjadi penanggungjawab akan dirinya, juga  korban dari lingkungan sekitarnya. 

Kemampuan yang dominan dari seorang anak adalah menerima stimulus inderawinya dengan sangat baik. Anak melihat, mendengar, merekamnya kemudian ia menirunya. 

“Luar BIasa ! “ Semua kejadian mampu dicontoh persis bahkan dengan tambahan variasi imajinasinya. Anak belum punya filter yang kuat untuk menilai baik buruk input yang masuk melalui panca inderanya.  Kemampuan menilai  baik buruk adalah proses hasil belajar yang diberikan oleh orang dewasa, dalam hal ini  orang tua, guru atau orang dewasa lain yang  bertanggung jawab terhadap dirinya.

Patut dipahami bahwa anak adalah manusia yang masih memiliki banyak keterbatasan. Dari segi penalaran, kemampuan daya nalar anak masih belum matang, baik penalaran yang bersifat kognitif maupun yang bersifat penalaran moral.  Kemampuan penalarannya  masih terus berproses dan masih harus terus dibimbing oleh orang dewasa agar ia semakin kompeten dan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. 

Kematangan  emosi anak juga masih rendah. Ia butuh pengarahan, latihan, dan bimbingan agar ia semakin mampu melakukan pengendalian terhadap emosinya.

Sekolah adalah lingkungan kedua setelah lingkungan rumah.  Di sekolah anak akan belajar banyak hal. Sepatutnya sekolah bukan semata-mata tempat untuk menuntut ilmu tetapi juga tempat bagi anak untuk belajar banyak hal. 

Belajar bersosialisasi, belajar mengendalikan berbagai emosinya agar berkembang menjadi sosok yang semakin matang secara emosi, belajar  menerapkan nilai-nilai moral yang didapat dari rumahnya, belajar ketrampilan hidup (life skill), dan masih banyak lagi pelajaran yang didapat dari lingkungan keduanya itu.

Dalam pembahasan kali ini, saya akan coba memfokuskan kepada masalah perkembangan emosi pada anak-anak.

Saat anak berada di sekolah, ia menyerap banyak hal dalam kesehariannya, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Yang memuaskan ataupun yang mengecewakan. Yang membanggakan ataupun yang menghancurkan harga dirinya. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya ketika anak pulang dari sekolah ada orang tua yang selalu menyambut kepulangannya. Kalau orangtua bekerja, tetaplah minta bantuan kepada siapapun orang dewasa yang dipercayakan oleh orang tua mereka (bisa pembantu, nenek, dll) dan mintalah mereka menyambut kepulangan anak mereka dari sekolah dan menanyakan keadaannya pada hari itu. 

Luangkan waktu untuk menyapanya,  menanyakan bagaimana kegiatan di sekolah hari itu. Jika orangtua bekerja maka sebaiknya tetap menyapa anak mengenai keadaan di sekolahnya saat orangtua pulang kerja. 

Sebaiknya  para orangtua tidak hanya menanyakan pelajaran dan pekerjaan rumah anak, tapi juga menanyakan perasaan anak hari itu di sekolah. Pendekatan kepada anak bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti dengan bertanya, ngobrol, bercanda, dll.  

Suasana harmonis yang tercipta antara anak dan orangtua akan menghilangkan hambatan komunikasi antara anak dengan orangtuanya.

Kadang kala, anak yang lelah dari sekolah tidak menjawab dengan sepenuh hatinya. Kita tidak perlu memaksa anak untuk menjawab dan bercerita panjang lebar, kadang-kadang anak yang malas bicara hanya mengatakan “hmm...” atau “yaah.. gitu deh..” . 

Kita tidak perlu berkecil hati atau kecewa. Dengan adanya pertanyaan tersebut, sudah menunjukkan pada anak bahwa kita selalu hadir untuk mereka. Anak akan merasa bahwa kejadian-kejadian yang di alaminya selama di sekolah bisa ia bagi kepada orang-orang di rumah terutama kepada kedua orangtuanya, bukan kepada orang lain. 

Kesiapan orangtua untuk menyediakan waktu berbicara kepada anak dan adanya keterbukaan sikap dari orangtua akan mendorong anak menjadi terbuka juga dengan orang tua mereka. Anak-anak tidak akan takut bercerita apapun mengenai keadaan mereka saat mereka tidak berada di dekat orang tua mereka.  

Keberanian untuk mengungkapkan apapun yang mereka  rasakan selama di sekolah akan sangat bermanfaat dalam mengungkapkan banyak kejadian yang mereka alami, baik itu kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal ini  akan memudahkan para orang tua untuk memahami keadaan dan perkembangan anak-anaknya. 

Berangkat dari kasus-kasus yang dialami oleh anak, biasanya kejadian tersebut bukanlah suatu peristiwa yang tejadi secara kebetulan pada saat itu. Selalu ada rangkaian kejadian sebelumnya yang melatar belakangi sebuah peristiwa besar.

* * *

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada anak bisa jadi merupakan bahan evaluasi bagi para orangtua di rumah (walaupun tentunya juga bahan evaluasi bagi semua pihak termasuk pihak sekolah). Sudah sejauh mana mereka memahami anak-anak mereka?  Sudahkah mereka mengajak anak mereka berbicara tentang perasaan-perasaan anak mereka selama berada di sekolah, bagaimana hubungan  anak  dengan teman-temannya? Sudahkah mengajarkan anak-anak bagaimana mengatasi situasi yang membuat ia marah, kecewa, takut dan lain sebagainya.

Yang perlu menjadi bahan evaluasi bagi para orangtua adalah bahwa orangtua sering melakukan kesalahan dalam memahami dan mengajarkan cara mengatur emosi yang ada pada anak-anak mereka. Orang tua sering  melakukan emotion dismissing (penghilangan emosi). Bentuk penghilangan emosi diantaranya adalah dengan mengabaikan emosi yang dirasakan oleh anak.

Sebagai contoh, saat anak berwajah muram, orangtua cenderung membiarkannya, tidak ditanya mengapa ia berwajah muram? Ada masalah apa? Apa yang dirasakan saat itu? Emosi apa yang ada? Sedihkah Marahkah? Kecewakah? Contoh lainnya adalah menolak emosi yang muncul tersebut. Misal, setiap emosi negatif yang muncul dari anak selalu disikapi dengan penolakan dari orangtua. Melihat anaknya muram malah dimarahi, dibilang cengeng, manja, dll. Selain itu juga bisa berupa mengubah emosi yang dirasakan anak. Jika anak muram atau sedih, orangtua bukannya berusaha mencari tahu masalahnya namun justru segera menghilangkan emosi tersebut dengan mengalihkannya dari masalahnya dengan mengajaknya bercanda, bermain, dll  sebelum dicari tahu apa yang dirasakan anak, serta permasalahan apa yang dihadapinya.

Seharusnya orangtua bisa melakukan Pendekatan Emotion Coaching (pelatihan emosi) untuk membantu anak-anak dalam mengatur emosinya. Lihatlah emosi negatif yang dialami anak seperti marah, sedih, kecewa sebagai kesempatan untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola dan mengendalikan emosi negatif tersebut. 

Membantu anak memberi label atau menamai emosi yang dirasakannya,  kemudian melatih anak bagaimana mengatasinya dengan cara yang efektif.

Mudah-mudahan para orangtua semakin peduli dengan perkembangan emosi anak-anak mereka, sehingga anak akan merasakan kehadiran orangtua mereka dalam setiap masalah yang hadapi. Pada akhirnya, akan banyak solusi yang bisa diselesaikan anak dengan bantuan dan dukungan orangtuanya.


(Ena Nurjanah, 2015)

You Might Also Like

0 komentar: