Parenting Tips

Moralitas Anak, Tanggung Jawab Orangtua

11.44 Ena Nurjanah 0 Comments




Untuk mereka yang mengenyam pendidikan di era tahun 80an tentu masih ingat dengan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Mata pelajaran ini menjadi mata pelajaran wajib bahkan menjadi mata pelajaran yang  sangat berpengaruh. Jika nilai PMP nya merah (nilainya kurang Dari 6), bisa dipastikan bahwa ia tidak akan naik kelas ataupun lulus dari sekolah.

Pelajaran PMP bisa dibilang pelajaran gampang-gampang Susah. Isinya berkaitan dengan bagaimana penerapan nilai-nilai moral yang berazaskan pancasila. Mudah karena berkenaan dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh setiap orang, namun ketika tertulis dalam bentuk soal-soal ujian menjadi lumayan sulit. Menjawabnya butuh penalaran/ pemikiran yang mendalam, apalagi dengan jawaban yang hampir mirip semua (dulu soal-soal ujian seringnya dalam bentuk multiple choice).

Berbicara tentang penalaran sebenarnya bukan perkara mudah. Penalaran berkaitan dengan kemampuan kognitif seseorang. Jika mengacu pada teori perkembangan kognitif, ada perbedaan yg cukup signifikan antara anak usia SD dengan anak usia di atasnya.

Berpikir logis, hubungan sebab akibat, abstrak, dan membuat interpretasi adalah penalaran pada tahap operasional formal (formal operational), yang umumnya mulai ada pada anak dengan usia di atas 12 tahun. Tahapan sebelumnya disebut operasional konkrit (concrete operational). Yaitu cara berpikir anak yang masih didominasi oleh sesuatu yang bersifat inderawi. Sesuatu yang kasat mata. Sesuatu yang mudah dipahami dengan melihat dan yang dirasakannya. Pada tahapan ini juga anak cenderung berpikir secara sederhana, kaku, tidak luwes, serta berpikir hitam putih. Meskipun demikian, untuk anak-anak tertentu ada juga yang mampu berpikir dengan cara operasional formal.

Menanamkan nilai baik dan buruk pada tahapan perkembangan operasional kongkrit akan sangat "berbekas" pada anak. Apa yang ditanamkan padanya akan cenderung bertahan lebih lama, selama dia meyakini akan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, tanamkanlah nilai-nilai moral yang universal yang bisa membentuk karakter anak. Anak menjadi sosok yang berkarakter baik. Jangan tanamkan nilai-nilai moral yang  ekstrem atau kaku, karena sikap kaku  akan menyulitkan anak berinteraksi dengan kehidupan sosialnya yang sangat plural, baik budaya, agama, suku, ras dll.

Anak memang masih berada dalam tahapan operasional kongkrit, namun bukan berarti membiarkan anak dengan cara berpikir semaunya. Dengan memahami perkembangan kognitif anak, diharapkan orangtua lebih siap memahami anaknya. Bersikap terbuka dan mau memaafkan saat anak banyak melakukan kesalahan. Baik Kesalahan dalam penyimpulan, menganalisa, dan yang paling nyata adalah ketika anak banyak melakukan kesalahan dalam perbuatannya.  
Dengan memahami keterbatasan cara berpikir anak seharusnya orangtua semakin  terdorong untuk mengajarkan anak-anak mereka cara berpikir yang tepat dan benar. Saat anak berada dalam tahapan berpikir kongkrit, tetap bisa dilatihkan untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya. Dan memang seharusnya ada bimbingan dan arahan dari orangtua tentang bagaimana cara berpikir, menganalisa, menyimpulkan dan bertindak yang  baik dan  tepat.


* * *

Moralitas adalah satu nilai tersendiri yang harus diajarkan oleh para orangtua. 

Mengajarkan nilai-nilai moral bukanlah perkara sederhana. Ketika berbicara tentang moral berarti berbicara tentang sesuatu yang sifatnya abstrak. Dengan demikian, memahami moral berarti mendorong anak untuk mulai berpikir secara abstrak, cara berpikir orang dewasa, yaitu tahapan operasional formal.

Penerapan nilai-nilai moral terhadap anak menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya. Anak harus diberi kesempatan dalam melakukan berbagai peran dalam kehidupannya. Anak juga harus diajarkan bagaimana mengatasi konflik kognitif yang dialami anak dalam kehidupan sehari-harinya.

Selain Orangtua, teman sebaya juga memiliki peran yang sangat penting bagi kematangan moral anak. Dalam kesehariannya anak melakukan banyak hal dengan teman-temannya. Melalui interaksi dengan temannya, anak  dapat menguji pendapatnya dan sekaligus juga anak bisa 'mengecek' pemahaman yang dimilikinya.

Melalui interaksi dalam kehidupan sosial bersama teman-teman sebayanya, anak terus berusaha mencari dan memahami 'apa itu moral'. Disinilah peran besar orangtua dalam memandu & memberikan pelajaran pada anak mereka mengenai moralitas dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini beberapa aspek yang patut menjadi perhatian para orang tua dalam menerapkan nilai-nilai moral kepada anak (John W. Santrock dalam Child Development).


1. Kualitas Hubungan antara Orangtua dan Anak

Orangtua punya kewajiban untuk menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak, menyampaikan kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat, dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten.

Seorang anak pun punya kewajiban untuk merespon apa yang telah diajarkan oleh orangtuanya dan berusaha untuk  membangun hubungan positif dan sikap hormat pada kedua orangtuanya. Hubungan mutual antara orangtua dan anak merupakan hal mendasar yang penting  bagi pertumbuhan moral positif anak.

Dalam menjaga kualitas hubungan mutual tersebut, kelekatan (attachment) yang memberi rasa aman menjadi faktor penting bagi perkembangan moral anak. Kelekatan yang  memberi rasa aman akan membuat anak lebih mudah menerima penyampaian nilai-nilai moral dan menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.


2. Disiplin 

Disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan tata tertib. Para orangtua selalu berusaha agar anak-anaknya memiliki disiplin. Tujuannya agar anak-anaknya mampu berkomitmen dengan nilai-nilai moral yang sudah mereka ajarkan.

Banyak cara mendisiplinkan anak  yang dilakukan oleh para orangtua. Semua itu  sebagai upaya  agar anak mereka bisa menerima dan melaksanakan aturan/nilai yang sudah mereka berikan. 

Ada beberapa bentuk model disiplin yang biasa dilakukan oleh orangtua, dan terdapat 3 model yang umum dilakukan oleh orangtua:

a) Dengan ‘Menarik kasih sayang’.
Orangtua menahan atensi atau kasih sayang terhadap anak. Penerapan disiplin dengan cara menarik kasih sayang orangtua pada saat anak berperilaku yang tidak sesuai atau anak tidak menuruti apa yang sudah diajarkan oleh orangtua.
Contoh: 
“Kalau kamu tidak nurut, mama tidak sayang kamu lagi”, “Papa tidak suka kalo kamu rewel”

b) Dengan ‘Peneguhan kekuasaan’
Orang tua mencoba untuk mengambil alih kontrol dari anak atau mengambil alih sumber daya yang dimiliki anak. Orangtua menggunakan cara 'mengancaman' atau mencabut hak istimewa si anak.
Contoh:
"Kalo kamu nakalin adikmu lagi, mama akan kunci kamu di kamar”, “kalo kamu pelit, papa tidak akan memberi kue kesukaanmu ”, "Jika kamu selalu berkelahi di sekolah, papa akan mengurangi uang jajan kamu!", dsb.

c) Induksi.
Orangtua menggunakan penalaran dan penjelasan tentang konsekuensi perilaku anak terhadap orang lain.
Contoh: 
“Jangan memukul dong, dia kan cuma ingin membantu”, “ Mengapa mesti berteriak kepadanya? Dia kan tidak berniat untuk mendorongmu", "Jangan marahin temanmu dulu, coba tanya dulu mengapa dia berperilaku seperti itu, barangkali saja ada maksud baik dari tindakannya itu", dsb.

Dari ketiga cara mendisiplinkan tersebut, a) dan b) memang paling 'mengggugah' anak, namun hal ini dilakukan tidak dengan reasoning (penalaran), melainkan karena rasa takut yang mendominasi anak. Hal ini justru membuat  anak cenderung tidak fokus pada inti masalah. Anak menurut kepada orangtua lebih karena memikirkan konsekuensi (hukuman) yang akan mereka terima dari orangtua mereka. Cara induksi memang bersifat moderat, yang tidak terlalu kuat daya gugahnya pada anak. Namun cara ini memungkinkan anak menerima alasan yang diberikan oleh orangtua mereka. Dengan induksi secara bertahap anak akan mudah menginternalisasi nilai-nilai moral yang diberikan orangtua mereka. 


3. Strategi Proaktif

Orangtua berusaha menanamkan nilai-nilai moral yang baik dan sebisa mungkin bersikap proaktif. Strategi proaktif berati melakukan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perilaku buruk yang dilakukan oleh anaknya. Pada anak yang usianya lebih muda proaktif dilakukan dengan mengalihkan atensinya atau memindahkan mereka kepada aktivitas lain yang positif. Untuk anak yang lebih tua, proaktif berarti berbicara dengan anak mengenai nilai-nilai yang dianggap penting oleh orangtua.

Contoh:
Ketika orangtua tahu betapa dampak buruk dari penyalahgunaan obat-obatan, maka orangtuanya mengajak bicara anaknya dengan berdialog dan menjelaskan tentang bahaya narkoba dan pengaruh buruknya. Sehingga anak sudah punya benteng ketika menghadapi situasi tersebut saat bersama dengan teman sebayanya.


4. Dialog

Dialog adalah senjata pamungkas untuk semua  permasalahan yang dihadapi oleh anak. Dialog menghilangkan hambatan komunikasi antara orangtua dan anak. Dialog juga dapat membangun hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak. Segala hal yang disampaikan oleh orangtua akan didengarkkan oleh anak, karena dalam dialog orangtua pun siap menjadi pendengar yang baik. Orangtua siap menerima argumen ataupun penolakan yang disampaikan oleh anak tanpa rasa takut.
Dialog atau pembicaraan antara orangtua dan anak bisa saja sesuatu yang direncanakan atau spontan. Bisa berfokus pada kejadian masa lalu (baik perilaku yang salah/negatif atau yang positif) atau tentang kejadian masa yang akan datang (contohnya pergi ke suatu tempat yang menimbulkan godaan dan memerlukan perilaku moral yang positif) atau bicara mengenai kejadian masa kini (contohnya berbicara mengenai tantrum  pada seorang anak  yang mereka saksikan saat itu).

Dialog adalah komunikasi dua arah. Kedua pihak punya posisi sama untuk saling menghormati pendapat masing-masing untuk mencari pengertian bersama. Tentu saja, dialog ini dengan  tetap mengedepankan sopan santun adat ketimuran antara anak dan orangtua.



# Rekomendasi bagi Orangtua #


Secara umum, anak yang dikatakan bermoral cenderung memiliki orangtua yang:

  • Hangat dan mendukung, ketimbang menghukum
  • Menggunakan disiplin induktif
  • Memberi kesempatan pada anak untuk memahami perasaan orang lain
  • Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan juga dalam proses pemikiran mengenai keputusan moral
  • Menjadi model bagi anak dalam penalaran dan perilaku moral, dan memberi kesempatan pada anak untuk melakukannya sendiri
  • Menyediakan informasi yang diharapkan dimiliki oleh anak sekaligus juga menjelaskan alasannya
  • Membangun moralitas internal dan bukan moralitas eksternal semata.


Penulis,
(Ena Nurjanah, M.Psi)

You Might Also Like

0 komentar: