Parenting Tips

Anak Juga Punya Harga Diri (Kiat Menghadapi Perkembangan Anak)

09.07 Ena Nurjanah 0 Comments


Kita mungkin pernah melihat orangtua marah-marah melihat anaknya yang tidak mau bicara saat ditanya oleh orang yang baru dikenalnya. 
“Kok ga mau jawab sih?” 
“bikin malu papah aja, segitu aja ga bisa jawab?” ungkap kemarahan seorang ayah atas ketidak-pede-an anaknya untuk menjawab pertanyaan teman ayahnya.

Cerita lain adalah saat anak yang batal tampil di panggung karena malu, hingga orangtuanya merasa jengkel dengan kelakuan anaknya. Atau, kita pernah juga melihat orangtua yang mencela anak yang salah mengancingkan baju: 
“Ya ampuun kamu ini payah banget sih, pake baju gitu aja engga bisa!”

Kita juga sering melihat orangtua yang tidak sabaran melihat anaknya makan berantakan. Sang ibu segera mengambil peralatan makan, menyeka mulut  anaknya, membersihkan lantai yang berantakan  kemudian menyuapi anaknya sambil memarahinya:
“Kalau  ga bisa makan sendiri jangan sok-sok an, jadi tumpah-tumpah makanannya, kamu bikin mubazir saja!”

Atau… Orangtua yang mencoba memberi kesempatan anaknya belajar makan sendiri, namun ibu tidak henti-hentinya mengelap mulut anaknya setiap kali sang anak selesai memasukan makanan ke mulutnya.

Orangtua seringkali tidak paham  kondisi yang tepat kapan harus bersabar dan kapan harus segera bertindak membantu.

Padahal sikap-sikap  tersebut memiliki pengaruh bagi perkembangan harga diri anak. Dengan dunia yang semakin maju dan berkembang pesat, kita pasti ingin memiliki anak-anak yang hebat bisa menguasai dunia, atau minimal anak-anak kita mampu eksis menjadi bagian dari angggota masyarakat dunia. Maka, langkah awalnya adalah bagaimana agar anak mampu menguasai dirinya sendiri, memahami dirinya sendiri, dan menghargai dirinya sendiri. 

Sudah saatnya orangtua belajar melakukan yang terbaik bagi perkembangan buah hatinya. Karena faktor terbesar keberhasilan anak ada ditangan para orangtua. Seorang anak juga sama seperti manusia pada umumnya. Sama seperti orang dewasa, punya harga diri. Meskipun tentu saja (ada yang tetap harus diingat), jangan pernah jadikan anak seperti miniatur orang dewasa. Anak bukan orang dewasa.

Harga diri anak dibangun melalui interaksi dengan orang di sekelilingnya. Interaksi pertama dimulai dengan orang-orang terdekatnya seperti ayah dan ibu, kemudian keluarga besar, guru, teman sebaya dan masyarakat sekitar. Mereka semua turut berkontribusi terhadap proses pembentukan identitas diri dan harga diri anak.

Seorang  psikolog, Erik Erikson menjelaskan proses pembentukan identitas diri melalui teori perkembangan psikososial. Menurut beliau ada 8 tahap pencapaian identitas diri. Dimulai sejak  bayi baru dilahirkan hingga usia senja. Pembahasan kali ini  khusus terkait dengan tahapan yang terjadi saat usia anak, yaitu tahap 1 sampai 4.

Setiap tahapan yang berhasil dilewati anak dengan baik akan terus terbawa dan mewarnai tahapan selanjutnya. Demikian juga seandainya tidak berhasil melalui tahapan sebelumnya maka akan berpengaruh dan memperberat usaha anak untuk meraih identitas diri maupun keberhargaan diri di tahap selanjutnya. Perlu dipahami bahwa anak tidak menuntut orangtua yang sempurna. Melainkan orang tua yang bisa memberikan keseimbangan dalam pengasuhan. 


Yuk kita simak, Empat Tahap Pembentukan Harga Diri Anak: 

Tahap Pertama  “Trust vs Mistrust” ( 0 – 18 bulan)
Pada tahap ini bayi membentuk perasaan ‘trust vs mistrust’ (percaya vs curiga) terhadap orang dan lingkungannya.

Bayi yang baru lahir pasti butuh orang lain untuk merawatnya. Interaksi pertamanya adalah dengan orang-orang terdekatnya terutama ibu, ayah, atau pengasuhnya.

Kehidupan bayi masih sangat tergantung orang lain. Baik itu pemenuhan kebutuhan makan, minum, sentuhan, dan kehangatan.  Tidak hanya kebutuhan makan, bayi juga  butuh kontak fisik dan perhatian yang konsisten.

Jika ayah dan ibu dapat memberikan kehangatan, menunjukkan sikap konsisten dan kesinambungan dalam perawatan dan pengasuhan maka bayi akan mengembangkan perasaan bahwa dunianya adalah tempat yang aman, orang-orang disekitarnya benar-benar ada dan mencintainya. 

Melalui respon orangtua bayi juga belajar mengenali dirinya dan keinginan biologis yang menyertainya seperti rasa lapar, haus, dan lain sebagainya.

Jika orangtua tidak mengharapkan kehadiran bayi, berlaku kasar pada bayi, lebih mementingkan kepentingan mereka dari pada bayinya, atau pengasuh yang bergonta-ganti dan berbeda-beda karakter maupun perlakuan terhadap bayi, maka bayi akan menjadi gelisah dan mudah curiga dengan orang-orang di sekelilingnya. Bayi merasa bahwa dunia ini tidak konsisten dan tidak dapat diduga. Hal ini biasanya nampak pada perilaku Bayi yang rewel dan sulit ditenangkan.

Namun, terlalu  protektif juga tidak baik karena akan membuat bayi menjadi maladaptive (tidak punya penyesuaian yang baik dengan lingkungan sekitarnya) atau tidak mampu mengembangkan kemampuan sensorynya dengan tepat. Contohnya: Belum saatnya anak lapar dan haus sudah dijejali makanan dan diberi susu karena ibunya takut anaknya lapar kemudian sakit. 

Penyesuaian diri yang baik dan tumbuhnya kepercayaan pada orang lain  akan nampak pada saat bayi bisa meneriman ketidakhadiran ibunya tanpa kecemasan yang berlebihan. Bayi tersebut tidak marah saat menunggu kebutuhannya tercukupi. Bayi yakin  dengan orangtuanya, jika mereka tidak muncul segera, mereka pasti akan tiba pada waktunya.

Tahap kedua “Autonomy vs Shame and Doubt” (18 bulan – 3 / 4 tahun)
Anak berusaha menjadi diri yang autonomy (mandiri) atau justru menjadi pribadi yang shame and doubt (pemalu dan peragu).

Pada tahap kedua dan selanjutnya,  anak mulai memiliki lingkup sosial yang lebih luas. Anak berusaha memiliki perasaan otonomi atau kontrol terhadap fungsi tubuhnya, ketrampilan motorik kasar dan halusnya. 

Anak mulai belajar berjalan, bicara, memakai baju, dan kontrol buang air. Anak juga ingin melakukan berbagai hal sendiri tanpa bantuan orangtuanya. Orangtua  harus bersabar memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Orangtua yang tidak sabar hanya akan membuat anak frustasi.

Kadang kala orangtua membuat anak malu, baik tanpa sengaja (dengan sikap tidak sabarnya) atau disengaja (dengan memarahi atau bersikap kasar atas kesalahan yang diperbuat anak).

Selain bersabar, orangtua juga harus mulai menerapkan aturan perilaku yang tepat pada anak. Orangtua juga sebaiknya tidak menerapkan kontrol yang berlebihan dan mudah menyalahkan anak. Hal tersebut membuat anak merasa malu atas kesalahannya dan merasa tidak bisa mandiri. Kontrol yang terlalu kuat juga membuat anak kehilangan minat untuk mencoba.

Saat anak mampu mengontrol diri, termasuk fungsi tubuh dan kemampuan motoriknya, anak punya keinginan kuat untuk mengeksplorasi sekelilingnya dengan suka cita. Anak mencoba mengembangkan perasaan mandiri dan bebas bergerak. Sebaiknya para orangtua menyediakan tempat yang aman bagi anak agar anak dapat menjelajah tanpa ragu dan tidak membahayakan dirinya. Pindahkan porselen atau hiasan mahal di tempat yang jauh dari jangkauan anak sehingga anak bebas bergerak dan orangtua tidak terus menerus mengeluarkan kata-kata larangan ataupun omelan.

Satu hal yang penting diingat adalah jangan pernah memaksa anak melakukan eksplorasi dan berharap segera bisa mandiri. Pemaksaan akan membuat anak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan dan akhirnya meyakini bahwa dirinya memang tidak mampu.

Jangan pula membatasi, menganggap anak belum mampu melakukan tugasnya, tidak diberi kesempatan untuk mencoba, dan mencela jika usahanya  kurang bagus. Kondisi tersebut membuat anak menjadi tergantung pada orang lain, kurang percaya diri, jadi pemalu dan peragu, serta akhirnya membuat anak enggan mencoba hal-hal baru.

Jika orangtua  tidak sabar dalam mengajarkan anaknya, seperti menunggu anaknya mengikat tali sepatunya sendiri, maka anak tidak pernah belajar bagaimana caranya mengikat tali sepatu. Dan mereka akan berasumsi bahwa betapa sulitnya belajar mengikat tali sepatu.

Adanya rasa malu dan ragu (dalam kadar yang sedikit) memang tidak bisa terelakkan namun di satu sisi juga bermanfaat. 

Jika anak tidak punya rasa malu dan ragu maka anak cenderung menjadi impulsif, menjadi anak yang tidak tahu malu, dan ketika besar cenderung kurang punya pertimbangan saat bertindak.

Anak yang terlalu pemalu dan peragu juga tidak baik untuk dirinya, karena akan mendorong perilaku kompulsif. Mereka merasa bahwa dirinya sangat ditentukan oleh usahanya. Semua pekerjaan harus sempurna. Sangat patuh pada peraturan. Kesalahan  sekecil apapun harus dihindarkan dan dengan cara apapun.

Sikap orangtua haruslah seimbang, orangtua memberi kesempatan pada anak untuk mencoba sendiri. Kemudian tidak mengkrtitik atas kegagalan yang terjadi. Orangtua juga membantu anak untuk memiliki kontrol diri tanpa harus kehilangan harga diri.

Tahap Ketiga  (3/4 tahun -  5/6 tahun)
Konflik antara anak dan orangtua biasanya dimulai pada tahap ini. Anak selalu ingin menentukan pilihannya sendiri sehingga para orangtua sering menganggapnya sebagai sikap agresif.

Pada tahap ini anak mulai berinteraksi dengan teman di sekolah (TK). Fase utamanya adalah bermain, bukan terpaku pada pendidikan formal. Jadi, beri kesempatan anak mengeksplorasi ketrampilan interpersonalnya melalui berbagai kegiatan dengan teman-temannya.

Pada saat bermain anak mengasah banyak kemampuan. Dan yang utama dalam tahap ini adalah kemampuan berinisiatif. Anak belajar berinteraksi dengan teman sebayanya dan belajar  mengajak temannya bermain atau melakukan berbagai kegiatan lainnya.

Inisiatif adalah usaha yang dilakukan anak untuk mewujudkan sesuatu yang dia pikirkan. Anak pada tahapan ini juga sangat aktif, seperti lokomotif yang selalu berada di depan. Mereka banyak bicara dan banyak bertanya. Mereka juga  senang bereksperimen dan belajar melalui  permainan imajinatifnya.

Mereka haus pengetahuan. Inisiatifnya mendorong anak jadi banyak bertanya. Para orangtua seharusnya bisa bersabar menjawab berbagai pertanyaan anak untuk memenuhi rasa ingin tahu anak. Jika orangtua  menyikapi pertanyaan anak dengan kemarahan, merasa terganggu, atau tindakan yang mengancam lainnya  maka anak akan merasa bersalah, menganggap bahwa dirinya adalah pengganggu.

Kemandirian yang dimiliki anak perlu mendapat arahan orangtua sehingga anak memiliki keseimbangan dalam kemampuan kontrol diri, karena seringkali  perbuatan  anak seusia ini penuh dengan resiko.  Seperti ingin menyeberang jalan sendiri atau mencoba bermain di tempat yang jauh dari jangkauan pengawasan orangtuanya.

Pemahaman sebab akibat anak pada tahap ini juga masih sangat primitif. Mereka mudah percaya perkataan orangtuanya: 
“Kalau kamu nakal, mama bawa ke dokter untuk disuntik!”
“Hati-hati, kamu bisa jatuh kalau tidak dengar ayah!”

Sebaiknya orangtua berhati-hati dalam menyampaikan informasi yang tidak masuk akal, karena anak sedang belajar memahami apapun yang ia dengar.

Dukungan orang tua  sangat penting dalam setiap usaha anak.  Jika orangtua tidak mendukung usahanya, mengatakan mereka anak bodoh, menyusahkan, maka anak akan mengembangkan perasaan bersalah atas keinginan dan  kebutuhannya.

Terlalu banyak perasaan bersalah dapat membuat anak menjadi lamban dalam berinteraksi dengan orang lain dan akan menghambat kreativitas mereka.

Terlalu banyak inisiatif dan tidak punya rasa bersalah  juga merupakan kondisi maladaptive, anak cenderung menjadi kasar. Mereka hanya peduli pada rencana mereka sendiri, tidak peduli pendapat siapapun dan dalam situasi apapun. Baginya, yang penting tujuan tercapai dan perasaan bersalah dianggap sebagai sebuah kelemahan. 

Jangan sampai pula anak tidak punya inisiatif sama sekali. Anak yang tidak punya inisiatif berarti anak itu mengalami inhibition (hambatan). Anak yang terhambat tidak akan mau mencoba karena tidak punya keberanian. Lebih baik tidak berbuat apa-apa supaya tidak ada masalah dan  tidak ada perasaan bersalah.

Kondisi seimbang tercapai saat anak memiliki inisiatif yang cukup dan punya sedikit rasa bersalah. Sedikit rasa bersalah penting agar anak bisa berlatih mengontrol diri dan memiliki kesadaran diri.

Tahap Keempat “Industry vs Inferiority” (6 – 12 tahun)
Pada tahapan ini, selain orangtua, peran guru, teman sebaya, dan masyarakat sekitarnya cukup penting bagi perkembangan identitas diri anak. 

Anak butuh diterima oleh teman sebayanya dan diakui kemampuannya oleh orang lain. Anak juga mulai mengembangkan perasaan bangga akan prestasi yang dimilikinya.

Pada tahapan ini anak sangat menyadari siapa dirinya. Mereka berusaha keras menjadi anak baik dan melakukan segala sesuatu dengan benar. 

Mereka mulai terbiasa berbagi dan bekerjasama dengan teman. Anak mulai memahami konsep ruang dan waktu, lebih logis dan praktis. Mereka juga mulai mengerti hubungan sebab akibat.

Kemampuan anak yang sudah berhasil melampaui tahap sebelumnya nampak terlihat melalui permainan yang dilakukan bersama teman sebaya. Pada tahap ketiga, anak kurang memahami dan kurang peduli pada aturan permainan, bahkan aturan tersebut sering mereka ubah-ubah sendiri selama permainan berlangsung. Mereka jarang menyelesaikan permainannya, kecuali berakhir dengan keributan dan saling melempar mainan kearah lawannya. 

Bagi anak yang berada dalam tahap keempat, mereka sangat menjunjung tinggi aturan. Mereka akan kecewa jika permainan tidak diakhiri dengan baik.

Pada tahap ini anak lebih berani mencoba dan berusaha menyelesaikan berbagai ketrampilan yang kompleks. Anak mulai belajar membaca, menulis, dan mendengar. 

Anak yang mendapat dukungan dari orangtua dan guru akan mengembangkan perasaan kompeten. Namun, jika kurang mendapat dukungan dari orangtua, guru dan teman, anak menjadi ragu akan kemampuannya.

Saat ini, anak tidak lagi terfokus pada imajinasinya. Mereka harus bisa mengendalikan imajinasinya dan harus mulai mengedepankan pendidikan serta belajar berbagai ketrampilan sosial.

Anak yang jarang mendapat kesuksesan karena terkendala sikap keras dari guru atau penolakan dari teman-temannya, akan mengembangkan sikap rendah diri dan tidak kompeten dalam usahanya.

Orang tua atau Guru yang bersikap pilih kasih pada anak atau murid akan sangat merugikan anak-anak yang terabaikan. Anak-anak tidak hanya menjadi kurang perhatian namun sikap pengabaian juga akan menurunkan harga diri mereka dihadapan saudara atau teman-temannya yang lain.

Perasaan rendah diri juga bisa muncul dari sikap diskriminasi, baik diskriminasi terhadap ras, gender, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya. Diskriminasi membuat anak meyakini bahwa kesuksesan lebih dikarenakan siapa kamu bukan karena seberapa besar perjuanganmu. Jika hal ini terjadi anakpun berpikir: “buat apa saya harus mencoba?”

Masa kanak-kanak adalah masa melakukan eksplorasi berbagai hal, jangan biarkan anak terpaku untuk produktif dalam satu hal saja karena hal tersebut mengabaikan hak mereka sebagai seorang anak. Anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan minatnya yang lebih luas. Mereka menjadi anak-anak tanpa kehidupan. Contohnya seperti: Artis cilik, atlit cilik, musisi cilik. Mereka memang anak-anak ajaib dari berbagai jenis keahlian. Kita semua sangat kagum dengan prestasi mereka, dengan jiwa industri yang mereka miliki, namun jika kita melihat lebih dekat, mereka berada dalam dunia yang kosong.

Kondisi ekstrem lain yaitu Inferiority kompleks, yaitu orang yang merasa jika sekali gagal maka selamanya tidak akan sukses. Ketika tidak bisa matematika, lebih baik bolos pelajaran matematika. Atau anak yang merasa dipermalukan saat olahraga, maka mereka tidak pernah mau lagi ikut kegiatan olahraga. Yang lebih parah adalah ketika anak tidak punya ketrampilan sosial (padahal ini ketrampilan yang paling penting dalam kehidupannya) membuatnya tidak pernah mau pergi ke ruang publik.

Yang terbaik dari semua itu adalah kondisi seimbang. Kemampuan industri yang luar biasa harus diimbangi dengan sedikit perasaan inferior untuk menjaga agar anak tetap memiliki sikap rendah hati (humble).

Akhir kata… Anak hebat bisa lahir dari manapun, selama ia bisa meraih potensi-potensi terbaiknya dirinya melalui sentuhan terbaik orang-orang disekelilingnya.

You Might Also Like

0 komentar: