Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH),

Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.2)

09.49 Ena Nurjanah 0 Comments

Post ini merupakan kelanjutan dari post sebelumnya: Penjara Bukan Tempat Terbaik bagi Anak (bag.1)

Dalam waktu yang teramat singkat, kasus yang terjadi antara dua anak SD ini sudah menjadi pemberitaan Nasional. Hal ini mendorong pimpinan daerah setempat untuk datang menemui pelakunya juga yang masih anak-anak. Dan ternyata, kasus ini juga menarik banyak pihak termasuk tokoh anak yang dikenal secara nasional turut hadir untuk menemui A (pelaku).

Akhirnya terjadilah pertemuan yang tanpa direncanakan sebelumnya di kantor Polsek setempat antara saya, pimpinan daerah, tokoh anak, dan kapolres setempat. Kami semua duduk bersama untuk merundingkan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Semua pihak nampaknya punya visi yang sama agar mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Pihak kepolisian sangat mengharapkan dukungan dari para pemerhati anak dalam penyelesaian kasus anak ini.

* * *

Seminggu setelah kejadian

Hari ini saya akan berkunjung ke rumah korban dan pelaku. Rumah keduanya berada di satu kelurahan yang sama. Jadi, saya mengagendakan untuk mengunjungi kedua rumah tersebut.

Kunjungan pertama saya adalah ke rumah korban. Meskipun agak sulit dicari, namun setelah bertanya kesana sini ke beberapa orang yang saya temui akhirnya saya pun bisa menemui rumah korban. Tetangga korban rupanya cukup mengetahui peristiwa yang terjadi bahkan saya sempat bertanya dengan seorang bapak yang ternyata beliau yang turut mendampingi keluarga korban ke rumah sakit. Sehingga ketika saya bertanya nama S mereka langsung nyambung dengan peristiwa yang sedang hangat di media.

Tiba di rumah korban, saya hanya berhasil menemui kakak tiri korban. Kedua orangtua korban ternyata masih berada  di rumah sakit untuk menjaga S. saya memperkenalkan diri kepada kaka S dan memberikan kartu nama. Tidak banyak informasi yang bisa kami dapat  dari kakak S, ia tidak banyak tahu tentang permasalahan yang terjadi. Saya pun hanya sebentar di rumah S, sebelum pamit saya berjanji akan datang lagi untuk bertemu dengan S dan orangtuanya.

Kunjungan berikutnya adalah ke rumah A. Juga bukan perkara mudah mencari rumah A, karena rumah A ternyata berada ditempat yang lebih tersembunyi di sebuah gang buntu di rumah petakan yang berjejejer di sebuah gang sempit.

Mencari rumah keluarga pelaku tidak lebih mudah dari mencari rumah korban, hingga saya pun harus berputar dua kali untuk mencari gang rumah yang di maksud. Ternyata Gang yang saya tuju lebih sempit dari gang sebelumnya dan  hanya muat untuk kendaraan roda dua.

Gang tersebut lebih mirip sebuah lorong, dan ujung nya pun buntu, seperti nama yang diberikan untuk gang itu: Gang buntu.

Lewat satu meter dari gang tersebut, saya langsung menemui rumah-rumah bedeng berderet panjang, yang tiap rumah lebarnya tidak lebih dari tiga meter dan panjang ke belakangnya kira-kira hanya enam hingga tujuh meter.

Saya kebingungan, rumahnya yang mana? Karena alamat yang saya terima tidak mencantumkan nomor rumah. Setelah kami tanya kesana-kemari, akhirnya saya pun ditunjukkan pada sebuah rumah bedeng yang terletak di ujung lorong. Rumah yang sangat sederhana. Dengan ruang tamu, satu kamar tidur, dan sedikit ruang untuk dapur dan kamar mandi.

Rupanya A tinggal dengan keluarga kakanya disebuah kontrakan kecil. Saya disambut oleh seorang perempuan tua yang kurus. Dapat terlihat dari urat wajahnya bahwa wanita ini telah menanggung beban hidup yang berat sekali sejak lama. Dengan air muka yang menyiratkan sedikit rasa curiga, ibu itu mempersilahkan kami memasuki ruang tamunya.

Ruang yang sangat sederhana. Hanya diisi dengan kursi-kursi tua dan bufet. Ada televisi kecil, dan perabotan diletakkan seadanya tanpa diatur dengan rapih. Kami pun segera memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari lembaga perlindungan anak kota Depok. Ternyata ibu ini adalah ibu dari pelaku yang baru saja datang dari pulau seberang. Rumah ini adalah rumah kontrakan kakak pelaku yang selama ini berprofesi sebagai satuan pengamanan di suatu kantor di Jakarta.

Pada saat itu juga ternyata ada kaka A yang kebetulan ada di rumah. Saya pun terlibat pembicaraan dengan H kakak dari pelaku dan ibu A. Saya menjelaskan maksud kedatangan saya yaitu untuk membantu A yang akan mendampingi A sekaligus juga menawarkan penasehat hukum dari lembaga saya. Namun ternyata dari  Ibu A  kami tahu bahwa sudah ada beberapa pengacara yang menawarkan diri untuk menjadi penasehat hukum bagi A. Hanya ibu A belum berani memutuskan penasehat hukum yang akan membantu mereka. Ibu A akan berkonsultasi dulu dengan pihak kepolisian. Mereka percaya bahwa pihak kepolisian bisa menjadi tempat bertanya dan berkonsultasi bagi mereka

Setelah saya tahu bahwa sudah banyak penasehat hukum yang menawarkan diri kepada keluarga A, saya pun menjelaskan bahwa keluarga A bebas untuk memutuskan siapa yang akan menjadi penasehat hukum A.  Kami datang menemui keluarga A karena  selaku lembaga perlindungan anak kota setempat kami punya kewajiban untuk membantu A selaku anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam penyelesaian kasus hukumnya. Seandainya keluarga memutuskan penasehat hukum dari luar lembaga saya,  maka saya meminta izin agar bisa ikut memantau jalannya proses hukum bagi A. Agar hak-hak A sebagai seorang anak tetap terlindungi.

* * *

You Might Also Like

0 komentar: