Tampilkan postingan dengan label UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002. Tampilkan semua postingan

Tak Selamanya Kerja Keras Berbuah Manis


Tak selamanya pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual berjalan sesuai dengan yang harapan kita. Banyak halangan dan rintangan yang seringkali menghambat langkah, yang kadang kala menggugat ketulusan kerja kita.
                                 
Kali ini, saya ingin berbagi kisah pendampingan anak korban kekerasan seksual yang menurut saya telah ‘gagal’ saya lakukan.

Tidak enak memang mendengarnya, apalagi merasakannya. Perasaan tercampur-baur antara marah, kesal, kecewa, sedih, kasihan, dan perasaan-perasaan lain yang tidak mengenakkan hati. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Hingga akhirnya pada saat itu saya pun berpikir, ‘saya merasa gagal dan sangat tidak produktif dalam menjalankan tugas saya.’ 

Galau melanda, saya suka menumpahkannya dengan bahasa yang saya samarkan dalam tweet-tweet saya, namun saya tetap menjaga rahasia setiap aktor dan pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Dalam melakukan tugas, biasanya saya mendapatkan informasi awal mengenai kasus-kasus kekerasan yang ada melalui berita di berbagai media informasi. Setelah mendapatkan gambaran mengenai kasus tersebut, saya pun segera berusaha mencari tahu di mana alamat lengkap dari korban.

Berhasil mendapatkan alamat korban, saya pun mencari tahu lebih detail lagi mengenai alamat tersebut dari teman-teman saya di TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan), karena mereka sangat menguasai wilayah masing-masing di tiap kecamatan.

Alamat lengkap korban beserta setiap informasi yang dibutuhkan telah ada di tangan, saya pun segera hunting, memburu alamat rumah korban untuk melaksanakan misi saya yaitu mendampingi korban kekerasan tersebut.
Saya sadar, mereka sedang menghadapi tahap-tahap dalam hidup yang begitu krusial. Oleh karena itu saya ingin membantu mereka sebisa saya, sesuai dengan kapabilitas saya. Minimal support harus mereka dapatkan, agar mereka pun tetap dapat menemukan harapan akan jalan keluar permasalahan.
* * *
Pada suatu waktu.

Kali ini saya mendatangi rumah seorang anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual yang mana pelakunya adalah lebih dari satu orang. Mencengangkan memang, terlebih lagi ketika fakta mengatakan bahwa rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang masih muda. Saat itu beritanya cukup menghebohkan wilayah setempat bahkan hingga ke skala nasional.

Singkat cerita, saya pun datang ke rumah korban setelah beberapa hari kejadian. 

Ketika saya tiba di rumah korban, ternyata korban tidak tinggal dengan orang tuanya melainkan dengan kakek neneknya yang keduanya sudah berumur di atas 75 tahun.

Saya disambut dengan sangat baik oleh kakek dan nenek korban. Mereka senang menerima kehadiran saya, yang paling tidak telah mewakili lembaga milik pemerintah setempat. Ketika saya katakan bahwa saya datang dari lembaga perlindungan anak, kakek dan nenek korban kembali menunjukkan rasa senang mereka dan sangat berharap agar cucu mereka bisa didampingi dan  dibantu pemulihan psikologisnya. 

Sebut saja nama korbannya adalah Bunga. Bunga masih duduk di kelas 1 sebuah SMP Negeri (bisa dibayangkan bahwa Bunga bukan anak yang bodoh, karena bisa masuk ke sekolah  negeri yang persaingan masuknya pun sangat ketat).

Kakek dan nenek Bunga menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menceritakan tentang masa kecil Bunga, dan mereka perlihatkan foto-foto Bunga pada saya. Mereka ceritakan bagaimana mereka berdua merawat Bunga, dan bagaimana sulitnya mendidik ‘anak zaman sekarang’.

Kemudian saya pun meminta untuk berkenalan dengan orangtua korban, dan yang muncul kemudian adalah ayah korban. 

Kakek dan nenek Bunga begitu welcome terhadap saya, namun berbeda dengan sikap yang dimunculkan oleh ayah Bunga. Sikap sang ayah cenderung defensif. Ketika saya berusaha menanyakan tentang anaknya, ia lebih banyak menghindar dan tidak mau terbuka. Bahkan ketika saya ingin bertemu Bunga pun ayahnya tidak mengizinkannya. Ia bilang Bunga sedang diungsikan disuatu tempat, agar tidak ada wartawan yang datang meliput anaknya. Mengenai hal ini, memang benar sekali langkah yang sudah diambil ayah Bunga, kalau ini saya sangat setuju. 

* * *

Sebenarnya saya ingin sekali bertemu dengan Bunga, karena rasa keprihatinan yang saya rasakan untuknya atas kejadian yang baru saja dialaminya. Bunga mengalami pemerkosaan oleh lebih dari 6 anak (rata-rata masih duduk di bangku SMP, meskipun ada juga anak yang telah putus sekolah). Pasti kondisi psikologisnya pun akan sangat terguncang, paling tidak ia butuh seseorang yang bisa mengerti dia. 

Apa yang saya utarakan sangat didukung oleh kakek dan neneknya. Mereka berdua sangat ingin saya bisa mendampingi cucunya dan membantu bunga dalam pendampingan psikologisnya.

Keprihatinan saya kembali memuncak manakala mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah bercerai. Ibunya sudah menikah lagi dan berada jauh di provinsi lain dari Bunga, sedangkan ayahnya sudah menikah lagi namun tinggal di kota yang berbeda dengan Bunga. Kadang-kadang di akhir pekan Bunga menginap di tempat tingal ayahnya.

Sejak kecil Bunga diasuh oleh kakek dan neneknya, dan keduanya sangat sayang dengan Bunga. Namun, tentu saja sangat bisa dimaklumi kalau kedua orang kakek dan nenek Bunga tidak bisa maksimal dalam memberikan pengawasan terhadap Bunga. Kerentaan mereka saja sudah menjadi alasan tersendiri. Menurut saya mereka adalah dua orangtua yang justru harusnya tidak lagi dibebani dengan merawat anak. Mereka sendiri sudah mengalami banyak keterbatasan dalam merawat diri mereka sendiri .

* * *

Ketika saya tidak diizinkan untuk bertemu dengan Bunga, saya pun segera mencari solusi lain. Saya mulai berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar para orang dewasa di sekitar Bunga bisa secara efektif membantu, karena saya tahu supporting system dari orang-orang terdekat akan sangat membantu pemulihan kondisi Bunga.

Saya pun menjelaskan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua korban kekerasan seksual. 

Saya juga mengingatkan hal-hal yang sebaiknya menjadi perhatian agar jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Bunga. 

Sebelum saya pamit pulang, saya kembali menawarkan bantuan saya untuk bisa mendampingi Bunga. Ayahnya sempat meminta saya untuk datang ke tempat di mana Bunga dititipkan sekarang, yang dia sebut 'berada di luar kota'. Saya pun menyanggupinya, karena saya tahu persoalan yang dihadapi oleh Bunga adalah sangat berat untuk anak berusia 13 tahun. Saya berkomitmen untuk mendampingi, membantu, dan menolongnya.

Saya menitipkan nomor telpon yang bisa dihubungi seandainya ayah Bunga menghendaki saya untuk menemui anaknya. Saya pun menyimpan nomor kontak keluarga Bunga.

Saya tidak bisa berbuat banyak untuk melanjutkan proses pendampingan terhadap Bunga kecuali hanya  dengan menunggu dan menunggu.

Hingga lewat beberapa hari, hampir masuk satu pekan, belum juga ada kabar dari keluarga Bunga. Saya pun berinisiatif untuk menelpon rumah kakek Bunga.

Yang menerima telpon kakek Bunga langsung. Beliau sempat ungkapkan bahwa sebenarnya beliau ingin sekali saya bisa mendampingi cucunya. Namun, ia dan istrinya tidak bisa berbuat banyak ketika ayah Bunga sudah memutuskan sikapnya. Ia pun sama seperti saya, hanya bisa menunggu.

Waktu pun terus berjalan.. tidak ada telepon dari ayah Bunga.. 

Saya merasa sedih dengan sikap ayah Bunga. Namun, saya pun menyadari bahwa saya hanya seorang relawan anak yang  tidak punya hak untuk memaksa ayah Bunga. Saya tidak bisa memaksanya untuk bisa kooperatif dalam mengatasi permasalahan anaknya. Mungkin ia belum menangkap bentuk kepedulian yang saya berikan kepada anak dan keluarganya...

Kalau sudah seperti ini saya hanya bisa bersedih dalam diam, ditambah kebingungan yang melanda. Saya pun kerap kali mempertanyakan, "di manakah letak Undang-Undang Perlindungan Anak bisa saya pakai?” 

Akhirnya, dari kisah pendampingan yang 'gagal' ini.. saya hanya bisa berdo’a..
Semoga kehidupan Bunga menjadi lebih baik...

* * *

photo credits:
pinterest.com (watercolor picture by Jessica Durrant)
smh.com.au

Revisi UU Perlindungan Anak, Mungkinkah?


Lanjutan dari: Mandulnya UU Perlindungan Anak
(UU Perlindungan Anak no.23 tahun 2002)


UU Perlindungan Anak: Benarkah Melindungi Anak?

Saya ingin kembali melihat bagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak no.23 tahun 2002 layaknya sekedar hiasan di atas kertas. Apa yang barusan saya katakan adalah berdasarkan apa yang saya sendiri alami ketika terjun di lapangan maupun ketika melihat rentetan kenyataan secara keseluruhan yang ada di Negeri kita ini.

Sempat ramai sebuah kasus di sebuah sekolah bertaraf internasional, berawal dari keberanian seorang ibu untuk melaporkan perkara, yang kemudian beranjak dan membongkar hal-hal memprihatinkan lain yang terjadi di sekolah tersebut. Namun muaranya sama, yaitu masalah kekerasan seksual.

Dari peristiwa tersebut kemudian datanglah gerakan penghujatan terhadap pelaku secara berbondong-bondong, meminta hukuman bagi pelaku yang seberat-beratnya. Namun tidak pernah ada kata sepakat terkait dengan institusi sekolah yang terlibat tersebut. Bahkan di antara sesama aktivis anak saja, bisa terjadi silang pendapat. Ada yang menyalahkan sekolah tersebut, dan ada pula yang membela sekolah tersebut.

Kejadian seperti ini sebenarnya banyak terjadi di sekolah-sekolah lain, terbukti belakangan mulai terungkap kasus terkait kekerasan seksual terhadap anak di sekolah. Di daerah tempat tinggal  penulis sendiri juga pernah terjadi pencabulan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Guru tersebut memang langsung di tangkap polisi karena menghindari amuk dari para orangtua murid. Namun selanjutnya, beritanya pun tertutupi tanpa bisa diketahui.


Kekerasan seksual pada anak di sekolah ternyata bisa dilakukan oleh siapapun, mulai dari OB, guru, maupun pengelola sekolah. Hal ini  sangat mengerikan.  Sehingga  banyak para orangtua  yang menjadi khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka. Mereka bertanya-tanya ‘Kemana lagi harus menitipkan anak untuk menuntut ilmu?’

UU Perlindungan Anak pasal 54 berbunyi “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan  oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Seharusnya setiap  institusi sekolah beserta guru tahu dengan pasti akan kewajiban mereka ini, agar para orangtua murid  yakin dengan keputusannya menitipkan anaknya di tempat yang tepat. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak. Jadi, sekolah harus  menjadi tempat yang nyaman bagi anak dalam menuntut ilmu.

Untuk sanksi bagi pelaku  kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan sekolah, terdapat dalam dalam bab XII tentang ketentuan pidana pasal 77-90. Semua pihak yang ada di sekolah memiliki tanggung jawab yang sama terhadap anak  dan akan mendapat sanki yang sama  jika melakukan pelanggaran terhadap anak, termasuk juga  guru.

Hal ini seharusnya bisa diketahui oleh semua guru yang ada di Indonesia. Guru seharusnya  tidak  berperilaku seenaknya terhadap anak murid. Sehingga tidak akan terjadi  relasi antara guru dan murid yang menakutkan. Guru yang bersikap otoriter cenderung memunculkan tindakan kekerasan. Hingga saat ini, saya masih sering mendengar keluhan para orang tua murid yang anaknya takut dengan guru mata pelajaran tertentu. Jika murid  melakukan kesalahan maka akan keluarlah kata-kata kasar yang akan menjatuhkan harga diri mereka di depan teman-teman mereka. Atau ada juga guru yang dengan gampangnya menghukum murid jika murid melakukan sebuah kesalahan.

Kalau saja para guru tadi menyadari bahwa cara mengajar mereka tidak memenuhi aspek mendidik yang tepat, mereka pasti akan merasa dibayang-bayangi dengan sanksi pidana yang siap menjerat mereka.
Pada poin ini memang banyak guru yang merasa ketakutan untuk dikriminalisasi oleh para murid-muridnya. Padahal,  jika mereka paham dunia pendidikan, rasa-rasanya tidak ada hal yang harus mereka takutkan. Jika mereka mendidik dengan tepat,  tidak akan ada yang menjerat mereka ke muka hakim.

Undang-Undang Perlindungan Anak sudah  berumur 12 tahun. Namun semakin ke sini realisasi dari perlindungan anak di sekolah justru semakin mengkhawatirkan. Semakin banyak terungkap tindakan kekerasan terhadap anak di sekolah. Seringkali pelakunya adalah para guru yang seharusnya menjadi pendidik yang diteladani oleh murid.

Hingga saat ini, banyak para guru yang tidak mengetahui Undang-Undang Perlindungan Anak. Jadi.... bagaimana anak-anak  bisa terlindungi hak-haknya dari tindak  kekerasan yang terjadi di sekolah? Kalau ternyata, masih saja terdapat sekolah dan pihak-pihak yang berada di dalam sekolah (termasuk para guru) ini belum tahu dan merealisasikan undang-undang ini.

Sanksi Pidana
Ada hal yang menarik yang saat ini sedang ramai diperbincangkan, yaitu mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Saat ini mulai gencar diperbincangkan oleh berbagai pihak mengenai hukuman yang harus diperberat. Ada yang meminta agar pelaku di kebiri, diberikan hukuman seumur hidup, ada juga yang menyatakan agar pelaku diberikan hukuman berupa sanksi sosial dengan diumumkan ke publik, dicirikan pada bagian tubuh yang  mudah terlihat setiap orang, hingga hukuman mati.

Memang sangat miris kalau melihat praktek penerapan sanksi ini. Hampir tidak pernah betul-betul diterapkannya pemberian  sanksi terberat (15 tahun). Paling sering malah si pelaku diberikan sanksi yang paling ringan , yaitu selama 3 tahun.

Pengalaman dalam Kasus
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya sendiri yang mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Si pelaku tidak dikenai UU Perlindungan Anak, tetapi malah menggunakan Kitab Undang-Undang yang lain. Sehingga akhirnya si pelaku hanya menjalani masa tahanan kurang dari 1 tahun. Sungguh sangat keterlaluan, di mana rasa keadilan yang dimiliki para aparat penegak hukum?

Sebenarnya masih banyak lagi uneg-uneg saya sebagai relawan dan pendamping anak.. Bahwa betapa mandulnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini.

Kalau teman-teman para aktivis anak atau siapapun yang peduli terhadap anak menginginkan adanya revisi terhadap sanksi pidana bagi pelaku kejahatan seksual, saya berharap jangan hanya satu hal itu saja. Sebaiknya  kita semua mau menyimak  keseluruhan isi dari Undang-Undang Perlindungan Anak ini dan temukan banyak sekali kekurangan yang ditemui dari Undang-Undang ini. Terlebih lagi hingga saat ini tidak ada turunan dari Undang-Undang tersebut berupa peraturan presiden  yang membuat Undang-Undang ini bisa lebih adaptif terhadap berbagai persoalan di lapangan. 

Bisa kita lihat, sering sekali  dalam Undang Undang tersebut disebutkan mengenai tanggungjawab dari pemerintah. Namun tidak pernah disebut secara definit, ‘pemerintah’ yang dimaksud itu siapa? Sehingga wajar saja jika saat ini banyak kasus yang terjadi, namun tidak ada satupun pihak ‘pemerintah’ yang menyatakan diri bertanggung jawab terhadap persoalan ini.

Padahal kalau kita lihat di negara maju, para pejabat hingga setingkat perdana menteri akan berani mengatakan “saya bertanggung jawab terhadap terjadinya kasus ini, dan siap pula untuk mempertangggung jawabkannya sekalipun harus megundurkan diri.”

Di negara kita, rasa-rasanya belum pernah saya mendengar hal ini sekalipun. Jika anak-anak Indonesia mengalami begitu banyak kekerasan, belum pernah saya dengar ada pihak pemerintah yang merasa bertanggung jawab dan siap mundur jika semua itu karena kelalaian mereka sebagai pejabat yang telah diberi amanah terhadap penyelenggaraan perlindungan bagi anak-anak Indonesia.


Photo Credits:
maia.com.au,
classroomclipart.com,
childrenforhealth.org,
stmedia.startribune.com.


Mandulnya UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 (bag.1)




Belakangan ini, permasalahan anak tidak ada habis-habisnya. Baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku kekerasan/ kejahatan. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan/kekejaman para orang dewsasa. Anak korban pelecehan/ kekerasan seksual. Anak sebagai pelaku kekerasan. Anaksebagai  pelaku perbuatan pencabulan/pemerkosaan. Ada apa dengan anak-anak Indonesia?
            Rasa-rasanya ...negeri ini tidak kurang-kurangnya menunjukkan perhatian terhadap anak. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB  dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996, Indonesia juga sudah  membuat UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002.
            Tapi..apakah perhatian dalam bentuk tertulis saja  sudah cukup ??  Bagaimana  realisasi UU Perlindungan Anak itu? Sudahkah berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang itu? Siapakah yang menjadi pengawas untuk memastikan bahwa UU itu berjalan pada jalurnya?
            Sebagai aktivis/relawan yang selama ini mendampingi anak. Saya melihat banyak sekali terjadi ketidaksesuaian antara UU Perlindungan Anak dengan kenyataan terhadap perlindungan anak di Indonesia.
            Saya cenderung mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak ini mandul. Karena, hampir sebagian besar isi dari  Undang-Undang ini tidak  sungguh-sungguh untuk direalisasikan. Yang perlu mendapat perhatian kita juga, sejak disahkannya UU Perlindungan Anak tahun 2002 hingga saat ini belum pernah ada Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya  (ini adalah bunyi ayat  2 pasal 5 Bab III ‘Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara’ dari UUD 1945, yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”). Kasihan sekali anak-anak Indonesia. Belum punya tempat yang layak untuk menjadi prioritas dalam pembangunan negeri ini.
            Banyak hal yang membuat hati rasanya tercabik-cabik jika melihat hak-hak anak dengan begitu mudahnya dilanggar hampir oleh semua orang yang mengatakan dirinya pintar, berpendidikan, bermoral. Demi alasan yang dicari-cari untuk kepentingan orang dewasa, sekali lagi ‘demi kepentingan orang dewasa’ bukan kepentingan terbaik bagi anak.
            Kita bisa saksikan sendiri pelanggaran itu. Pelanggaran yang sangat besar dan massif seiring dengan begitu banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku (konteks anak sebagai pelaku pun sesungguhnya ia adalah korban dari kelalaian orang-orang dewasa).

 Yang paling mudah dan sangat kasat mata untuk dilihat oleh setiap orang adalah pelanggaran terhadap hak anak untuk dirahasiakan identitas dirinya ketika anak berada atau tersangkut masalah hukum.
Pasal 17 UU Perlindungan anak ayat (2) berbunyi “ Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Kemudian Pasal 64 ayat (2) point ‘g’ berbunyi “ Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui  Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Jelas sekali bunyi pasal tersebut dan tidak butuh penafsiran lagi. Namun dalam kenyataannya pasal ini sangat-sangat mandul, tidak ada artinya, tidak memberi dampak apapun bagi anak-anak yang berada dalam kondisi tersebut. Anak dibiarkan disorot habis-habisan diberbagai media. Ada yang wajahnya disamarkan ada juga yang dengan telanjang orang bisa tahu siapa anak itu. Kalaupun anak itu tidak diperlihatkan tetapi orangtuanya berbondong-bondong dikunjungi, dihadirkan ke media untuk berbicara di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Apakah dengan menghadirkan orangtua berarti anak tidak tertutupi identitasnya? Logika apa yang mengatakan anak dan orangtua tidak ada kaitannya. Namun pada kenyataanya semua itu  terus dan terus terjadi . Anak dibiarkan terlabelisasi sebagai korban kekerasan seksual. Anak dibiarkan dicap sebagai penjahat, pelaku kekerasan seksual ataupun pelaku kekerasan lainnya. Apakah pihak yang berlomba-lomba membuat berita itu tidak memikirkan kalau hal itu terjadi pada anak mereka?. Apakah mereka tidak berpikir bahwa anak-anak itu masih punya kehidupan yang panjang?. Bagaimana mereka menjalani hidupnya kelak dengan pelabelan yang melekat pada dirinya sepanjang hidupnya?
Padahal..dalam UU Perlindungan anak  jelas-jelas disebutkan dalam pasal 76 point (a) berbunyi : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertugas:.......dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi....sebenarnya ada yang diamanahkan dalam UU untuk menjadi pengawas. Tapi..lagi-lagi pengawasan ini tidak berjalan, KPAI tidak pernah menyatakan protes keras terhadap semua media yang menunjukkan wajah anak korban/pelaku kekerasan.  Termasuk tidak pernah ada teguran ke media ketika menghadirkan keluarga korban. Tidak pernah protes jika keluarga korban dihadirkan ke media. Tidak pernah protes ketika anak yang jadi korban pelecehan /kekerasan  seksual di wawancarai oleh para awak media. kenyataan malah anggota KPAI ikut hadir di media dan duduk satu forum dengan keluarga korban/pelaku kekerasan. Sangat sulit diterima akal  kalau pengawas malah bersikap sangat permisif terhadap  pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini bisa berdampak bahwa sesuatu yang harusnya dilarang menjadi  menjadi sesuatu yang normal. Sebuah kesalahan fatal dalam memperlakukan anak menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah. Kalau sudah begini, apakah UU nya yang salah? Sudah  tidak  relevan lagi dengan keumuman yang ada ?
Seharusnya kita mulai belajar dari negara-negara maju dalam memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).  Kita sering mendengar terjadi kekerasan seksual atau kekerasan penggunaan senjata baik menimpa pada anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku di negara-negara maju. Pernah kah kita melihat si korban atau si pelaku? Pernahkah kita lihat Korban, keluarga korban/pelaku yang di tanyai oleh wartawan? Pernah kah kita melihat rekonstruksi kekerasan itu di televisi. Kita tidak pernah tahu siapa korban dan siapa pelaku karena semua identitas sangat dirahasiakan demi kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana amanah dari Konvensi Hak Anak PBB.
Apa yang dituangkan dalam Undang-Undang tentunya sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang. Bukan hasil berpikir sesaat. Harusnya kita semua belajar untuk lebih menahan diri, terlebih bagi para  pekerja maupun aktivis perlindungan anak. Jangan menodai perjuangan kita terhadap anak. Kita tidak boleh tergoda dengan popularitas pemberitaan. Banyak cara yang lebih bijak untuk memberikan pelajaran bagi semua pihak, tanpa merugikan hak anak-anak. Jangan sampai para pekerja/ aktivis anak diibaratkan mencari popularitas di atas derita anak-anak.
Sadarkah kita semua. Apa sih manfaatnya mengeksploitasi identitas anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan ? Kecuali menaikan rating sebuah media/ stasiun televisi karena memenuhi hasrat manusia untuk selalu mau tahu urusan orang lain.
 Dengan adanya tayangan-tayangan yang vulgar mengenai kejadian kekerasan seksual atau kekerasan lainnya justru akan menambah pengetahuan tentang kekerasan pada anak. Karena,  apa yang selama ini tidak ada di benak anak-anak menjadikannya dengan mudah begitu saja hadir dengan menyaksikan beraneka tayangan kekerasan.
 Kemudian juga.. untuk apa anak harus ditanya-tanya oleh wartawan? Apa relevansinya dengan upaya 'pertimbangan yang terbaik bagi anak '? Kebaikan apa yang didapat anak? Sudah tertimpa masalah masih harus pula ditanya-tanyain oleh pihak yang tidak punya kepentingan apapun selain bisnis. Padahal jika cara nya tidak tepat, maka pada saat anak ditanya-tanya sama saja dengan menorehkan masalahnya semakin dalam didalam diri anak. 
Alasan untuk menjadi pelajaran dari berbagai kasus yang terjadi, rasanya terlalu dicari-cari. Hal ini karena yang terjadi justru malah peniruan-peniruan yang dengan mudah menginspirasi otak anak-anak. Padahal, masih banyak sekali  cara untuk mengambil pelajaran tanpa harus mengeksploitasi para ABH dan keluarganya. Kalau semua pihak menyadari betapa pentingnya masalah ini bagi anak-anak, saya yakin tidak ada yang tidak bisa untuk dilakukan. Kenyataan negara-negara maju mampu menjaga hak anak dari pemberitaan identitasnya di media, mengapa Indonesia  tidak ?.
Seharusnya anak menjadi  korban maupun pelaku hanya bisa ditanya oleh pihak Unit PPA dari kepolisian demi sebuah penyidikan dan penuntasan kasusnya, yang kedua oleh psikolog atau pendamping ahli  yang memang berkepentingan untuk memulihkan kondisi anak. Selebihnya anak harus dikembalikan pada kondisi semula, di hilangkan traumanya,  jiwa kanak-kanaknya jangan sampai hilang karena peristiwa yang dialaminya.
Kapan  yaa...kita  bisa saksikan anak-anak  di televisi maupun media  dalam konteks anak-anak yang bahagia, berprestasi dalam hal apapun tidak hanya prestasi bidang akademis. Tentu itu akan menginspirasi perilaku positif untuk anak-anak lain. Tak ada lagi peniruan perilaku kekerasan.
Kapan yaa??

To be continued...