Tampilkan postingan dengan label anak. Tampilkan semua postingan

Memupuk Semangat Mendampingi si Kecil yang Sakit Berat, Pentingnya Peran Seorang Caregiver


Hidup bahagia dalam sebuah keluarga dengan anak-anak yang sehat dan pintar adalah dambaan hampir setiap orangtua. Namun pada kenyataannya, harapan itu tidak selalu  terkabul. Dalam kehidupan, kita harus menerima kenyataan bahwa ada saja hal-hal yang tidak  diharapkan terjadi dan menimpa kita. Ada kesedihan yang dialami, juga kepedihan yang  dirasakan. 

Salah satu kondisi yang tidak sesuai harapan adalah ketika mengetahui anak kita divonis menderita penyakit berat yang sulit disembuhkan, penyakit kanker misalnya. Saat pertama kali berita itu sampai ke telinga, respon pertama pada umumnya adalah shock. Tidak menyangka kalau hal itu bisa terjadi pada buah hati yang selama ini sudah kita rawat dengan penuh cinta, bahkan kita pun sudah mengantisipasi berbagai kemungkinan penyakit dengan rajin memberikan imunisasi sejak anak lahir. Tapi, itulah fakta dan takdir yang mungkin harus kita hadapi. Kita mungkin akan kaget dan tidak percaya atas apa yang kita dengar, pun ada rasa tidak percaya atas apa yang disampaikan oleh dokter. Kita mencoba menolak informasi tersebut dan berusaha mencari second opinion untuk meyakinkan mudah-mudahan dokter salah melakukan diagnosa. Merasa berita itu tidak benar karena kita sudah memberikan perawatan yang sangat baik kepada anak hingga saat ini. 

Mungkin juga ada perasaan marah kepada pasangan hidup; berpikir ‘Ini pasti gara-gara si ibu yang pernah lalai dalam merawat’; ‘ini pasti ada turunan dari si bapak yang tidak pernah di ceritakan kepadanya’; dan masih banyak lagi kemarahan yang terlintas di benak kita selaku orangtua. Kadang pula muncul pikiran ‘mengapa bukan saya saja yang sakit’; ‘Mengapa harus anak yang masih kecil?’; ‘mengapa harus keluarga kami yang mendapatkan musibah ini?’

Semua perasaan berkecamuk dalam diri hingga pada akhirnya sampai pada tahap harus menerima keadaan dengan perasaan teramat sedih, apalagi ketika melihat wajah anak yang sakit. Dari situ mulailah terpikir untuk mencari berbagai solusi yang bisa dilakukan bagi kesembuhan anak. Harus diingat bahwa semakin cepat orangtua menerima kenyataan (walaupun tentu saja rasa sedih itu tidak bisa hilang), maka semakin cepat pula orangtua bisa segera memberika solusi terbaik bagi anaknya.

Orangtua yang harus merawat anak yang menderita sakit berat tentu bukan perkara mudah, karena akan begitu banyak hal-hal yang harus diperhatikan dan dilakukan. Mulai dari membawanya ke rumah sakit, kunjungan rutin ke dokter, memeriksakan ke lab, mengatur jadwal minum obat, mengatur pola makan, dan lain sebagainya. Semua itu tidak ringan, bahkan bisa menguras seluruh energi baik fisik maupun psikis.

Bagi para orangtua atau siapapun yang merawat, mendampingi, atau membantu seluruh kebutuhan dan keperluan pasien biasanya disebut dengan istilah caregiver. Di Negara-negara maju, caregiver sudah mendapat perhatian yang serius. Caregiver menjadi bagian tersendiri yang harus diperhatikan kebutuhannya dengan layak. Mengapa demikian? Karena pekerjaan caregiver itu maha berat dan sangat menentukan bagi pasien. Jika caregivernya stress, kelelahan fisik dan psikis, maka akan berdampak pada menurunnya kualitas pendampingannya. Hal tersebut bisa menyebabkan pasien menjadi semakin sakit, karena perlakuan caregiver yang tidak tepat atau tidak tulus lagi.

Kelelahan fisik dan psikis yang dialami caregiver adalah suatu hal lumrah terjadi. Tidak ada manusia super. Sehebat apapun, sekuat apapun seseorang, ia akan mengalami fase kelelahan, kejenuhan, bahkan kehilangan semangat hidup. Kalau sudah demikian, apa yang bisa diperbuat oleh caregiver? Harus kah hanya berpasrah saja dengan keadaan. Membiarkan kualitas perawatannya  terus menurun? 

Seorang caregiver, tetaplah seorang manusia biasa yang harus terpenuhi kebutuhannya secara layak. Hanya saja, dengan kondisi yang sedikit berbeda. Mereka memiliki tanggung jawab penuh dalam kesehariannya untuk merawat anak sakit, dengan perlakuan yang lebih dari anak-anak yang sehat. 

Menjadi caregiver akan dihadapkan dengan berbagai masalah yang tidak bisa dibilang ringan. Orangtua yang menjadi caregiver bagi anaknya atau siapapun yang menjadi caregiver bagi keluarganya pasti mengalami masalah keuangan; bagaimana biaya pengobatan, biaya perawatan agar yang sakit bisa merasa nyaman meski dalam keadaan sakit berat. Kemudian, masalah fisik; kelelahan, kurang tidur, tugas rutin di rumah yang menumpuk. Yang ketiga masalah emosional; merawat orang sakit pastinya akan selalu menguras emosi, ada perasaan sedih, kasihan, kecewa bahkan marah. Dan yang terakhir adalah masalah dalam hubungan sosial maupun hubungan personalnya. Waktu nya akan semakin berkurang untuk berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain, dengan teman-teman, tetangga bahkan sekedar untuk ngobrol dengan seseorang via telpon pun terasa menjadi sulit.

Caregiver seharusnya bisa tetap memenuhi kebutuhannya sebagaimana orang lain yang tidak menjadi caregiver. Seorang caregiver tidak harus terus menerus bersedih dan mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap si sakit hingga mengabaikan kebutuhannya sendiri untuk beristirahat, merasakan kesenangan seperti waktu sebelum ia menjadi caregiver. Pergi rekreasi sering dianggap tidak pantas dilakukan oleh seorang caregiver pada saat ada  anggota keluarganya yang menderita sakit.

Apakah memang demikian seharusnya? Lalu, di mana sisi kemanusiannya harus  ditempatkan seorang caregiver? ketika ia terpuruk dengan semua tanggung jawab, ia letih, kelelahan dan hampir putus asa.

Sebaagi seorang caregiver, seharusnya tetap bisa mendapatkan hak-hak nya sebagai manusia normal dengan segala kebutuhan fisik dan psikisnya. Hanya saja semua kebutuhan itu sekarang harus disesuaikan dengan tanggung jawab perawatan terhadap yang sakit.

Seorang caregiver harus mampu menjadikan dirinya berdaya, tetap semangat dalam melakukan perawatan dengan terus menjaga komitmen bahwa apa yang ia lakukan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai. Berfokus hanya pada hal-hal yang mampu ia kontrol seperti berobat rutin, minum obat, makan yang sehat dan terjaga. Jangan berfokus pada hal-hal diluar kendalinya, seperti berpikir terus bagaimana kalau si sakit tambah parah, tidak bisa diobati, dan lain-lain. Karena hal-hal diluar kendalinya hanya akan membuatnya bertambah stress. Berusahalah untuk bisa mendapat bantuan dari pihak keluarga, berbagilah sekali waktu dengan yang lain dalam merawat si sakit. Agar caregiver bisa berbagi perawatan dengan keluarga atau sahabatnya, sebaiknya caregiver punya catatan kegiatan sehari hari yang dilakukan terhadap si sakit, kegiatan selama seminggu itu apa saja, atau catatan penting lainnya tentang si sakit sehingga ketika caregiver ingin meminta bantuan, orang lain pun dengan mudah menggantikannya dan caregiver tetap merasa nyaman dengan bantuan yang diberikan oleh orang lain. Hal ini karena mereka tahu persis apa yang harus mereka lakukan bagi si sakit. Jangan ragu untuk meminta bantuan, karena orang lain pun biasanya turut prihatin dan ingin sesekali  meluangkan waktu untuk membantu.

Sediakan waktu bagi caregiver untuk beristirahat. Jika ada bantuan manfaatkanlah waktu yang ada untuk menyenangkan diri sendiri. Waktunya bisa digunakan untuk tidur, nonton film kesukaan, karaokean, ke luar rumah untuk jalan-jalan atau mengunjungi tetangga yang dekat , bisa juga rekreasi ke tempat yang dekat yang tidak memakan waktu terlalu lama. Semua itu pantas dan memang seharusnya bisa tetap dilakukan oleh seorang caregiver. Caregiver tidak harus merasa bersalah karena meninggalkan sejenak si sakit untuk menyenangkan diri sendiri. Caregiver tidak bisa dikatakan egois hanya karena ia mementingkan diri sendiri pada saat itu. Justru, apa yang dilakukan oleh caregiver akan dapat meningkatkan kualitas perawatnya terhadap si sakit. Caregiver akan kembali melayani si sakit dengan perasaan bahagia. Bahagianya seorang caregiver akan berpengaruh meningkatkan kualitas layanannya.
Yang terakhir adalah jaga kesehatan. Caregiver  selalu dituntut menjadi orang yang selalu sehat, tidak boleh sakit, tidak boleh lelah. Meski semua orang tahu, manusia tidak selalu dalam keadan prima, tapi itulah yang terjadi. Oleh karena itu, caregiver harus tetap mengutamakan dirinya pergi ke dokter jika memang dirasaka dirinya kurang sehat. Tetap kunjungi dokter untuk jadwal  yang sudah rencanakan bagi dirinya sendiri. Rajinlah berolah raga agar tubuh tetap bugar dan tidak mudah sakit. Meditasi juga sangat baik untuk menenangkan dirinya. Membuatnya sehat secara lahir dan bathin. Jangan lupa untuk tetap mengkonsumsi makanana yang sehat dan bergizi, tidak mesti mahal untuk mengkonsumsi makanan sehat, yang dibutuhkan adalah komitmen untuk tetap menjaga dirinya melalui asupan makanan yang sehat dan jangan lupa tidur yang cukup, karena jika kurang tidur akan berdampak pada keluhan-keluhan yang akan mengganggu aktivitasnya dalam merawat si sakit.

Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari para penganut agama adalah agar para caregiver tetap mendekatkan diri pada Tuhan dengan rajin menjalankan kewajiban sebagai umat beragama. Hal ini bisa menjadi salah satu cara mengurangi beban mental yang dirasakan. Kepasrahan hati pada sang pencipta, akan menenangkan dirinya atas apa yang dialami dan dijalaninya.

Sehatnya seorang caregiver secara fisik dan psikis akan berdampak sangat nyata bagi kesehatan dan kebahagiaan si sakit. Jadi, jangan mengabaikan kebutuhan fisik dan psikis dari para caregiver. 

Dari berbagai sumber

Tak Selamanya Kerja Keras Berbuah Manis


Tak selamanya pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual berjalan sesuai dengan yang harapan kita. Banyak halangan dan rintangan yang seringkali menghambat langkah, yang kadang kala menggugat ketulusan kerja kita.
                                 
Kali ini, saya ingin berbagi kisah pendampingan anak korban kekerasan seksual yang menurut saya telah ‘gagal’ saya lakukan.

Tidak enak memang mendengarnya, apalagi merasakannya. Perasaan tercampur-baur antara marah, kesal, kecewa, sedih, kasihan, dan perasaan-perasaan lain yang tidak mengenakkan hati. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Hingga akhirnya pada saat itu saya pun berpikir, ‘saya merasa gagal dan sangat tidak produktif dalam menjalankan tugas saya.’ 

Galau melanda, saya suka menumpahkannya dengan bahasa yang saya samarkan dalam tweet-tweet saya, namun saya tetap menjaga rahasia setiap aktor dan pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

Dalam melakukan tugas, biasanya saya mendapatkan informasi awal mengenai kasus-kasus kekerasan yang ada melalui berita di berbagai media informasi. Setelah mendapatkan gambaran mengenai kasus tersebut, saya pun segera berusaha mencari tahu di mana alamat lengkap dari korban.

Berhasil mendapatkan alamat korban, saya pun mencari tahu lebih detail lagi mengenai alamat tersebut dari teman-teman saya di TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan), karena mereka sangat menguasai wilayah masing-masing di tiap kecamatan.

Alamat lengkap korban beserta setiap informasi yang dibutuhkan telah ada di tangan, saya pun segera hunting, memburu alamat rumah korban untuk melaksanakan misi saya yaitu mendampingi korban kekerasan tersebut.
Saya sadar, mereka sedang menghadapi tahap-tahap dalam hidup yang begitu krusial. Oleh karena itu saya ingin membantu mereka sebisa saya, sesuai dengan kapabilitas saya. Minimal support harus mereka dapatkan, agar mereka pun tetap dapat menemukan harapan akan jalan keluar permasalahan.
* * *
Pada suatu waktu.

Kali ini saya mendatangi rumah seorang anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual yang mana pelakunya adalah lebih dari satu orang. Mencengangkan memang, terlebih lagi ketika fakta mengatakan bahwa rata-rata dari mereka adalah anak-anak yang masih muda. Saat itu beritanya cukup menghebohkan wilayah setempat bahkan hingga ke skala nasional.

Singkat cerita, saya pun datang ke rumah korban setelah beberapa hari kejadian. 

Ketika saya tiba di rumah korban, ternyata korban tidak tinggal dengan orang tuanya melainkan dengan kakek neneknya yang keduanya sudah berumur di atas 75 tahun.

Saya disambut dengan sangat baik oleh kakek dan nenek korban. Mereka senang menerima kehadiran saya, yang paling tidak telah mewakili lembaga milik pemerintah setempat. Ketika saya katakan bahwa saya datang dari lembaga perlindungan anak, kakek dan nenek korban kembali menunjukkan rasa senang mereka dan sangat berharap agar cucu mereka bisa didampingi dan  dibantu pemulihan psikologisnya. 

Sebut saja nama korbannya adalah Bunga. Bunga masih duduk di kelas 1 sebuah SMP Negeri (bisa dibayangkan bahwa Bunga bukan anak yang bodoh, karena bisa masuk ke sekolah  negeri yang persaingan masuknya pun sangat ketat).

Kakek dan nenek Bunga menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menceritakan tentang masa kecil Bunga, dan mereka perlihatkan foto-foto Bunga pada saya. Mereka ceritakan bagaimana mereka berdua merawat Bunga, dan bagaimana sulitnya mendidik ‘anak zaman sekarang’.

Kemudian saya pun meminta untuk berkenalan dengan orangtua korban, dan yang muncul kemudian adalah ayah korban. 

Kakek dan nenek Bunga begitu welcome terhadap saya, namun berbeda dengan sikap yang dimunculkan oleh ayah Bunga. Sikap sang ayah cenderung defensif. Ketika saya berusaha menanyakan tentang anaknya, ia lebih banyak menghindar dan tidak mau terbuka. Bahkan ketika saya ingin bertemu Bunga pun ayahnya tidak mengizinkannya. Ia bilang Bunga sedang diungsikan disuatu tempat, agar tidak ada wartawan yang datang meliput anaknya. Mengenai hal ini, memang benar sekali langkah yang sudah diambil ayah Bunga, kalau ini saya sangat setuju. 

* * *

Sebenarnya saya ingin sekali bertemu dengan Bunga, karena rasa keprihatinan yang saya rasakan untuknya atas kejadian yang baru saja dialaminya. Bunga mengalami pemerkosaan oleh lebih dari 6 anak (rata-rata masih duduk di bangku SMP, meskipun ada juga anak yang telah putus sekolah). Pasti kondisi psikologisnya pun akan sangat terguncang, paling tidak ia butuh seseorang yang bisa mengerti dia. 

Apa yang saya utarakan sangat didukung oleh kakek dan neneknya. Mereka berdua sangat ingin saya bisa mendampingi cucunya dan membantu bunga dalam pendampingan psikologisnya.

Keprihatinan saya kembali memuncak manakala mengetahui bahwa kedua orangtuanya sudah bercerai. Ibunya sudah menikah lagi dan berada jauh di provinsi lain dari Bunga, sedangkan ayahnya sudah menikah lagi namun tinggal di kota yang berbeda dengan Bunga. Kadang-kadang di akhir pekan Bunga menginap di tempat tingal ayahnya.

Sejak kecil Bunga diasuh oleh kakek dan neneknya, dan keduanya sangat sayang dengan Bunga. Namun, tentu saja sangat bisa dimaklumi kalau kedua orang kakek dan nenek Bunga tidak bisa maksimal dalam memberikan pengawasan terhadap Bunga. Kerentaan mereka saja sudah menjadi alasan tersendiri. Menurut saya mereka adalah dua orangtua yang justru harusnya tidak lagi dibebani dengan merawat anak. Mereka sendiri sudah mengalami banyak keterbatasan dalam merawat diri mereka sendiri .

* * *

Ketika saya tidak diizinkan untuk bertemu dengan Bunga, saya pun segera mencari solusi lain. Saya mulai berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar para orang dewasa di sekitar Bunga bisa secara efektif membantu, karena saya tahu supporting system dari orang-orang terdekat akan sangat membantu pemulihan kondisi Bunga.

Saya pun menjelaskan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua korban kekerasan seksual. 

Saya juga mengingatkan hal-hal yang sebaiknya menjadi perhatian agar jangan sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada Bunga. 

Sebelum saya pamit pulang, saya kembali menawarkan bantuan saya untuk bisa mendampingi Bunga. Ayahnya sempat meminta saya untuk datang ke tempat di mana Bunga dititipkan sekarang, yang dia sebut 'berada di luar kota'. Saya pun menyanggupinya, karena saya tahu persoalan yang dihadapi oleh Bunga adalah sangat berat untuk anak berusia 13 tahun. Saya berkomitmen untuk mendampingi, membantu, dan menolongnya.

Saya menitipkan nomor telpon yang bisa dihubungi seandainya ayah Bunga menghendaki saya untuk menemui anaknya. Saya pun menyimpan nomor kontak keluarga Bunga.

Saya tidak bisa berbuat banyak untuk melanjutkan proses pendampingan terhadap Bunga kecuali hanya  dengan menunggu dan menunggu.

Hingga lewat beberapa hari, hampir masuk satu pekan, belum juga ada kabar dari keluarga Bunga. Saya pun berinisiatif untuk menelpon rumah kakek Bunga.

Yang menerima telpon kakek Bunga langsung. Beliau sempat ungkapkan bahwa sebenarnya beliau ingin sekali saya bisa mendampingi cucunya. Namun, ia dan istrinya tidak bisa berbuat banyak ketika ayah Bunga sudah memutuskan sikapnya. Ia pun sama seperti saya, hanya bisa menunggu.

Waktu pun terus berjalan.. tidak ada telepon dari ayah Bunga.. 

Saya merasa sedih dengan sikap ayah Bunga. Namun, saya pun menyadari bahwa saya hanya seorang relawan anak yang  tidak punya hak untuk memaksa ayah Bunga. Saya tidak bisa memaksanya untuk bisa kooperatif dalam mengatasi permasalahan anaknya. Mungkin ia belum menangkap bentuk kepedulian yang saya berikan kepada anak dan keluarganya...

Kalau sudah seperti ini saya hanya bisa bersedih dalam diam, ditambah kebingungan yang melanda. Saya pun kerap kali mempertanyakan, "di manakah letak Undang-Undang Perlindungan Anak bisa saya pakai?” 

Akhirnya, dari kisah pendampingan yang 'gagal' ini.. saya hanya bisa berdo’a..
Semoga kehidupan Bunga menjadi lebih baik...

* * *

photo credits:
pinterest.com (watercolor picture by Jessica Durrant)
smh.com.au

Belum Maksimalnya Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual



photo credit: envision.ca

Semuanya bermula pada suatu sore... Saat saya menonton berita di salah satu stasiun televisi yang sedang menayangkan pidato ibu negara yang berisi ungkapan keprihatinan Ibu Ani Yudhoyono terhadap kekerasan seksual yang banyak terjadi pada anak-anak di Indonesia. Bu Ani juga kemudian menyampaikan berbagai tindakan yang sudah diambil oleh pemerintah terkait dengan keadaan darurat kekerasan seksual pada anak.

Saya sih seneag mendengarnya.. Tapi rasa-rasanya ada yang janggal
Mengapa janggal? 
Apa yang salah dengan pidato bu Ani? 
Ya... Nggak ada yang salah, bahkan sejujurnya seratus persen saya pun memberikan dukungan terhadap apa-apa yang beliau sampaikan.

Kejanggalan yang saya rasakan tadi adalah bersumber bahwa dari apa-apa yang telah Ibu Ani katakan, mengapa belum terjadi perubahan yang signifikan pada tataran kenyataan? Saya  masih sering membaca berbagai berita di media bahwa  kekerasan itu masih kerap terjadi di banyak tempat di Indonesia.

Yang paling penting lagi adalah bahwa sampai hari ini kenapa penanganan yang dilakukan terhadap korban masih belum maksimal?

Saya pun telah melakukan diskusi dengan beberapa teman sesama relawan anak. Mereka telah melakukan advokasi terhadap korban kekerasan seksual  di banyak tempat.  Keluhan mereka tetap sama dari dulu hingga sekarang. Dahulu (yang mana sepi dari kepedulian pejabat) ataupun sekarang (yang kini banyak dikomentari dan dikritisi oleh para 'pejabat'), tidak ada bedanya!

Anak yang menjadi korban masih tetap tereksploitasi media. Anak yang menjadi korban belum mendapat penanganan secara maksimal, bahkan ada kecenderungan anak yang jadi korban tersebut (khusus ABG) malah sering dipersalahkan dan diberikan tudingan bahwa kekerasan seksual yang dialaminya adalah akibat perbuatannya sendiri. 

Padahal, anak yang menjadi seperti demikian pun dapat dilihat dari latar belakangnya, pasti ada andil keterlibatan orang tua/orang dewasa yang membuat mereka berperilaku seperti itu, termasuk kelalaian orangtua dalam membimbing perkembangan remajanya. 

Masih inget  ungkapan calon hakim agung Daming, ketika ditanya tentang kasus pemerkosaan yang dialami seorang ABG, atau pernyataan Bapak Mendikbud untuk kasus yang sama, atau yang terbaru celotehan @detikcom dengan judul "anaknya lah yang minta diperkosa"? Sungguh pernyataan yang patut dipertanyakan kepeduliannya terhadap hak-hak anak.
Harusnya para orang dewasa menyadari bahwa “anak-anak hanya butuh bimbingan dan perlindungan,” bukan “disalahkan(!)"
Penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak pun masih sering berlangsung secara 'tergagap-gagap', karena banyaknya intervensi banyak pihak. Sampai kapan kita menunggu hingga penyelesaian kasus yang diberlangsungkan adalah ‘demi kepentingan terbaik bagi anak’ bisa ditegakkan?

* * *

Saya telah banyak melalui pengalaman dalam mendampingi korban kekerasan seksual. Banyak sebenarnya harapan saya yang tertuju pada pemerintah. Kalau saja kementerian yang ada bisa berjalan secara efektif, kalau saja mereka bisa menjalankan perannya dengan tepat, banyak hal yang bisa diperbuat demi perlindungan anak Indonesia. Termasuk perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Ada kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang harusnya bisa  menjadi leading sector untuk menggerakan seluruh elemen dalam perlindungan Anak. Bukan hanya dengan  kampanye atau orasi, kalau sekedar kampanye dan orasi, semua elemen juga bisa melakukannya. Untuk menggerakan sistem perlindungan anak dalam pemerintahan, hanya kementerian yang punya kewenangan.

Terhadap aparat penegak hukum, ada yang harus terus dicermati, karena masih banyak yang tidak sensitif terhadap isu-isu perlindungan anak. Kalau tidak 'mempan', harusnya Bapak Presiden bisa memberikan suaranya demi keberlangsungan anak-anak Indonesia.

Ada kementerian sosial yang pekerjaannya banyak bersentuhan dengan anak-anak. Kemensos harusnya bisa dan selalu bergandengan dengan kemenPPPA dalam perlindungan Anak.

Kementerian lain pun harusnya juga bersentuhan dengan hak-hak anak juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan anak. Bukankah itu yang diamanahkan oleh Konvensi Hak Anak PBB? Sebuah negara yang menjunjung tinggi hak anak dan memberikan perlindungan maksimal pada seluruh anak.

Sekarang bukan saatnya lagi kementerian memperbanyak kampanye, seminar, workshop, atau orasi berapi-api tak mengenal langkah konkret. Kementerian harus lebih optimal dalam menggerakkan para aparaturnya, agar benar-benar bekerja, bukan asal bekerja. Jangan sampai visi misi kementerian hanya menjadi sebuah hiasan di laman website sebuah kementerian.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di negeri ini sudah tidak bisa lagi ditolerir. Sudah terlalu banyak anak yang jadi korban.
Harapan saya pada pemerintahan negeri ini, semoga bisa bekerja lebih maksimal lagi untuk perlindungan anak, khususnya dari kekerasan seksual yang tengah merajalela. Semoga pemerintah lebih fokus untuk menggerakan roda pemerintahan di semua tingkatan dan di semua wilayah guna memaksimalkan perlindungan bagi anak. Tidak lagi hanya mengeluarkan statement semu yang menenangkan, padahal persoalan belum ada yang dituntaskan. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Kejahatan seksual terhadap anak setiap saat mengintai.

Bagi semua orang dewasa, mari kita sayangi anak-anak dengan menjaga dan memenuhi hak-haknya.