Tampilkan postingan dengan label keluarga. Tampilkan semua postingan

Pahami Anak, Cegah Terjadinya Kekerasan



Dalam liputan sebuah berita, diceritakan tentang seorang anak yang pingsan akibat pukulan temannya di sekolah.

Di tempat lain, ada pengaduan tentang  seorang  anak yang  takut untuk datang ke sekolah dan selalu mencari-cari alasan untuk tidak sekolah. Sampai akhirnya masalahnya terungkap, hal tersebut   disebabkan karena guru kelasnya yang kerap melakukan kekerasan fisik setiap kali muridnya melakukan kesalahan.

Di sebuah sekolah yang dilaksanakan full day, seorang anak laki-laki kelas 1 SD  dengan tiba-tiba menceritakan kepada orangtuanya kalau ia selalu disuruh oleh teman sekelasnya untuk melakukan hal yang tidak wajar dilakukan anak seusianya; yaitu membuka celananya.
   
Ada lagi siswa SMP yang berubah drastis menjadi tertutup, sensitif, juga gampang  marah. Setelah cukup lama dicari akar masalahnya, akhirnya ia mengakui bahwa ia pernah dipaksa oleh gurunya untuk membuka jilbab saat pengambilan foto ijazah. Ia kecewa karena pihak sekolah tidak memenuhi permintaannya  agar diizinkan tetap memakai jilbab. Ia  merasa  sangat malu karena sekarang teman-temannya tahu kalau  rambutnya semi botak akibat penggunaan perias rambut secara berlebihan untuk keperluannya tampil beberapa tahun lalu.

* * *

Hal di atas barulah sebagian kecil kejadian-kejadian di sekolah. Peristiwa 'kekerasan' pada anak sekarang ini justru mulai banyak terjadi di sekolah. Itu adalah apa yang sudah terberitakan melalui media, namun tidak sedikit juga yang melaporkan kasus ke lembaga-lembaga perlindungan anak.  

Kekerasan yang terjadi di sekolah bisa dilakukan oleh guru, teman, maupun staff sekolah. Korbannya sudah pasti adalah siswa sekolah. Kekerasnnya pun bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa Anak adalah sosok yang sangat rentan menjadi korban dari tindak kekerasan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini anak pun cukup berpotensi untuk menjadi pelaku dalam tindak kekerasan di sekolah. 

Untuk anak yang menjadi pelaku dari tindak kekerasan, pada hakekatnya dia adalah korban. Korban dari para orang dewasa yang menjadi penanggungjawab akan dirinya, juga  korban dari lingkungan sekitarnya. 

Kemampuan yang dominan dari seorang anak adalah menerima stimulus inderawinya dengan sangat baik. Anak melihat, mendengar, merekamnya kemudian ia menirunya. 

“Luar BIasa ! “ Semua kejadian mampu dicontoh persis bahkan dengan tambahan variasi imajinasinya. Anak belum punya filter yang kuat untuk menilai baik buruk input yang masuk melalui panca inderanya.  Kemampuan menilai  baik buruk adalah proses hasil belajar yang diberikan oleh orang dewasa, dalam hal ini  orang tua, guru atau orang dewasa lain yang  bertanggung jawab terhadap dirinya.

Patut dipahami bahwa anak adalah manusia yang masih memiliki banyak keterbatasan. Dari segi penalaran, kemampuan daya nalar anak masih belum matang, baik penalaran yang bersifat kognitif maupun yang bersifat penalaran moral.  Kemampuan penalarannya  masih terus berproses dan masih harus terus dibimbing oleh orang dewasa agar ia semakin kompeten dan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. 

Kematangan  emosi anak juga masih rendah. Ia butuh pengarahan, latihan, dan bimbingan agar ia semakin mampu melakukan pengendalian terhadap emosinya.

Sekolah adalah lingkungan kedua setelah lingkungan rumah.  Di sekolah anak akan belajar banyak hal. Sepatutnya sekolah bukan semata-mata tempat untuk menuntut ilmu tetapi juga tempat bagi anak untuk belajar banyak hal. 

Belajar bersosialisasi, belajar mengendalikan berbagai emosinya agar berkembang menjadi sosok yang semakin matang secara emosi, belajar  menerapkan nilai-nilai moral yang didapat dari rumahnya, belajar ketrampilan hidup (life skill), dan masih banyak lagi pelajaran yang didapat dari lingkungan keduanya itu.

Dalam pembahasan kali ini, saya akan coba memfokuskan kepada masalah perkembangan emosi pada anak-anak.

Saat anak berada di sekolah, ia menyerap banyak hal dalam kesehariannya, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Yang memuaskan ataupun yang mengecewakan. Yang membanggakan ataupun yang menghancurkan harga dirinya. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya ketika anak pulang dari sekolah ada orang tua yang selalu menyambut kepulangannya. Kalau orangtua bekerja, tetaplah minta bantuan kepada siapapun orang dewasa yang dipercayakan oleh orang tua mereka (bisa pembantu, nenek, dll) dan mintalah mereka menyambut kepulangan anak mereka dari sekolah dan menanyakan keadaannya pada hari itu. 

Luangkan waktu untuk menyapanya,  menanyakan bagaimana kegiatan di sekolah hari itu. Jika orangtua bekerja maka sebaiknya tetap menyapa anak mengenai keadaan di sekolahnya saat orangtua pulang kerja. 

Sebaiknya  para orangtua tidak hanya menanyakan pelajaran dan pekerjaan rumah anak, tapi juga menanyakan perasaan anak hari itu di sekolah. Pendekatan kepada anak bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti dengan bertanya, ngobrol, bercanda, dll.  

Suasana harmonis yang tercipta antara anak dan orangtua akan menghilangkan hambatan komunikasi antara anak dengan orangtuanya.

Kadang kala, anak yang lelah dari sekolah tidak menjawab dengan sepenuh hatinya. Kita tidak perlu memaksa anak untuk menjawab dan bercerita panjang lebar, kadang-kadang anak yang malas bicara hanya mengatakan “hmm...” atau “yaah.. gitu deh..” . 

Kita tidak perlu berkecil hati atau kecewa. Dengan adanya pertanyaan tersebut, sudah menunjukkan pada anak bahwa kita selalu hadir untuk mereka. Anak akan merasa bahwa kejadian-kejadian yang di alaminya selama di sekolah bisa ia bagi kepada orang-orang di rumah terutama kepada kedua orangtuanya, bukan kepada orang lain. 

Kesiapan orangtua untuk menyediakan waktu berbicara kepada anak dan adanya keterbukaan sikap dari orangtua akan mendorong anak menjadi terbuka juga dengan orang tua mereka. Anak-anak tidak akan takut bercerita apapun mengenai keadaan mereka saat mereka tidak berada di dekat orang tua mereka.  

Keberanian untuk mengungkapkan apapun yang mereka  rasakan selama di sekolah akan sangat bermanfaat dalam mengungkapkan banyak kejadian yang mereka alami, baik itu kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal ini  akan memudahkan para orang tua untuk memahami keadaan dan perkembangan anak-anaknya. 

Berangkat dari kasus-kasus yang dialami oleh anak, biasanya kejadian tersebut bukanlah suatu peristiwa yang tejadi secara kebetulan pada saat itu. Selalu ada rangkaian kejadian sebelumnya yang melatar belakangi sebuah peristiwa besar.

* * *

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada anak bisa jadi merupakan bahan evaluasi bagi para orangtua di rumah (walaupun tentunya juga bahan evaluasi bagi semua pihak termasuk pihak sekolah). Sudah sejauh mana mereka memahami anak-anak mereka?  Sudahkah mereka mengajak anak mereka berbicara tentang perasaan-perasaan anak mereka selama berada di sekolah, bagaimana hubungan  anak  dengan teman-temannya? Sudahkah mengajarkan anak-anak bagaimana mengatasi situasi yang membuat ia marah, kecewa, takut dan lain sebagainya.

Yang perlu menjadi bahan evaluasi bagi para orangtua adalah bahwa orangtua sering melakukan kesalahan dalam memahami dan mengajarkan cara mengatur emosi yang ada pada anak-anak mereka. Orang tua sering  melakukan emotion dismissing (penghilangan emosi). Bentuk penghilangan emosi diantaranya adalah dengan mengabaikan emosi yang dirasakan oleh anak.

Sebagai contoh, saat anak berwajah muram, orangtua cenderung membiarkannya, tidak ditanya mengapa ia berwajah muram? Ada masalah apa? Apa yang dirasakan saat itu? Emosi apa yang ada? Sedihkah Marahkah? Kecewakah? Contoh lainnya adalah menolak emosi yang muncul tersebut. Misal, setiap emosi negatif yang muncul dari anak selalu disikapi dengan penolakan dari orangtua. Melihat anaknya muram malah dimarahi, dibilang cengeng, manja, dll. Selain itu juga bisa berupa mengubah emosi yang dirasakan anak. Jika anak muram atau sedih, orangtua bukannya berusaha mencari tahu masalahnya namun justru segera menghilangkan emosi tersebut dengan mengalihkannya dari masalahnya dengan mengajaknya bercanda, bermain, dll  sebelum dicari tahu apa yang dirasakan anak, serta permasalahan apa yang dihadapinya.

Seharusnya orangtua bisa melakukan Pendekatan Emotion Coaching (pelatihan emosi) untuk membantu anak-anak dalam mengatur emosinya. Lihatlah emosi negatif yang dialami anak seperti marah, sedih, kecewa sebagai kesempatan untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola dan mengendalikan emosi negatif tersebut. 

Membantu anak memberi label atau menamai emosi yang dirasakannya,  kemudian melatih anak bagaimana mengatasinya dengan cara yang efektif.

Mudah-mudahan para orangtua semakin peduli dengan perkembangan emosi anak-anak mereka, sehingga anak akan merasakan kehadiran orangtua mereka dalam setiap masalah yang hadapi. Pada akhirnya, akan banyak solusi yang bisa diselesaikan anak dengan bantuan dan dukungan orangtuanya.


(Ena Nurjanah, 2015)

Bagian kedua dari " Selamatkan Anak-anak !"


Tulisan dari Neil Postman : Dissapearance of childhood



II. Hilangnya masa kanak-kanak

5. Awal dari sebuah Akhir

Periode antara 1850 – 1950 merupakan masa puncak dari munculnya perhatian terhadap kanak-kanak. Di Amerika mulai muncul upaya agar anak-anak masuk sekolah dan keluar dari pabrik-pabrik. Undang-Undang pun dibuat khusus untuk anak-anak yang dibedakan dari orang dewasa. 

Pada periode ini muncullah stereotip  kehidupan modern dimana para orang tua mulai menyadari sepenuhnya  akan masa kanak-kanak. Masa ini juga menjadi suatu kondisi yang tak terhindarkan bahwa masa kanak-kanak diartikan menjadi sebuah kategori biologis. Hal ini menjadi ironi karena lingkungan simbolis yang mendorong munculnya ide masa kanak-kanak  malah justru  mulai memudar.

Menurut Postman gagasan tentang masa kanak-kanak tidak berkembang lagi sejak adanya penemuan telegraf elektronik oleh Morse.Disamping itu juga banyak tulisan dari beberapa ahli yang mencermati kondisi ini dan punya penilaian tersendiri sejak munculnya telegraf dari Morse. 

Menurut Thoreau dengan melihat aspek psikologis dan sosial, penemuan telegraf telah merubah karakter  informasi dari semual bersifat personal dan regional menjadi impersonal dan global. Telegraf telah menghilangkan dimensi  ruang dan waktu dalam komunikasi. Termasuk  juga menghilangkan aspek komunikasi berupa gaya personal dan kepribadian manusia. Telegraf juga menciptakan dunia anonim, mendekontekstualisasi informasi, dimana perbedaan jarak menjadi tidak relevan. Menjadikan masa kini yang serba instan dan simultan.

Pengaruh terbesar dari era telegraf adalah dimulainya era informasi menjadi tidak terkontrol. Sebelum ada telegraf berita cenderung selektif sesuai dengan kehidupan. Setelah ada telegraf, berita menjadi tak selektif dan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam kehidupan.

Semua kondisi itu punya pengaruh sangat signifikan terhadap ide mengenai masa kanak-kanak
.
Jika beranjak melihat perjalanan terbentuknya masa kanak-kanak, maka dapat kita ingat bahwa  Masa kanak-kanak merupakan perpanjangan dari suatu lingkungan dimana sebentuk informasi dikontrol secara eksklusif oleh orang-orang dewasa, anak-anak secara bertahap untuk mengetahui semua informasi itu.  Pemeliharaan masa kanak-kanak tergantung pada prinsip-prinsip dari informasi yang tertata dan pembelajaran berurut.  Dengan adanya telegraf terjadilah pergulatan kontrol akan informasi di rumah dan di sekolah. Telegraf pada akhirnya mengubah jenis informasi yang bisa diakses anak-anak, kualitas dan jumlahnya, urut-urutannya, dan situasi-situasi informasi.

Sebenarnya, kalau saja penemuan berakhir hanya di telegraf elektronik, kemungkinan besar struktur sosial danintelektual dari dunia melek huruf akan tetap utuh, dan yang pasti ‘masa kanak-kanak’ tidak terlalu banyak berubah. Namun setelah penemuan telegraf diikuti oleh penemuan-penemuan lain yang luar biasa seperti mesin cetak putar, kamera, telepon, fotografi, film, radio, televisi. 

Dengan berkembangnya komunikasi elektronik era revolusi grafik pun dimulai. Dunia simbolis baru, gambar-gambar, kartun-kartun, poster-poster, iklan-iklan. 

Secara umum, revolusi elektronik dan grafik seperti serangan tak terkoordinir tapi kuat terhadap bahasa dan literasi, merubah penampilan dunia ide-ide ke dalam ikon-ikon dan citra-citra dengan kecepatan cahaya. Menurut para tokoh seperti Arnheim, Heilbroner, dan Barthes revolusi grafis telah menyumbang perubahan radikal pada status ‘masa kanak-kanak’. Hal ini karena keberadaan dunia simbolis tidak mendukung keberadaan hierarki sosial dan intelektual, wadah dimana  ide masa kanak-kanak muncul.

Jika dirunut kembali bahwa antara periode 1850-1950 Amerika melakukan usaha yang luar biasa  menjadikan warganya melek huruf. Namun, pada masa yang sama kemajuan elektronik  memperlemah usaha dan tindakan melek huurf. Menurut Postman, sampai tahun 1950 kompetisi antara dua dunia simbolis akhirnya menjadi jelas dan ironi mewujud. Televisi terpancang hampir di semua rumah di Amerika. Artefak sosial berupa ide mengenai masa kanak-kanak pun menjadi usang. Karena, pada televisilah, kita bisa melihat paling jelas bagaimana dan mengapa basis historis bagi sebuah garis pemisah antara masa kanak-kanak dan masa dewasa telah terkikis.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Postman berkaitan dengan kehadiran televisi yang menghilangkan ‘masa kanak-kanak, yaitu:

1.  Ide mengenai aksesibilitas informasi. Ketika masih era literasi, membaca menjadi pintu yang membedakan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Untuk menjadi dewasa seorang anak harus belajar membaca dahulu. Sehingga banyak informasi  yang belum pantas untuk dibaca oleh anak-anak  bisa dirahasiakan, hingga saatnya tepat untuk diberitahukan kepada mereka. Dengan era televisi maka siapapun bisa mengakses informasi dengan mudah, termasuk anak kecil.

2. Basis hirarki informasi runtuh. Meskipun bahasa terdengar dari televisi, dan kadang-kadang mengandaikan pentingnya bahasa, namun gambarlah yang mendominasi kesadaran pemirsa dan membawa makna-makna yang penting. Singkatnya, orang menonton televisi, dan bukan membaca televisi. Menonton televisi berlaku bagi semua orang, baik dewasa dan anak-anak, intelektual dan  pekerja, yang bodoh dan yang bijaksana. 

3.  Televisi menawarkan sebuah alternatif yang relatif primitif tapi sangat menggoda pada logika linier dan berurut dari kata-kata yang tercetak dan cenderung membuat pendidikan melek huruf yang ketat menjadi tidak relevan. Tidak ada ejaan ABC untuk gambar-gambar. Dalam mempelajari dan  menafsirkan gambar kita tidak perlu pelajaran mengenai tata bahasa atau pengucapan atau logika dan kosa kata. Menonton televisi tidak hanya ‘tidak memerlukan ketrampilan’ tetapi juga mengembangkan kondisi ‘tanpa  ketrampilan’. Tidak ada anak-anak atau orang dewasa yang menjadi lebih baik dalam menonton televisi dengan lebih banyak nonton. Ketrampilan-ketrampilan menonton televisi begitu mendasar sehingga kita belum pernah mendengar ada sejenis keterbelakangan menonton televisi. 

    Menurut Daniel Anderson, anak-anak mulai menonton televisi dengan perhatian yang sistematis pada umur tigapuluh enam bulan. Pada usia itu anak sudah bisa mengikuti acara dengan astik, seperti ikut menyanyi, menari. Dan Anak bisa mengikuti acara –acara televisi, iklan, dan produk-produk yang tidak ditujukan untuk anak berumur tiga tahun. Hal ini karena televisi menayangkan simbol-simbol yang siapapun dengan mudah menangkapnya. Itulah sebabnya, dalam kenyataannya, tidak ada apa yang disebut program TV anak-anak. Semua tayangan untuk semua orang.

4.  Televisi menayangkan informasi dalam bentuk yang tidak membeda-bedakan dalam aksesibilitasnya, dan ini artinya televisi tidak perlu membedakan kategori “anak-anak’ dan “dewasa”. Hal ini karena televisi tidak hanya karena bentuk simbolisnya tidak menawarkan misteri-misteri kognitif tetapi juga karena televisi tidak bisa disimpan dilaci, sehingga siapapun dengan mudah mengaksesnya.
.
6.  Media yang Membongkar Segalanya.

Media yang paling dibicarakan disini adalah media televisi, meskipun media elektronik yang lain juga
Berikut ini analisa  tentang televisi yang membongkar masa kanak-kanak. 

1.  Televisi beroperasi secara virtual sepanjang waktu, sehingga bentuk fisik dan simbolis membuat tidak penting dan menjadi tidak mungkin pula puntuk memilah pemirsa. Televisi juga membutuhkan pasokan informasi baru dan menarik yang terus menerus demi mempertahankan pemirsa.Otomatis juga televisi memanfaatkan semua tabu yang ada dalam budaya, dengan berbagai kemasan acara televisi.

2.   TV menciptakan kebutuhan yang tak pernah terpuaskan dari pada para penontonnya akan kebaruan dan pengakuan publik

3.  Televisi merupakan sebuah teknologi terbuka yang tidak ada hambatan fisik, ekonomi, kognitif, atau imajinatif (pada era literasi, buku adalah sesuatu yang mahal, tidak mudah dicerna dan hanya dikuasai oleh orang-orang dewasa) . Contohnya anak berusai enam tahun dan pria berusia enam puluh tahun sama pantasnya untuk mengalami apa yang ditawarkan oleh televisi. Televisi menjadi medium komunikasi egaliterian yang paripurna, melampaui bahasa oral itu sendiri.Karena dalam pengucapan, kita bisa terus berbisik sehingga anak-anak tidak akan mendengar. Atau kita menggunakan kata-kata yang tidak bisa dipahami mereka. Tetapi, televisi tidak bisa memelankan suara, dan gambar-gambarnya tidak hanya kongkrit, tapi juga jelas dengan sendirinya. Anak-anak melihat apa pun yang ditayangkan televisi.. Hal ini berarti menghapuskan eksklusifitas pengetahuan duniawi, sehingga menghilangkan salah satu perbedaan prinsipal antara masa anak-anak dan masa dewasa.

4. Pada era televisi ide mengenai rasa malu semakin dilemahkan. Mengenai hal ini G.K. Chesterton meringkas pandangan Freud dan Elias yaitu bahwa peradaban tidak bisa muncul tanpa adanya kontrol terhadap impuls-impuls, khususnya impuls pada agresi dan pemuasan segera (barbarisme). Rasa malu merupakan mekanisme untuk menghambat barbarisme.
Pada abad pertengahan tidak ada kategori anak-anak karena tidak ada alat bagi orang dewasa untuk mengetahui informasi yang eksklusif. Di era Gutenberg (mesin cetak) alat seperti ini dikembangkan,yaitu dengan melihat pembedaa pada kemampuan membaca yang hanya ada pada orang dewasa. Di era televisi, alat pembeda ini kembali menghilang.

Pada saat ini kita seperti kembali ke sebuah situasi di abad keempatbelas dimana tidak ada kata-kata yang dianggap kurang pas bagi telinga seorang anak muda.

Pada era televisi ini, semua rahasia orang dewasa telah tersedia untuk anak-anak. Semua hal tentang orang dewasa dengan mudah ditayangkan di televisi dengan dibalut berbagai judul acara seperti opera sabun, iklan dengan obyek yang erotis,  infotainment yang menguliti masalah orang dewasa hingga ke masalah hubungan intim, termasuk juga berita yang menayangkan kekerasan. Bisa diibaratkan,  melalui jangkauan televisi yang menakutkan, jorok atau membingungkan telah membongkar semua rahasia orang dewasa yang artinya adalah kehilangan batas antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak sekarangtahu lebih banyak dibandingkan kelompok pemuda masa lalu manapun. Metafora yang  biasanya  dipakai adalah bahwa televisi merupakan jendela dunia. Pengamatan ini benar sepenuhnya, tapi mengapa televisi sebagai tanda kemajuan tetap merupakan sebuah misteri.

Apa arti dari pernyataan anak-anak kita jauh lebih tahu dibanding dulu? Bahwa mereka tahu apa yang diketahui oleh orang-orang dewasa?

Ini artinya bahwa mereka telah menjadi orang dewasa, atau setidak-tidaknya, seperti orang dewasa. Artinya, ketika mereka memilki akses pada informasi orang dewasa, mereka sesungguhnya terusir dari taman masa kanak-kanak.

7. Dewasa – Anak.

Sebuah penjelasan menarik melalui contoh sebuah iklan televisi bisa menjelaskan hal ini.
Ada sebuah iklan TV yang sering tayang di opera utama.Iklan ini mempertontonkan dua perempuan yang diidentifikasikan sebagai ibu dan anak.  Para penonton kemudian ditantang untuk menebak yang mana ibu, mana yang anak, keduanya tampak berusia akhir dua puluh tahunan dan bisa saling dipertukarkan. 


Postman menganggap bahwa iklan ini sebagai bukti yang luar biasa eksplisit yang mendukung pandangan bahwa perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak makin hilang. Meski banyak iklan lain mengandaikan hal seperti ini, iklan ini langsung mengungkapkan inti bahwa dalam kebudayaan kita sekarang dianggap suatu pengharapan bahwa seorang ibu harus tampak tak berbeda dengan anak perempuannya. Atau bahkan seorang anak perempuan harus tampak tidak lebih muda dibanding ibunya. Apakah ini berarti bahwa masa kanka-kanak menghilang atau masa dewasa-lah yang menghilang hanyalah sebuah persoalan bagaimana orang ingin menyatakn permasalahan ini. 

Tanpa suatu konsepyang jelas mengenai apa artinya menjadi seorang dewasa, tidak akan bisa ada suatu konsep yang jelas mengenai apa artinya menjadi anak. 

Jadi,kesimpulannya adalah bahwa informasi elektronik tidak hanya ‘menghilangkan’ masa kanak-kanak - bisa juga diungkapkan dengan mengatakan bahwa informasi elektronik juga ‘menghilangkan’ masa dewasa.

Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dari tulisan ini bahwa gagasan modern ‘masa dewasa’ sebagian besar merupakan sebuah produk dari penerbitan cetak. Hampir semua karakteristik yang diasosiasikan dengan masa dewasa adalah hal-hal yang sekarang (dan dulunya) dimunculkan atau dipersyaratkan  kebudyaan yang melek huruf, kapasitas untuk menahan diri, toleransi terhadap penundaan pemuasan, kemampuan untuk berpikir secara konseptual dan runut, penghargaan yang tinggi pada akal dan tatanan hirarkis. 

Sejalan dengan media elektronik yang menggeser literasi, kemudian muncullah perilaku-perilaku dan ciri-ciri sifat yang berbeda dari ciri-ciri dewasa yang sudah disebutkan di atas. Perilaku dan sifat tersebut kemudian dihargai dan pada akhirnya memunculkan  definisi masa dewasa yang tidak jelas/kabur. Seiring ketidak jelasan definisi  masa dewasa, masa anak-anak pun semakin tidak jelas. Hal ini memunculkan konfigurasi tahapan-tahapan kehidupan yang baru. Di ujung yang satu: balita; diujung yang lain tua renta. Di antara keduanya adalah apa yang mungkin disebut sebagai dewasa – anak.

Dewasa-anak bisa didefinisikan sebagai dewasa yang kapasitas intelektual dan emosionalnya belum terbentuk, dan, terutama, tidak banyak berbeda dengan mereka yang masih diasosiasikan sebagai anak-anak.

Pada abad pertengahan, dewasa-anak merupakan suatu kondisi normal, dalam takaran besar karena kebutahurufan, sekolah, sekolah menulis tidak ada disiplin atau pembelajaran khusus yang dibutuhkan unutk menjadi dewasa. Karea alasan yang agak mirip, dewasa-anak makin menjadi normal dalam budaya kita sekarang.

8. Anak yang Hilang. 

Pada bab ini, Postman ingin menunjukkan bukti-bukti akan menghilangnya masa kanak-kanak.  Bukti menghilangnya masa kanak-kanak berasal dari berbagai sumber dengan berbagai bentuk. Perlu untuk diketahui bahwa dalam ilmu sosial pembuktian ataupun penolakan suatu ide sangat dipengaruhi oleh ambiguitas dan kerumitan sehingga sulit mengetahui apakah bukti membuat sebuah dugaan menjadi benar atau membuktikan separuhnya atau sama sekali tidak relevan.

Diantara bukti yang bisa disebutkan yaitu antara lain yang ditunjukkan oleh media itu sendiri, dimana mereka bukan hanya menghapuskan bentuk dan konteks masa kanak-kanak tetapi juga dengan menghapuskan isinya. Buktinya bisa dilihat dengan bercampurnya citra dan rasa anak-anak dengan orang dewasa.

Fakta bahwa anak-anak secara virtual menghilang dimedia khususnya televisi. Maksudnya di sini tidak berarti anak-anak tidak muncul di televisi. Tetapi bahwa kemunculan mereka adalah sebagai orang dewasa kecil dengan perilaku seperti abad ke-13 dan ke-14. Anak-anak muncul di televisi tidak berbeda dengan orang dewasa dalamhal minat, bahasa, dan cara berpakaiannya.

Menurut Postman, hal ini menunjukkan bahwa karya seni modern jarang menempatkan anak-anak dalam perilaku mereka yang sebenarnya. 

Menghilangnya model masa kanak-kanak yang tradisional dari televisi juga bisa dilihat dari iklan. Banyak anak-anak gadis kecil berumur sebelas hingga dua belasan tampil dengan gaya erotis. 

Pendewasaan  yang dilakukan terhadap anak-anak dalam dunia pertelevisian juga terjadi dalam dunia perfilman.

Disamping berbagai hal tentang pengaruh televisi yang menghilangkan masa kanak-kanak, telvisi juga mencoba menggambarkan nilai-nilai dan gaya hidup yang menunjukkan kesuksesan. Pada situasi sekarang menunjukkan bahwa nilai dan gaya hidup anak-anak dan orang dewasa menunjukkan tanda-tanda akan disatukan.

Diantaranya adalah industri pakaian. Ide mengenai pakaian anak-anak sekarang sudah menghilang. Anak-anak sekarang berpakaian  dengan gaya pakaian orang dewasa.

Satu hal yang patut menjadi perhatian semua pihak adalah perubahan yang luar  biasa dalam kebrutalan dan frekuensi kejahatan anak, juga tanggapan lembaga legislatif terhadap hal tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa kebrutalan tersebut disebabkan oleh berbagai sebab yang tidak rasional. Bisa jadi disebabkan karena konsep masa kanak-kanak menghilang. 

Anak-anak hidup dalam masyarakat yang konteks sosial dan psikologisnya tidak mempedulikan perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak. Ketika dunia orang dewasa terbuka luas bagi anak-anak, maka tidak terelakan lagi adanya aktivitas kejahatan seperti yang dilakukan orang dewasa.
Anak-anak juga bisa menjadi korban. Serangan anak-anak terhadap tatanan sosial pada hakekatnya adalah serangan orang dewasa terhadap anak-anak.

Persepsi bahwa anak-anak adalah orang dewasa kecil didorong kemunculan nya oleh trend- trend lain selain kriminal. Misalnya peningkatan aktivitas seksual anak-anak. Peranan media dalam hal ini cukup kuat. Khususnya televisi, yang bukan hanya membuat seluruh masyarakat berada dalam kondisi kesenangan seksual yang tinggi tetapi juga menekankan persamaan dalam pemenuhan kebutuhan seksual;

Seks berubah dari sebuah misteri gelap menjadi produk yang bisa dilihat oleh semua orang (contohnya: produk pembersih mulut atau deodorant).

Konsekuensi dari masalah ini adalah peningkatan kehamilan di kalangan remaja dan juga peningkatan penyakit kelamin pada anak-anak secara terus menerus.

Melihat begitu banyak permasalahan yang dialami oleh anak-anak mulai banyak pihak dengan berbagai pendekatan dengan tujuan  ingin mencoba  mengembalikan masa kanak-kanak. Namun, hingga saat ini  pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para ahli masih tetap mengundang kontroversi.Ide yang muncul antara satu ilmuwan dengan yang lain seringkali tidak sejalan bahkan saling bertabrakan.

9. Enam Pertanyaan.

Pada penggalan terakhir dari buku ini berisi enam pertanyaan penting yang dikemukakan oleh Postman, yaitu:

1.Apakah Masa Kanak-kanak itu Diciptakan atau Ditemukan?
Dari fakta sejarah mengatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan bagian dari struktur sosial. Masa kanak-kanak tidak pernah ada pada abad pertengahan. Kemunculannya baru dimulai pada abad ke-enambelas, dan sekarang, ide tentang masa kanak-kanak mulai menghilang.
Sedangkan menurut Piaget, bahwa pergerakan tingkat perkembangan anak bisa diamati dan dikendalikan oleh kebutuhan-kebutuhan biologis. Piaget terutama berbicara tentang tingkat perkembangan intelektualitas anak yang berkembang dari satu level ke level lain karena prinsip genetik.
Untuk menjawab hal ini, Postman membuat sebuah formula yang mengibaratkan bahwa ide mengenai masa kanak-kanak ibarat belajar bahasa. Basisnya adalah alam tetapi perwujudannya tidak  mungkin tanpa pemicu dan pemeliharaan dari lingkungan sosial.

2. Apakah Menghilangnya Masa Kanak-kanak Menunjukkan Penurunan Kebudayaan Amerika Secara umum?
Amerika adalah negara pertama yang pada saat ini seluruh kebudayaannya berada di bawah pengaruh teknologi abad ke-20. Hanya sebagian kecil dari negara bagian Amerika yang tidak terakomodasi oleh teknologi.
Amerika ibarat berada di tengah eksperimen besar bernama ‘kemajuan teknologi’
Meskipun demikian banyak  kritik dari para ilmuwan yang berusaha membantu orang Amerika menjembatani dan memiliki perspektif, sekaligus juga memberi jalan bagaimana seharusnya teknologi membantu mewujudkan keinginan mereka, dan bukan mereka yang dikendalikan oleh teknologi.
Jadi, Di tengah penurunan kebudayaan yang berdampak mulai menghilangnya masa kanak-kanak, Peradaban barat masih berusaha mengatasinya dengan mengkombinasikan antara sejumlah nilai-nilai kemanusiaan yang masih dimiliki dengan kemunculan peradaban baru berupa ‘kemajuan teknologi’,. Termasuk pemeliharaan masa kanak-kanak.

3. Bidang apa yang telah disumbangkan oleh mayoritas moral dan kelompok fundamental lain dalam mempertahankan masa kanak-kanak?
Menurut Postman, Usaha yang dilakukan oleh kelompok mayoritas moral dan kelomppok fundamental dalam usaha mempertahankan masa kanak-kanak adalah mereka melakukan boikot terhadap sponsor acara televisi tertentu untuk memperbaiki kerahasiaan dan keagungan seksualitas, mendirikan sekolah yang menggunakan standar tinggi. Walaupun usaha ini cenderung tidak efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan karena lingkupnya terlalu kecil dan tidak difokuskan untuk  merstrukturisasi secara lengkap lingkungan informasi. Namun, usaha ini tetap perlu diapresiasi, karena paling tidak bisa menghambat lenyapnya masa kanak-kanak.

4. Apakah Ada Teknologi Komunikasi yang Memilki Potensi untuk Mempertahankan Masa Kanak-kanak?
Satu-satunya teknologi yang memilki kemampuan ini adalah komputer. Sedangkan radio sudah kalah tertinggal. Radio tidak lagi mampu menjadi bagian dari pembelajaran. Radio sudah lama kalah bersaing dengan televisi. Saat ini, Radio lebih sering dipakai sebagai alat promosi industri musik.
komputer bisa dijadikan sarana mempertahankan masa kanak-kanak, namun dengan satu cara bahwa komputer yang akan digunakan untuk anak-anak harus  diprogram lebih dahulu agar bisa tetap dikendalikan apa yang boleh untuk anak-anak.
Pada kenyataannya komputerpun tidak begitu saja bisa dijadikan alat kendali, komputer saat ini masih menjadi sesuatu yang misterius dan  berada di bawah kendali elit birokrat.

5. Apakah ada Lembaga Sosial yang cukup Kuat dan Bisa Dibebani Tanggung Jawab Atas Menghilangnya Masa Kanak-Kanak?
Ada dua lembaga yang memiliki kepentingan pada masalah ini, Yaitu : Keluarga dan Sekolah.
Keluarga: Struktur dan kekuatan keluarga melemah dengan cepat setelah orang tua  kehilangan kendali atas lingkungan informasi anak-anak. Margaret Mead pernah mengatakan kalau televisi adalah orang tua kedua, karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan televisi daripada dengan orangtua mereka.
Semakin besarnya kekuasan media, banyak orang tua yang kehilangan kepercayaan diri untuk mendidik anak-anak mereka. Konseksuensinya para orang tua tidak bisa menolak pengaruh media. Pada saat itu masuklah ahli psikologi, pekerja sosial, guru dan perwakilan-perwakilan lembaga lain ke wilayah orang tua. Hal ini berarti melenyapkan keakraban, kebutuhan dan kesetiaan yang secara tradisional telah membentuk hubungan orangtua dan anak.
Postman juga mengkritik era pembebasan perempuan yang merupakan efek dari revolusi teknologi. Yang jadi sorotan Postman adalah bahwa hal tersebut akan mengurangi pengasuhan anak pola tradisional. Karena menurutnya perempuan punya peran sebagai pengasuh, hanya merekalah satu-satunya penjaga masa kanak-kanak yang membentuk dan melindunginya.
Ketika perempuan memasuki dunia industri maka mereka sering merasa bahwa anak menjadi beban bagi mereka, hingga seringkali beranggapan bahwa paling baik masa kanak-kanak berlangsung secepat mungkin.
Sekolah: Adalah satu-satunya lembaga publik yang masih memilki asumsi adanya perbedaan yang mencolok antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Dan bahwa orang dewasa memiliki nilai-nilai yang bisa diajarkan kepada anak-anak.
Karena hal inilah para pendukung masa kanak-kanak masih menulis buku yang memberi saran pada para pendidik bagaimana mereka seharusnya bertingkah laku, dan secara khusus bagaimana supaya mereka bisa mempertahankan masa kanak-kanak.

6. Apakah Manusia secara Individu tidak memiliki Kekuatan untuk Mencegah Apa yang terjadi?
Kalau secara individu  tidak akan mungkin membendung arus kebudayaan yang melanda seluruh negeri. Namun yang masih bisa dan juga masih ada yang melakukannya hingga saat ini adalah individu-individu yang tetap berusaha mempertahankan masa kanak-kanak. Yang mereka lakukan antara lain seperti: menjaga institusi pernikahan, menjaga rasa kekeluargaan dan nilai kehormatan dan tanggung jawab terhadap orang yang lebih tua. Anak-anak diajarkan disiplin untuk menunda pemenuhan kebutuhan, atau berhati-hati dalam masalah seksualitas dan juga diajarkan berperilaku yang baik.
Dalam era revolusi teknologi sekarang, kondisi yang paling berat dirasakan oleh semua orang Amerika adalah bagaimana agar bisa mengendalikan akses media bagi anak-anak mereka.
Postman menyebutkan ada dua cara yaitu: 1) membatasi “pertemuan” anak dengan media; 2) Memonitor dengan hati-hati media apa saja yang diakses anak, dan secara terus menerus memberikan kritik atas tema dan nilai mengenai isi media.


                                                       *** 
Demikian ringkasan tulisan dari Neil Postman,
Semoga kita para orang tua, guru, dan semua orang dewasa bisa menarik pelajaran dari tulisannya yang berharga ini.