Mandulnya UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 (bag.1)
Belakangan
ini, permasalahan anak tidak ada habis-habisnya. Baik anak sebagai korban
maupun anak sebagai pelaku kekerasan/ kejahatan. Anak-anak yang menjadi korban
kekerasan/kekejaman para orang dewsasa. Anak korban pelecehan/ kekerasan
seksual. Anak sebagai pelaku kekerasan. Anaksebagai pelaku perbuatan
pencabulan/pemerkosaan. Ada apa dengan anak-anak Indonesia?
Rasa-rasanya ...negeri ini tidak kurang-kurangnya menunjukkan perhatian
terhadap anak. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996, Indonesia juga sudah
membuat UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002.Tapi..apakah perhatian dalam bentuk tertulis saja sudah cukup ?? Bagaimana realisasi UU Perlindungan Anak itu? Sudahkah berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang itu? Siapakah yang menjadi pengawas untuk memastikan bahwa UU itu berjalan pada jalurnya?
Sebagai aktivis/relawan yang selama ini mendampingi anak. Saya melihat banyak sekali terjadi ketidaksesuaian antara UU Perlindungan Anak dengan kenyataan terhadap perlindungan anak di Indonesia.
Saya cenderung mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak ini mandul. Karena, hampir sebagian besar isi dari Undang-Undang ini tidak sungguh-sungguh untuk direalisasikan. Yang perlu mendapat perhatian kita juga, sejak disahkannya UU Perlindungan Anak tahun 2002 hingga saat ini belum pernah ada Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (ini adalah bunyi ayat 2 pasal 5 Bab III ‘Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara’ dari UUD 1945, yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”). Kasihan sekali anak-anak Indonesia. Belum punya tempat yang layak untuk menjadi prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Banyak hal yang membuat hati rasanya tercabik-cabik jika melihat hak-hak anak dengan begitu mudahnya dilanggar hampir oleh semua orang yang mengatakan dirinya pintar, berpendidikan, bermoral. Demi alasan yang dicari-cari untuk kepentingan orang dewasa, sekali lagi ‘demi kepentingan orang dewasa’ bukan kepentingan terbaik bagi anak.
Kita bisa saksikan sendiri pelanggaran itu. Pelanggaran yang sangat besar dan massif seiring dengan begitu banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku (konteks anak sebagai pelaku pun sesungguhnya ia adalah korban dari kelalaian orang-orang dewasa).
Yang
paling mudah dan sangat kasat mata untuk dilihat oleh setiap orang adalah
pelanggaran terhadap hak anak untuk dirahasiakan identitas dirinya ketika anak
berada atau tersangkut masalah hukum.
Pasal 17 UU
Perlindungan anak ayat (2) berbunyi “ Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Kemudian Pasal 64 ayat (2) point ‘g’ berbunyi “ Perlindungan khusus bagi anak
yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Jelas sekali
bunyi pasal tersebut dan tidak butuh penafsiran lagi. Namun dalam kenyataannya
pasal ini sangat-sangat mandul, tidak ada artinya, tidak memberi dampak apapun
bagi anak-anak yang berada dalam kondisi tersebut. Anak dibiarkan disorot
habis-habisan diberbagai media. Ada yang wajahnya disamarkan ada juga yang
dengan telanjang orang bisa tahu siapa anak itu. Kalaupun anak itu tidak
diperlihatkan tetapi orangtuanya berbondong-bondong dikunjungi, dihadirkan ke
media untuk berbicara di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Apakah
dengan menghadirkan orangtua berarti anak tidak tertutupi identitasnya? Logika
apa yang mengatakan anak dan orangtua tidak ada kaitannya. Namun pada
kenyataanya semua itu terus dan terus terjadi . Anak dibiarkan
terlabelisasi sebagai korban kekerasan seksual. Anak dibiarkan dicap sebagai
penjahat, pelaku kekerasan seksual ataupun pelaku kekerasan lainnya. Apakah
pihak yang berlomba-lomba membuat berita itu tidak memikirkan kalau hal itu
terjadi pada anak mereka?. Apakah mereka tidak berpikir bahwa anak-anak itu
masih punya kehidupan yang panjang?. Bagaimana mereka menjalani hidupnya kelak
dengan pelabelan yang melekat pada dirinya sepanjang hidupnya?
Padahal..dalam
UU Perlindungan anak jelas-jelas disebutkan dalam pasal 76 point (a)
berbunyi : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertugas:.......dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi....sebenarnya ada
yang diamanahkan dalam UU untuk menjadi pengawas. Tapi..lagi-lagi pengawasan
ini tidak berjalan, KPAI tidak pernah menyatakan protes keras terhadap semua
media yang menunjukkan wajah anak korban/pelaku kekerasan. Termasuk tidak
pernah ada teguran ke media ketika menghadirkan keluarga korban. Tidak pernah
protes jika keluarga korban dihadirkan ke media. Tidak pernah protes ketika
anak yang jadi korban pelecehan /kekerasan seksual di wawancarai oleh
para awak media. kenyataan malah anggota KPAI ikut hadir di media dan duduk
satu forum dengan keluarga korban/pelaku kekerasan. Sangat sulit diterima
akal kalau pengawas malah bersikap sangat permisif terhadap
pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini bisa
berdampak bahwa sesuatu yang harusnya dilarang menjadi menjadi sesuatu
yang normal. Sebuah kesalahan fatal dalam memperlakukan anak menjadi sebuah kebiasaan yang
lumrah. Kalau sudah begini, apakah UU nya yang salah? Sudah tidak relevan lagi dengan keumuman yang ada ?
Seharusnya
kita mulai belajar dari negara-negara maju dalam memberikan perlindungan
terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Kita sering mendengar
terjadi kekerasan seksual atau kekerasan penggunaan senjata baik menimpa pada
anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku di negara-negara maju. Pernah
kah kita melihat si korban atau si pelaku? Pernahkah kita lihat Korban,
keluarga korban/pelaku yang di tanyai oleh wartawan? Pernah kah kita melihat
rekonstruksi kekerasan itu di televisi. Kita tidak pernah tahu siapa korban dan
siapa pelaku karena semua identitas sangat dirahasiakan demi kepentingan
terbaik bagi anak, sebagaimana amanah dari Konvensi Hak Anak PBB.
Apa yang
dituangkan dalam Undang-Undang tentunya sudah memiliki pertimbangan yang sangat
matang. Bukan hasil berpikir sesaat. Harusnya kita semua belajar untuk lebih
menahan diri, terlebih bagi para pekerja maupun aktivis perlindungan
anak. Jangan menodai perjuangan kita terhadap anak. Kita tidak boleh tergoda dengan
popularitas pemberitaan. Banyak cara yang lebih bijak untuk memberikan
pelajaran bagi semua pihak, tanpa merugikan hak anak-anak. Jangan sampai para
pekerja/ aktivis anak diibaratkan mencari popularitas di atas derita anak-anak.
Sadarkah
kita semua. Apa sih manfaatnya mengeksploitasi identitas anak yang menjadi
korban maupun pelaku kekerasan ? Kecuali menaikan rating sebuah media/ stasiun
televisi karena memenuhi hasrat manusia untuk selalu mau tahu urusan orang
lain.
Dengan
adanya tayangan-tayangan yang vulgar mengenai kejadian kekerasan seksual atau
kekerasan lainnya justru akan menambah pengetahuan tentang kekerasan pada anak.
Karena, apa yang selama ini tidak ada di benak anak-anak menjadikannya
dengan mudah begitu saja hadir dengan menyaksikan beraneka tayangan kekerasan.
Kemudian
juga.. untuk apa anak harus ditanya-tanya oleh wartawan? Apa relevansinya
dengan upaya 'pertimbangan yang terbaik bagi anak '? Kebaikan apa yang didapat
anak? Sudah tertimpa masalah masih harus pula ditanya-tanyain oleh pihak yang
tidak punya kepentingan apapun selain bisnis. Padahal jika cara nya tidak tepat, maka pada saat anak
ditanya-tanya sama saja dengan menorehkan masalahnya semakin dalam didalam diri
anak.
Alasan untuk
menjadi pelajaran dari berbagai kasus yang terjadi, rasanya terlalu
dicari-cari. Hal ini karena yang terjadi justru malah peniruan-peniruan yang
dengan mudah menginspirasi otak anak-anak. Padahal, masih banyak sekali
cara untuk mengambil pelajaran tanpa harus mengeksploitasi para ABH dan
keluarganya. Kalau semua pihak menyadari betapa pentingnya masalah ini bagi
anak-anak, saya yakin tidak ada yang tidak bisa untuk dilakukan. Kenyataan
negara-negara maju mampu menjaga hak anak dari pemberitaan identitasnya di
media, mengapa Indonesia tidak ?.
Seharusnya
anak menjadi korban maupun pelaku hanya bisa ditanya oleh pihak Unit PPA
dari kepolisian demi sebuah penyidikan dan penuntasan kasusnya, yang kedua oleh
psikolog atau pendamping ahli yang memang berkepentingan untuk memulihkan
kondisi anak. Selebihnya anak harus dikembalikan pada kondisi semula, di hilangkan traumanya, jiwa
kanak-kanaknya jangan sampai hilang karena peristiwa yang dialaminya.
Kapan
yaa...kita bisa saksikan anak-anak di televisi maupun media
dalam konteks anak-anak yang bahagia, berprestasi dalam hal apapun tidak hanya prestasi bidang akademis. Tentu itu akan menginspirasi perilaku positif untuk anak-anak
lain. Tak ada lagi peniruan perilaku kekerasan.
Kapan yaa??