Tampilkan postingan dengan label Artikel di media. Tampilkan semua postingan

Pembunuhan oleh Anak di Sekolah, Bagaimana Menyikapinya?


Sudah dua hari setelah berita tersebut muncul ke permukaan.
Hari pertama diberitakan di media online, dan hari kedua pun muncul bahkan dijadikan satu sesi tersendiri oleh sebuah media TV swasta. Tema bahasannya adalah kasus yang menimpa seorang siswa kelas 2 SD yang memukul teman sekelasnya sendiri hingga terjatuh dan akhirnya meninggal di rumah sakit.

Rasa-rasanya sudah cukuplah berita itu bercerita banyak hal, sehingga tidak perlu diulang-ulang diulas dalam pemberitaan televisi.

Adakah manfaat dari pemberitaan tersebut? Kebaikan apa yang bisa didapat dari menceritakan masalah yang terjadi antara anak dengan anak?

Peristiwa tersebut telah menyebabkan satu anak jadi korban meninggal dunia. Kejadian ini tentunya membuat sedih yang mendalam dari pihak keluarga. Dengan adanya pemberitaan di berbagai media membuat mereka 'dipaksa' untuk terus menerus mengingat kejadian yang sangat tidak diharapkan menimpa anak mereka. Cara pemberitaan yang tidak tepat hanya akan mendorong orang tua korban terus menerus menyimpan amarah pada pelaku.

Bagi anak yang jadi pelaku, pemberitaan hanya membuat ia semakin tertekan, semakin disudutkan oleh lingkungan rumah, sekolah, bahkan seluruh masyarakat yang menonton berita tersebut.

Yang jelas hanya ada keuntungan bagi media, yaitu penontonnya jadi semakin banyak karena kasusnya yang memang sedang hangat, spesial, dan merupakan sebuah kasus yang langka.

Pemberitaan dengan alasan sebagai pelajaran buat anak-anak lain juga rasanya tidak patut. Mengapa? Karena perilaku anak pada dasarnya adalah hasil dari proses peniruan. Jadi, jangan jejali anak dengan wacana keburukan yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benaknya.

Jika pemberitaan itu diwacanakan sebagai  pelajaran bagi orang dewasa, tidak perlulah  dengan memaparkan kasus anak yang terbilang berat ini. Banyak sekali  yang  bisa diberitakan media agar bisa diambil pelajaran oleh orang dewasa dalam mendidik anak-anak mereka tanpa harus mengorbankan  hak dan masa depan anak yang terlibat dalam masalah berat tersebut.

Seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah setempat, melalui jajaran aparat  pemerintahan maupun lembaga-lembaga Negara yang relevan dengan penanganan permasalahan dan perlindungan anak-anak segera bicara: Melarang membuat pemberitaan lebih lanjut tentang kasus anak tersebut. Atas dasar alasan apapun pemberitaan itu, pemerintah harusnya melarang.

Berikan perlindungan maksimal dan yang terbaik bagi anak, jauhkan anak dari stigma sebagai anak nakal, berikan haknya untuk dilindungi dari pemberitaan media, dari labeling yang buruk atas dirinya, dari catatan buruk yang tertoreh di media massa yang berdampak pada masa depannya kelak.

Jika kita mencermati kasus-kasus anak yang terjadi di Negara-negara maju, Pernah kah kita mendengar kasus anak yang diekspos dan dijadikan topik berbagai media? TIDAK PERNAH. Kalaupun ada yang pernah kita dengar, hampir tidak pernah ada penjelasan secara rinci, karena sifatnya sangat rahasia. Mereka sudah pham benar, bagaimana harus melindungi anak-anak. Anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.

Dalam pemberitaan di sebuah media TV swasta, pembahasan mengenai kasus tersebut diulas panjang lebar. Memang, satu sisi ada pelajaran yang hendak disampaikan. Psikolog dihadirkan untuk menjelaskan bagaimana cara mendidik anak yang baik, bagaimana menghindari agar tidak terjadi kekerasan, bagaimana mengantisipasi kondisi yang terjadi.

Namun, menurut saya  tetap tidak tepat mengangkat kasus pembunuhan  anak  tersebut sebagai tema utamanya. Pembahasan kasus tersebut pastinya tidak cukup hanya sampai disitu, akan terjadi penggalian berbagai masalah yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan tersebut. Hingga kemudian dari  dialog tersebut  munculah apa yang dianggap akar masalah antar anak tersebut. Kejadian berawal dari adanya saling ejek yang memang sudah berlangsung lama. Adanya sebuah dendam yang menahun, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak perkelahian antar mereka. Jika disimak dari dialog tersebut, mengerucutlah pada tindakan menyalahkan salah satu pihak yang dianggap lalai.

Apa yang terjadi pada kasus tersebut, tidak bisa dilihat dari satu sisi. Tidak bisa dianggap sebagai kesalahan salah satu pihak. Peristiwa ini merupakan rangkaian dari sebuah cerita kehidupan. Banyak pihak yang terlibat. Yang pasti, yang paling bertanggung jawab terhadap kasus ini adalah orang-orang dewasa yang ada di sekeliling kehidupan anak-anak ini. Bukan hanya satu pihak, tapi semua pihak punya kontribusi  sehingga anak berperilaku di luar batas. Ini cerminan bagi semua pihak untuk melakukan intrsopeksi diri dan memperbaiki kesalahan yang berdampak fatal pada perilaku buruk anak.

Kita semua tahu bahwa anak adalah cermin dari kehidupan yang ia saksikan dalam kesehariannya. Anak adalah peniru yang ulung, Anak mudah mencontoh dari apa yang ia lihat dan ia saksikan dalam dunia nyata atau pun dari media TV atau media online.  Jadi, perbuatan anak tidak bisa hanya dilihat sebagai  permasalahan anak semata. Namun, kita harus bisa melihat dan memetakan kondisi di sekitar anak. Lingkungan anak itu seperti apa, bagaimana orangtua, bagaimana pengasuhan, bagaimana lingkungan rumah dan masyarakat sekitar, bagaimana lingkungan sekolahnya, dll.
                 
Dari segi hukum,  tidak ada artinya melakukan penggalian masalah anak ini. Temuan-temuan yang didapat dari hasil diskusi yang diekspos media tidak akan merubah hukuman anak. Menggali permasalahan yang terjadi antara kedua anak ke media hanya akan menyudutkan anak. Terlebih bagi kehidupan  si pelaku. Padahal dari segi hukuman, semakin banyak informasi ataupun fakta-fakta baru yang didapat tentang si anak sebagai pelaku, tidak akan membuat hukuman baginya menjadi lebih berat. So what's the point?  

Untuk kasus pidana yang menimpa  anak sudah diatur dalam UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak)  no. 11 tahun 2012. UU SPPA no 11 tahun 2012 menyebutkan bahwa yang bisa dikenai proses hukum hanya anak yang sudah memasuki usia 12 tahun. Langkah hukum yang dimungkinkan ditempuh bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan belum berusia 12 tahun harus diupayakan diversi dalam setiap tingkatan proses hukum. Langkah yang ditempuh bagi anak tersebut adalah mengembalikan  kepada kedua orangtuanya, jika ia masih memiliki orang tua/ keluarga yang mampu merawat dan mendidiknya.

Jika mencermati hal ini, perlu diambil langkah-langkah solusi yang terbaik bagi semua pihak.  Solusi yang diambil harus melibatkan lembaga pemerintahan terkait. Pemerintah harus turun tangan terhadap warga negaranya. 

Proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum  pada akhirnya mengedepankan proses diversi, dengan  mengembalikan anak yang menjadi pelaku kepada keluarganya.

Ketika anak dikembalikan kepada keluarganya seharusnya pihak pemerintah terkait turut bertanggung jawab dengan  memberikan pendampingan kepada kedua orangtua pelaku. Orangtua pelaku harus dibantu mengenai bagaimana cara membimbing anaknya dengan baik. Jika anak dikembalikan kepada orangtua  sementara orangtua tidak merubah sedikitpun cara mendidik anaknya, maka akan sulit dicapai perbaikan bagi anak tersebut. Orang tua harus diajarkan bagaimana cara yang tepat dalam mendidik anak.  Kehadiran pendamping yang ahli  di bidangnya sangat dibutuhkan bagi anak dan kedua orangtua, selagi anak masih memiliki orangtua maka langkah terbaik adalah memberikan  bimbingan dan pendampingan kepada orangtua pelaku  bagaimana cara terbaik mendidik anak.

Disinilah perlunya layanan dari lembaga pemerintah dengan cara apapun itu agar bisa menghadirkan para relawan/ pekerja sosial yang memiliki keahlian dibidangnya untuk memberikan bimbingan/arahan dalam  mendidik anak. Sekaligus tentunya juga mengajarkan bagaimana cara mengatasi trauma-trauma yang dialami oleh anak yang menjadi pelaku. Trauma yang dialami si pelaku sesungguhnya sudah terjadi sejak ia menyadari bahwa perbuatanya telah menyebabkan kematian temannya. Trauma bertambah berat ketika  ia menjadi sorotan massa melalui pemberitaan di banyak media  yang memandang dirinya  buruk.

Bagi keluarga yang anaknya menjadi korban, sebaiknya juga mendapatkan hak yang sama, yaitu hak untuk diberi bantuan mengatasi kesedihan, bagaimana mengatasi  kepergian anak yang  meninggal dengan cara tragis. Keluarga korban perlu mendapat  pendampingan  dalam menerima kenyataan terhadap permasalahan yang menimpa mereka. Bantu mereka dengan berbagai terapi ataupun konseling untuk bisa menerima keadaan, agar mereka tabah, dan pada akhirnya bisa berbesar hati memaafkan  anak yang menjadi pelaku.

Hal selanjutnya yang harus dicermati adalah sistem yang ada di sekolah. Sistem yang ada harus segera dirubah. Sekolah harus bisa memastikan bahwa semua anak-anak yang berada di sekolah tersebut dalam keadaan aman dan nyaman. Anak-anak  terhindar  dari tindakan kekerasan siapapun, baik  yang dilakukan oleh teman, guru, atau pihak lain yang terlibat dalam aktivitas di sekolah. Anak juga harus  mendapat jaminan bahwa mereka  terhindar dari berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik,  kekerasan verbal, maupun bentuk kekerasan lainnya.

Ketika berbicara  pendidikan di sekolah maka para guru, kepala sekolah dan seluruh pihak penyelenggara sekolah harus memahami benar arti dari mendidik, sehingga semuanya punya konsentrasi yang sama untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak selama berada di sekolah. Para guru yang merupakan pengganti orang tua di rumah, harus mampu menjadi pendidik yang mengayomi, yang menentramkan anak didik di kelas,  yang memotivasi anak didik untuk belajar dalam semangat kebersamaan dengan teman-temannya di sekolah.



Siswa Berseragam Kena Razia Bolos Sekolah, Salah Siapa?


Berita Pagi ini cukup mengusik perhatian. 

Siswa berseragam kena razia orangtuanya di warnet.


Cukup menarik melihat bagaimana para orangtua menyikapi kondisi anak-anak mereka yang sering bolos sekolah. Dalam berita tersebut terlihat bagaimana para orangtua mendatangi sebuah warnet, dan ternyata salah satu dari orangtua tersebut mendapati bahwa anaknya sedang asyik bermain dengan salah satu komputer warnet tersebut.

Reaksi yang kemudian terlihat dari orang tua  siswa tersebut adalah menangis meraung-raung, mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan berbagai ungkapan kekecewaan terhadap anaknya tersebut.

Berita tersebut hanya menyoroti orang tua, khususnya para ibu yang datang melakukan razia terhadap wanet tersebut.

Pertanyaan-pertanyaan saling berkaitan pun bermunculan dalam benak:

Mengapa siswa suka untuk membolos sekolah? Mengapa mereka  lebih memilih untuk bermain di warnet ketimbang  belajar bersama para guru? Mengapa sekolah tidak disukai oleh siswa? Cukupkah bagi para orang tua dengan memarahi anaknya karena membolos?


Mari kita telusuri akar permasalahan.

Sekolah adalah institusi pendidikan yang menjadi sarana bagi pencerdasan anak bangsa.  Jabaran yang lebih lengkap  mengenai tujuan pendidikan disebutkan dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Bab II pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan  untuk “mengembangkan  potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari peristiwa yang disorot oleh media tersebut, jelas menunjukkan bahwa anak didik belum mampu untuk menjadi siswa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka meninggalkan kelas yang seharusnya menjadi tempat mereka mencari ilmu, tempat untuk mencerdaskan diri mereka sendiri. Ketika mereka meninggalkan sekolah di saat jam belajar, itu sama artinya bahwa mereka juga telah membohongi orang tua dan guru mereka.

Apakah ini kesalahan anak sepenuhnya?
Patutkah orang tua/ guru memarahi dan menghukum anak-anak yang bolos ini?

Tidak sederhana menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Berbicara tentang sekolah, tidak hanya semata-mata bicara tentang guru dan siswa. Ada banyak hal yang harus menjadi perhatian semua pihak. Terutama harus menjadi perhatian bagi pihak-pihak penyelanggara pendidikan di sekolah. Berbicara tentang sekolah berarti berkaitan dengan lingkungan sekolah, sistem yang ada di sekolah, infrastruktur yang ada di sekolah, para penyelenggara pendidikan di sekolah yang meliputi: guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan staf lainnya. Kesemuanya itu menjadi pendukung kelancaran kegiatan di sekolah.

Jika lebih dicermati lagi, maka kita akan melihat bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah ditujukan bagi anak-anak didik. Bagi anak-anak bangsa yang akan menjadi generasi penerus keberlangsungan negeri ini. Jadi, anak didik seharusnya menjadi sentral dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Bukan semata-mata objek yang bisa diperlakukan sekehendak orang dewasa. 

Kesadaran akan hal ini seharusnya mendorong semua pihak agar memaksimalkan usaha agar anak berkenan, mau dan bisa dididik di sekolah dengan baik, sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan  para orang tua dan guru dan terutama sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Namun, pada kenyataan sekarang ini, Mendorong anak untuk mencintai sekolah itu tidak mudah. 

Dunia sekolah lebih sering dipersepsikan oleh siswa didik sebagai tempat yang tidak asyik/ tidak menyenangkan, belum lagi mereka berpikir dengan banyaknya tugas dan pekerjaan rumah,  pelajaran yang tidak disukai, guru yang membosankan, guru yang killer, dsb.  

Semua itu mendorong anak lebih memilih berada di tempat bermain dari pada di sekolah. Era sekarang ini,  anak didik lebih tertarik berada di warnet untuk bermain game. Di warnet mereka bisa bermain apapun, tentu saja semua cuma dalam bentuk virtual. Ketiadaan lahan nyata untuk bermain/ berolah raga juga membuat anak  minim pilihan untuk bermain yang menyenangkan dengan teman-temannya.

Mengapa anak lebih memilih bermain game di warnet dari pada mereka belajar di sekolah? Jawaban yang sudah pasti adalah bahwa bermain di warnet lebih menyenangkan dari pada belajar di sekolah. 

Dari sini kita bisa melihat, ada yang hilang dalam dunia pendidikan kita. ‘Sekolah/belajar kalah menyenangkan dari warnet’, atau ‘sekolah bukan tempat menyenangkan bagi anak’.

Perlu kiranya kita semua memahami tentang dunia anak, persepsi dan kemampuan penalaran anak. Apa yang dilakukan oleh anak lebih sering masih bersifat emosi belum menyentuh pada kesempurnaan nalar orang dewasa. 

Anak sesugguhnya sosok yang belum matang nalarnya. Dengan masih kental sifat kekanak-kanakannya ia hanya akan mengikuti kemana kesenangan yang ia dapat. Mereka tidak pernah bisa berpikir lebih jauh dampak dari sikap bolos sekolah mereka terhadap masa depan mereka. Orang-orang dewasalah yang seharusnya bisa memahami kondisi mereka. 

Anak-anak sekarang memang memiliki postur tubuh yang besar, namun cara berpikir mereka tetaplah masih sederhana, mereka masih tetaplah sebagai anak-anak yang butuh bimbingan. Jadi jangan terjebak menilai bahwa mereka sudah dewasa, hanya karena mereka bertubuh besar.

Yang seharusnya bisa dipahami adalah bahwa kesalahan yang terjadi pada anak  didik adalah cermin bagi orang tua/guru untuk mengintrospeksi diri terhadap pendidikan maupun penyelenggaraan pendidikan bagi anak didiknya.

Keengganan anak pada sekolah biasanya karena mereka tidak mendapatkan kenyamanan ketika berada di kelas/ sekolah. Bahkan kadang mereka justru merasa ketakutan ketika berada di sekolah, diantaranya seperti takut terhadap PR yang belum mereka kerjakan, takut terhadap tugas-tugas yang menumpuk sementara mereka belum mengerti pelajarannya, takut terhadap kata-kata kasar gurunya yang bisa mempermalukan mereka di kelas, takut hukuman, bosan dengan pelajaran, bosan dengan cara guru mengajar, dsb. 

Semua permasalahan yang mereka rasakan tidak ada jalan keluarnya bagi mereka. Karena pendidikan kita-baik di rumah maupun di sekolah- seringkali monolog, kalau tidak mau dikatakan bahwa kita orang dewasa seringkali bertindak secara otoriter. Anak/ murid  tidak boleh protes, tidak boleh membantak, tidak boleh mengeluh, harus menuruti semua perkataan orangtua/guru. Kebuntuan komunikasi dengan orang tua dan guru mendorong  anak mencari sendiri cara penyelesaian sesuai dengan kemampuan dan kemauan  mereka. Solusi yang mereka ambil tanpa pernah memikirkan apa dampaknya. Akhirnya yang sering kita saksikan adalah anak-anak yang lebih  memilih  bermain game di warnet pada jam-jam seharusnya mereka berada di sekolah.

JIka saja para orang tua, para guru, para penyelenggara pendidikan berusaha memahami kondisi anak didik. Mereka pasti berusaha mencari tahu bagaimana cara memotivasi anak didik agar mau belajar di sekolah. Jika anak didik  mau datang ke sekolah dengan penuh motivasi, dengan senang hati, tentunya akan dengan mudah meminimalisir kejadian bolos sekolah. Sekalipun anak suka bermain game mereka akan berusaha mengendalikan keinginan mereka dan tidak ingin meninggalkan sesi pelajaran di kelas/di sekolah yang menyenangkan mereka.

Harus disadari bersama, bahwa masalah yang terjadi pada anak didik adalah menjadi tanggung jawab bersama yang harus bisa diatasi baik oleh orangtua maupun para guru di sekolah.

Pihak  guru dan para penyelenggara pendidikan di sekolah harus mampu menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan bagi siswa didik. Membuat anak didik selalu rindu untuk datang ke sekolah. Keramahan para guru, kepala sekolah dan staf ; kenyamanan lingkungan sekolah ; komunikasi dialogis yang santun antara murid  dan  guru di lingkungan sekolah ; tidak ada hukuman tanpa dibahas bersama siswa didik; semua itu akan memangkas banyak persoalan yang dihadapi anak-anak didik di sekolah. Mereka akan lebih memilih sekolah dibandingkan berada di lingkungan lain yang tidak mereka kenal dengan baik.

Pihak Orang tua harus bertanggung jawab agar bisa mengkondisikan sehingga anaknya mencintai sekolahnya, suka untuk bersekolah. Orang tua  tidak cukup hanya dengan memarahi anak yang membolos tersebut, bahkan seringkali kemarahan orang tua bisa menimbulkan masalah baru , karena hasil dari dimarahi itu bisa dua, jadi penurut atau membangkang. Jadi, ada baiknya dipikirkan cara lain untuk mendisiplinkan anak yang telah melakukan kesalahan. Kemarahan orangtua harusnya tetap dalam koridor ingin memberikan yang terbaik bagi anak, bukan hanya sekedar emosi yang tak bertepi sehingga anakpun bingung atau gusar mensikapinya.

Yang harus dilakukan orang tua jika kedapatan anaknya bolos dan asyik bermain di warnet adalah ajak anak berbicara baik-baik dan cukuplah pembicaraan itu antara anak yang bersangkutan dengan orang tuanya. Perlu diperhatikan juga bahwa masalah anak bukan untuk disebar luaskan ke pihak-pihak yang tidak berkepentingan, hargai privasi anak, jangan  permalukan anak dengan kesalahan yang sudah ia perbuat. 

Jangan langsung menyalahkan dan memarahi, tetapi  perlu ditanya kan alasannya mengapa anak lebih memilih bermain warnet dari pada belajar di sekolah. JIka orangtua memberikan kenyamanan pada anak saat melakukan dialog tersebut, maka informasi pun akan mudah digali dari anak, karena ia tidak takut untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan, karena ia yakin bahwa orangtuanya cukup baik menghadapi dirinya. Jika orangtua sudah menemukan akar permasalahan dan juga apa yang dirasakan oleh anak  maka bantulah  mencarikan solusi bagi anak. 

Bantulah agar anak  bisa termotivasi kembali untuk mau belajar di sekolah. Kehadiran orangtua yang memberi solusi bagi anak sesungguhnya obat mujarab terhadap permasalahan yang dihadapi anak-anak saat ini. Terlebih bagi anak yang menginjak remaja dengan segudang masalah yang dihadapinya, belum lagi dengan sikap mereka yang masih sangat egosentris seolah-olah hanya merekalah yang paling banyak masalahnya. Namun, dengan hadirnya orangtua yang siap mendampingi mereka dalam mengarungi masalahnya akan meringankan langkah mereka untuk mau diajak kepada kebaikan.

Depok (menuju) Kota Layak Anak

            Satu slogan yang terdengar begitu indah, hingga mampu menentramkan hati orangtua manapun yang mendengarnya. Satu komitmen untuk menciptakan kota di mana setiap anak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun spiritualnya. Tidak ada kekerasan baik fisik, psikis, seksual, ekonomi, ataupun berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya.  
Anak dapat bebas bermain di taman-taman bermain yang tersebar disetiap  sudut kota tanpa ada rasa takut akan ada yang mengganggu atau menculiknya. Anak memiliki wadah untuk  dapat mengekspresikan minatnya dalam bidang olahraga, seni, dan berbagai bentuk aktivitas lain yang mengasah kreativitas mereka.
Ada banyak perpustakaan dengan buku-buku yang luar biasa banyak dan menarik sehingga dapat mendorong minat mereka untuk membaca. Anak tidak lagi hanya kecanduan main game  online di warnet karena telah begitu banyak sarana bermain di luar ruangan atau di dalam gedung yang dapat mereka gunakan dengan gratis.
Anak  bebas menggunakan waktu luangnya, anak bebas bermain dengan teman-teman sebaya tanpa harus dipaksa para orangtuanya untuk mengikuti berbagai les yang tidak diinginkannya. Orangtua yang sangat mengerti keadaan anaknya, selalu penuh perhatian terhadap kebutuhan fisik, mental, dan spiritual anak-anaknya.  
Anak senang datang ke sekolah untuk menimba ilmu dari para gurunya yang tidak pernah berkata kasar, yang tidak pernah mengecap mereka dengan perkataan tak bernurani seperti bodoh!, tolol! Pada saat sang murid tidak bisa mengerjakan tugas. Para guru pun sangat memahamai kondisi psikologis tiap anak, mereka tidak menghukum muridnya dengan kekerasan, dan mereka selalu siap untuk menjadi orangtua yang mengayomi peserta didiknya selama di sekolah. Para guru selalu memberi motivasi kepada muridnya dengan cara yang menggugah dan luar biasa. Mereka senantiasa sabar, dan para guru ini pun dicintai murid-muridnya sehingga murid-murid pun senantiasa ingin meniru perilaku baik gurunya.
Murid tidak melakukan ’bully’ satu sama lain, serta masih banyak lagi yang bisa diceritakan mengenai bagaimana kondisi sebuah kota yang layak bagi anak.
            Mungkin para pembaca akan berpikir bahwa saya seperti sedang berkhayal dan itu semua hanya angan-angan belaka. Tapi sebenarnya memang itulah yang dicita-citakan oleh Peraturan Daerah (Perda) tentang penyelenggaraan kota layak anak yang telah di tuangkan dalam Perda no.15 tahun 2013. 
Sebuah cita-cita yang sangat mulia, adakah yang ingin menolaknya?
Saya yakin tidak akan ada satu orangtuapun yang hendak menolak akan hadirnya kondisi ideal yang telah saya jabarkan di atas. Sudah sewajarnya pula tidak ada yang  menolak  Perda kota layak ini. 
Perda yang memuat banyak sekali poin penting yang menjadi tugas tak terpisahkan dari tugas hampir seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ada di kota Depok. Sungguh luar biasa jika Perda ini bisa terimplementasikan secara maksimal. 
Hampir semua hal terkait dengan anak dan hak-haknya terdeskripsikan dalam Perda tersebut. Bahkan sanksi terhadap para pelanggar hak-hak anak pun tertuang di dalamnya. Apa yang menjadi amanah dari Konvensi Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa  (KHA PBB)  agar  hak  anak  terpenuhi dan anak mendapat perlindungan yang maksimal menjadi perhatian penuh dalam pembuatan Perda tersebut.
            Saya yakin, pembaca pasti banyak yang bertanya-tanya dengan impian yang terkesan terlalu ‘muluk-muluk’ di atas. Mengapa? Karena pada kenyataannya Kota Depok pada saat ini masih jauh dari apa yang sebenarnya ia cita-citakan. Kekerasan terhadap anak kerap terjadi dimana-mana dan dalam bentuk yang sangat beraneka ragam—bervariasi.  Kasus-kasus kekerasan ini menjadi sesuatu  yang paling mencolok dan menimbulkan pertanyaan banyak pihak sekaligus juga bersifat kontra produktif dengan keberadaan Depok sebagai Kota Layak Anak .
Kekerasan yang dialami atau  bahkan yang dilakukan oleh anak hampir menyamai dengan kekerasan yang dilakukan oleh para orang dewasa. Semakin hari jumlah  kekerasan yang terjadi tidaklah berkurang. Kita bahkan sering  melihat kasus kekerasan kembali terjadi melalui pemberitaan di berbagai media. 
Kalau toh tidak berbicara kekerasan, rasa-rasanya banyak juga sarana/ fasilitas umum bagi anak yang kondisinya masih jauh dari kata memadai. Anak-anak seperti kekurangan arena dan sarana untuk mengeksplorasi diri atau untuk sekedar bermain baik itu secara bebas, aman, dan gratis.
Masih kita temui sekolah yang membuat siswanya merasa takut. Takut masuk ke kelas karena gurunya galak, suka menghukum hanya karena sebuah kesalahan kecil, takut karena ada teman yang suka memalak, hingga teman yang suka melakukan bullying.
Sarana untuk berolahraga dan melakukan kegiatan seni juga masih sangat   minim sehingga larilah anak-anak secara berbondong-bondong menjadi pelanggan warnet 24 jam untuk bermain game online. Jika mau disebutkan lagi, masih sangat banyak kondisi-kondisi yang dialami, dirasakan, dan yang dihadapi anak  yang rasanya  masih begitu jauh dari kondisi ideal sebuah kota yang layak anak.
Menciptakan Kota Layak Anak
Satu hal yang bisa kita yakini adalah bahwa ketika pemerintahan Kota Depok ingin mencanangkan Depok (menuju) Kota Layak Anak, maka semua hal ideal di atas tentunya akan menjadi PR bagi pemerintah. Namun jangan dilupakan juga bahwa anak  menjadi  tanggung jawab semua pihak, dengan demikian penegakan Perda Kota Layak Anak pun menjadi tugas bagi semua pihak termasuk orangtua, keluarga, pendidik, masyarakat luas, serta dunia usaha.  
Di atas itu semua, ada satu hal atau peranan yang tidak bisa digantikan  oleh pihak manapun juga. Hal itu adalah bahwasannya terwujudnya kota layak anak akan sangat dipengaruhi oleh keberpihakan pemerintahan Kota Depok dalam mewujudkan berbagai  kebijakan, sarana dan prasarana, serta berbagai perangkat lainnya yang menunjang kesuksesan terbentuknya sebuah kota layak anak.
Namun sudah seharusnya tidak dilupakan bahwa peran dan tanggung jawab orangtua sebenarnya memiliki andil terbesar dibandingkan dengan peran-peran pihak lain secara langsung terhadap anak. Hal ini seharusnya bisa disadari oleh para orangtua. Orangtua berkewajiban untuk  memenuhi kebutuhan anak dan itu tidak hanya pemenuhan kebutuhan materi, tidak hanya terpenuhinya  kebutuhan yang bersifat kebendaan,  tetapi juga kebutuhan anak akan pemenuhan  aspek psikologis, moral dan spiritual.
Seorang anak sangat membutuhkan perhatian penuh dari orangtuanya. Selain itu anak juga membutuhkan kondisi di mana ia bisa diterima apa adanya dengan segala tingkat kecerdasannya, tinggi rendahnya tingkat intelegensinya, juga pintar tidaknya anak tersebut dalam suatu bidang tertentu. Anak diterima perasaannya sehingga dia menjadi anak yang bisa menerima keadaan dirinya dengan damai, didengarkannya segala keluh kesahnya dan diobatinya segala kegundahannya sehingga ia akan merasa nyaman  ketika  ia berada di rumah.
Orangtua seharusnya mengerti akan kebutuhan psikologis sang anak, begitu juga dengan kebutuhan anak akan nilai-nilai moral, spiritual. Orang tua tidak begitu saja membiarkan anak lepas kontrol tanpa kendali moral dan agama. Hal  tersebut sangat penting bagi anak  agar ia tahu batasan kehidupan sosial yang benar dan yang salah, dan mereka pun memiliki rambu-rambu dalam kehidupannya.
Berawal dari sebuah keluarga yang dapat menjalankan fungsinya dengan benar, akan berdampak positif dalam kehidupan anak di luar rumah baik di sekolah maupun di masyarakat. Jika semua itu juga didukung oleh peran serta pemerintah Kota Depok dalam pemenuhan hak-hak anak. Pemerintah kota Depok yang mengedepankan pemenuhan  kebutuhan  sarana, prasarana dan fasilitas lain yang pro-anak , tentunya dengan melibatkan peran serta dunia usaha / pihak swasta yang ada di kota Depok, maka slogan Depok kota layak anak akan benar-benar dapat terealisasi secara nyata. Pada akhirnya  indahnya slogan tersebut  akan benar-benar bisa  dirasakan oleh semua lapisan masyarakat di kota Depok.

Penulis: Ena Nurjanah S.Psi., M.Si.
Sekretaris P2TP2A Kota Depok
Artikel ini pernah dimuat Harian Radar Depok, edisi jum'at-sabtu/11-12 April 2014


Wakil rakyat yang peduli Anak

            Dalam hitungan hari, tepatnya tanggal 9 April 2014 rakyat Indonesia akan melangsungkan pemilihan umum bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Seluruh rakyat Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih (dan yang terdaftar dalam DPT) akan memilih para wakilnya di DPR RI, DPRD I, DPRD II, dan DPD. Sungguh suatu momentum yang langka, karena memang hajatan ini hanya berlangsung 5 tahun sekali, dan juga bersifat sakral karena rakyat dengan penuh kesadaran dari hati nurani, tanpa paksaan, dan dengan kebulatan tekadnya, membuat pilihan terhadap mereka yang dirasa pantas untuk mewakili rakyat di parlemen. Rakyat akan menyerahkan hajat dan kepentingannya kepada para calon anggota legislatif. Para caleg yang nantinya diharapkan bisa menyuarakan kepentingan rakyat dan bisa mendorong kebijakan yang seharusnya dapat mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
            Hampir sepertiga dari rakyat Indonesia adalah mereka yang masih anak-anak. Berdasarkan data BPS tahun 2011 lalu, anak-anak di Indonesia yang berusia 0-17 tahun memiliki proporsi sebesar 33,9 persen dari total seluruh penduduk Indonesia.
Untuk wilayah Depok, jumlah anak-anak berada pada angka 34,32 persen atau sekitar 622.425 jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari penduduk Kota Depok belum mempunyai hak pilih (menurut UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, bahwa yang dikatakan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun memang  sebagian kecil dari anak, yaitu  yang berusia 17 tahun ke atas sudah memiliki hak pilih berdasarkan peraturan yang ada dalam Pemilu ).
Sebagian besar anak di kota Depok  belum memilik hak pilih. Namun itu tidak berarti bahwa mereka menjadi kelompok yang terabaikan. Kehidupan dan keberlangsungan mereka pun ikut dipertaruhkan ketika masyarakat yang telah memiliki hak pilih ini memilih wakil rakyat mereka.
Anak-anak harus mendapatkan perhatian semua pihak. Anak-anak adalah aset bangsa yang harus diperjuangkan keberadaannya karena mereka yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Keberlangsungan negeri ini nantinya akan sangat tergantung dengan bagaimana para pemimpin bangsa dan para wakil rakyat memperjuangkan hak-hak mereka pada saat ini.
            Negara-negara yang sudah maju memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap kesejahteraan anak. Mereka sangat memperhatikan hak-hak setiap anak dan berusaha memperjuangkannya. Negara-negara maju ini menyadari sepenuhnya bahwa mereka harus bisa mempersiapkan generasi yang unggul yang akan menjadikan negara mereka semakin  terdepan dalam memimpin bangsa.
            Indonesia sebagai sebuah negara yang besar seharusnya juga memiliki kepedulian terhadap anak-anak. Anak-anak sebagai aset bangsa yang besar harus mendapatkan prioritas dalam kebijakan pemerintah. Dengan demikian para pemimpin Indonesia haruslah mereka yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap hak-hak dan kepentingan anak-anak Indonesia.
            Para calon wakil rakyat seharusnya mengetahui bahwa Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (KHA PBB). Konvensi Hak  Anak merupakan perjanjian Internasional yang mengatur pemenuhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya bagi anak.
Sebagai negara yang sudah meratifikasi konvensi hak anak, maka Indonesia terikat untuk menjalankannya sesuai dengan hukum internasional. KHA ini juga menegaskan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) berlaku bagi semua tingkatan usia, perlunya peningkatan standar HAM agar lebih sesuai dengan anak-anak guna mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak-anak.
            Perlindungan anak pada hakekatnya tidak hanya memberikan perlindungan terhadap anak, tetapi juga memberikan perlindungan kepada bangsa agar tetap memiliki SDM yang berkualitas sehingga tetap mampu menjadi sebuah negara yang berdaulat.
Kepedulian para calon wakil rakyat terhadap perlindungan anak sebagai sebuah kemestian yang tidak bisa ditawar lagi. Jangan sampai ada para calon wakil rakyat yang tidak peduli terhadap perlindungan anak, atau bahkan termasuk sebagai pelanggar hak anak. Mungkin perlu kita cermati lagi apabila kita menemukan calon wakil rakyat yang berperilaku demikian.
            Kepedulian Indonesia sebagai negara yang sudah meratifikasi KHA PBB dituangkan dengan keluarnya UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebuah capaian kebijakan  yang menggembirakan bagi kemajuan dan kesejahteraan anak Indonesia. Harapan sangat besar tertumpu pada Undang-Undang ini yang memuat hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh negara. UU ini juga berisi tentang perlindungan yang maksimal bagi anak, termasuk juga sanksi pidana bagi para pelanggar akan hak-hak anak.
            Keberadaan UU Perlindungan anak ini  sudah memasuki usia 12 tahun, namun ternyata gaungnya masih sangat kecil. Undang-undang ini hanya di pahami oleh kementerian atau lembaga-lembaga yang langsung bersentuhan dengan urusan anak, selebihnya tidak ada yang tahu-menahu perihal UU Perlindungan Anak ini. Hal itu pun menyebabkan banyak pihak yang menjadi tidak paham dengan pentingnya sebuah perlindungan anak. Dengan demikian perjuangan untuk membela hak-hak anak pun hanya ada pada segelintir orang saja.
Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan jika pada akhirnya hak-hak anak tetap saja termarjinalkan oleh kepentingan orang-orang dewasa. Sungguh sangat menyedihkan jika SDM masa depan bangsa menjadi tidak mendapatkan prioritas dalam setiap  aspek pembangunan negeri ini.
            Khusus di kota Depok, patut diacungkan jempol untuk para pimpinan dan anggota DPRD Kota Depok yang telah membuat Perda no 15 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak (KLA).  Langkah awal yang sangat baik karena sudah menjadikan pengarusutamaan hak anak dalam setiap kebijakan ditiap dinas/badan pemerintahan kota Depok.
            Kehadiran perda KLA ini adalah wujud nyata dari kesadaran pemerintahan Kota Depok bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi KHA PBB.  Hanya sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan. Sudah siapkah setiap instansi pemerintah Kota Depok untuk menjalankan kebijakan yang pro-anak?
Anggota DPRD Kota Depok juga seharusnya terus mengawal implementasi Perda ini, bukan lalu membiarkan saja perda ini berjalan tanpa kontrol, karena bisa jadi tanpa adanya pengawasan, maka  kebijakan Perda KLA ini hanya akan bagus dan ideal di atas kertas saja.
            Peran masyarakat tidak kalah pentingnya dalam mengawal Perda KLA ini. Jika masyarakat kota Depok menginginkan  perlindungan anak yang maksimal bagi anak-anak mereka tentunya masyarakat pun harus ikut berperan aktif untuk mengawasi dan mencermati kebijakan ini.
Peran masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para pemangku kebijakan di Kota Depok. Masyarakat kota Depok bisa menyuarakan aspirasinya terhadap para calon pemimpin kota depok  yang pro-anak dengan mulai melihat track record calon pemimpin Kota Depok dan hanya akan memilih para calon pemimpin, calon anggota Dewan yang memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap hak-hak anak dan perlindungan anak. Selamat memilih calon pemimpin yang pro-anak!

Penulis
Ena Nurjanah
Sekretaris P2TP2A kota Depok

Artikel ini pernah dimuat di harian MONITOR DEPOK  kolom opini edisi Selasa, 8 April 2014