Tampilkan postingan dengan label Kepentingan terbaik bagi anak. Tampilkan semua postingan

Pahami Anak, Cegah Terjadinya Kekerasan



Dalam liputan sebuah berita, diceritakan tentang seorang anak yang pingsan akibat pukulan temannya di sekolah.

Di tempat lain, ada pengaduan tentang  seorang  anak yang  takut untuk datang ke sekolah dan selalu mencari-cari alasan untuk tidak sekolah. Sampai akhirnya masalahnya terungkap, hal tersebut   disebabkan karena guru kelasnya yang kerap melakukan kekerasan fisik setiap kali muridnya melakukan kesalahan.

Di sebuah sekolah yang dilaksanakan full day, seorang anak laki-laki kelas 1 SD  dengan tiba-tiba menceritakan kepada orangtuanya kalau ia selalu disuruh oleh teman sekelasnya untuk melakukan hal yang tidak wajar dilakukan anak seusianya; yaitu membuka celananya.
   
Ada lagi siswa SMP yang berubah drastis menjadi tertutup, sensitif, juga gampang  marah. Setelah cukup lama dicari akar masalahnya, akhirnya ia mengakui bahwa ia pernah dipaksa oleh gurunya untuk membuka jilbab saat pengambilan foto ijazah. Ia kecewa karena pihak sekolah tidak memenuhi permintaannya  agar diizinkan tetap memakai jilbab. Ia  merasa  sangat malu karena sekarang teman-temannya tahu kalau  rambutnya semi botak akibat penggunaan perias rambut secara berlebihan untuk keperluannya tampil beberapa tahun lalu.

* * *

Hal di atas barulah sebagian kecil kejadian-kejadian di sekolah. Peristiwa 'kekerasan' pada anak sekarang ini justru mulai banyak terjadi di sekolah. Itu adalah apa yang sudah terberitakan melalui media, namun tidak sedikit juga yang melaporkan kasus ke lembaga-lembaga perlindungan anak.  

Kekerasan yang terjadi di sekolah bisa dilakukan oleh guru, teman, maupun staff sekolah. Korbannya sudah pasti adalah siswa sekolah. Kekerasnnya pun bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.

Fakta yang ada menunjukkan bahwa Anak adalah sosok yang sangat rentan menjadi korban dari tindak kekerasan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini anak pun cukup berpotensi untuk menjadi pelaku dalam tindak kekerasan di sekolah. 

Untuk anak yang menjadi pelaku dari tindak kekerasan, pada hakekatnya dia adalah korban. Korban dari para orang dewasa yang menjadi penanggungjawab akan dirinya, juga  korban dari lingkungan sekitarnya. 

Kemampuan yang dominan dari seorang anak adalah menerima stimulus inderawinya dengan sangat baik. Anak melihat, mendengar, merekamnya kemudian ia menirunya. 

“Luar BIasa ! “ Semua kejadian mampu dicontoh persis bahkan dengan tambahan variasi imajinasinya. Anak belum punya filter yang kuat untuk menilai baik buruk input yang masuk melalui panca inderanya.  Kemampuan menilai  baik buruk adalah proses hasil belajar yang diberikan oleh orang dewasa, dalam hal ini  orang tua, guru atau orang dewasa lain yang  bertanggung jawab terhadap dirinya.

Patut dipahami bahwa anak adalah manusia yang masih memiliki banyak keterbatasan. Dari segi penalaran, kemampuan daya nalar anak masih belum matang, baik penalaran yang bersifat kognitif maupun yang bersifat penalaran moral.  Kemampuan penalarannya  masih terus berproses dan masih harus terus dibimbing oleh orang dewasa agar ia semakin kompeten dan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. 

Kematangan  emosi anak juga masih rendah. Ia butuh pengarahan, latihan, dan bimbingan agar ia semakin mampu melakukan pengendalian terhadap emosinya.

Sekolah adalah lingkungan kedua setelah lingkungan rumah.  Di sekolah anak akan belajar banyak hal. Sepatutnya sekolah bukan semata-mata tempat untuk menuntut ilmu tetapi juga tempat bagi anak untuk belajar banyak hal. 

Belajar bersosialisasi, belajar mengendalikan berbagai emosinya agar berkembang menjadi sosok yang semakin matang secara emosi, belajar  menerapkan nilai-nilai moral yang didapat dari rumahnya, belajar ketrampilan hidup (life skill), dan masih banyak lagi pelajaran yang didapat dari lingkungan keduanya itu.

Dalam pembahasan kali ini, saya akan coba memfokuskan kepada masalah perkembangan emosi pada anak-anak.

Saat anak berada di sekolah, ia menyerap banyak hal dalam kesehariannya, baik itu yang baik ataupun yang buruk. Yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Yang memuaskan ataupun yang mengecewakan. Yang membanggakan ataupun yang menghancurkan harga dirinya. 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya ketika anak pulang dari sekolah ada orang tua yang selalu menyambut kepulangannya. Kalau orangtua bekerja, tetaplah minta bantuan kepada siapapun orang dewasa yang dipercayakan oleh orang tua mereka (bisa pembantu, nenek, dll) dan mintalah mereka menyambut kepulangan anak mereka dari sekolah dan menanyakan keadaannya pada hari itu. 

Luangkan waktu untuk menyapanya,  menanyakan bagaimana kegiatan di sekolah hari itu. Jika orangtua bekerja maka sebaiknya tetap menyapa anak mengenai keadaan di sekolahnya saat orangtua pulang kerja. 

Sebaiknya  para orangtua tidak hanya menanyakan pelajaran dan pekerjaan rumah anak, tapi juga menanyakan perasaan anak hari itu di sekolah. Pendekatan kepada anak bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti dengan bertanya, ngobrol, bercanda, dll.  

Suasana harmonis yang tercipta antara anak dan orangtua akan menghilangkan hambatan komunikasi antara anak dengan orangtuanya.

Kadang kala, anak yang lelah dari sekolah tidak menjawab dengan sepenuh hatinya. Kita tidak perlu memaksa anak untuk menjawab dan bercerita panjang lebar, kadang-kadang anak yang malas bicara hanya mengatakan “hmm...” atau “yaah.. gitu deh..” . 

Kita tidak perlu berkecil hati atau kecewa. Dengan adanya pertanyaan tersebut, sudah menunjukkan pada anak bahwa kita selalu hadir untuk mereka. Anak akan merasa bahwa kejadian-kejadian yang di alaminya selama di sekolah bisa ia bagi kepada orang-orang di rumah terutama kepada kedua orangtuanya, bukan kepada orang lain. 

Kesiapan orangtua untuk menyediakan waktu berbicara kepada anak dan adanya keterbukaan sikap dari orangtua akan mendorong anak menjadi terbuka juga dengan orang tua mereka. Anak-anak tidak akan takut bercerita apapun mengenai keadaan mereka saat mereka tidak berada di dekat orang tua mereka.  

Keberanian untuk mengungkapkan apapun yang mereka  rasakan selama di sekolah akan sangat bermanfaat dalam mengungkapkan banyak kejadian yang mereka alami, baik itu kejadian yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal ini  akan memudahkan para orang tua untuk memahami keadaan dan perkembangan anak-anaknya. 

Berangkat dari kasus-kasus yang dialami oleh anak, biasanya kejadian tersebut bukanlah suatu peristiwa yang tejadi secara kebetulan pada saat itu. Selalu ada rangkaian kejadian sebelumnya yang melatar belakangi sebuah peristiwa besar.

* * *

Berbagai tindak kekerasan yang terjadi pada anak bisa jadi merupakan bahan evaluasi bagi para orangtua di rumah (walaupun tentunya juga bahan evaluasi bagi semua pihak termasuk pihak sekolah). Sudah sejauh mana mereka memahami anak-anak mereka?  Sudahkah mereka mengajak anak mereka berbicara tentang perasaan-perasaan anak mereka selama berada di sekolah, bagaimana hubungan  anak  dengan teman-temannya? Sudahkah mengajarkan anak-anak bagaimana mengatasi situasi yang membuat ia marah, kecewa, takut dan lain sebagainya.

Yang perlu menjadi bahan evaluasi bagi para orangtua adalah bahwa orangtua sering melakukan kesalahan dalam memahami dan mengajarkan cara mengatur emosi yang ada pada anak-anak mereka. Orang tua sering  melakukan emotion dismissing (penghilangan emosi). Bentuk penghilangan emosi diantaranya adalah dengan mengabaikan emosi yang dirasakan oleh anak.

Sebagai contoh, saat anak berwajah muram, orangtua cenderung membiarkannya, tidak ditanya mengapa ia berwajah muram? Ada masalah apa? Apa yang dirasakan saat itu? Emosi apa yang ada? Sedihkah Marahkah? Kecewakah? Contoh lainnya adalah menolak emosi yang muncul tersebut. Misal, setiap emosi negatif yang muncul dari anak selalu disikapi dengan penolakan dari orangtua. Melihat anaknya muram malah dimarahi, dibilang cengeng, manja, dll. Selain itu juga bisa berupa mengubah emosi yang dirasakan anak. Jika anak muram atau sedih, orangtua bukannya berusaha mencari tahu masalahnya namun justru segera menghilangkan emosi tersebut dengan mengalihkannya dari masalahnya dengan mengajaknya bercanda, bermain, dll  sebelum dicari tahu apa yang dirasakan anak, serta permasalahan apa yang dihadapinya.

Seharusnya orangtua bisa melakukan Pendekatan Emotion Coaching (pelatihan emosi) untuk membantu anak-anak dalam mengatur emosinya. Lihatlah emosi negatif yang dialami anak seperti marah, sedih, kecewa sebagai kesempatan untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola dan mengendalikan emosi negatif tersebut. 

Membantu anak memberi label atau menamai emosi yang dirasakannya,  kemudian melatih anak bagaimana mengatasinya dengan cara yang efektif.

Mudah-mudahan para orangtua semakin peduli dengan perkembangan emosi anak-anak mereka, sehingga anak akan merasakan kehadiran orangtua mereka dalam setiap masalah yang hadapi. Pada akhirnya, akan banyak solusi yang bisa diselesaikan anak dengan bantuan dan dukungan orangtuanya.


(Ena Nurjanah, 2015)

Mandulnya UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 (bag.1)




Belakangan ini, permasalahan anak tidak ada habis-habisnya. Baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku kekerasan/ kejahatan. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan/kekejaman para orang dewsasa. Anak korban pelecehan/ kekerasan seksual. Anak sebagai pelaku kekerasan. Anaksebagai  pelaku perbuatan pencabulan/pemerkosaan. Ada apa dengan anak-anak Indonesia?
            Rasa-rasanya ...negeri ini tidak kurang-kurangnya menunjukkan perhatian terhadap anak. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB  dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996, Indonesia juga sudah  membuat UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002.
            Tapi..apakah perhatian dalam bentuk tertulis saja  sudah cukup ??  Bagaimana  realisasi UU Perlindungan Anak itu? Sudahkah berjalan sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang itu? Siapakah yang menjadi pengawas untuk memastikan bahwa UU itu berjalan pada jalurnya?
            Sebagai aktivis/relawan yang selama ini mendampingi anak. Saya melihat banyak sekali terjadi ketidaksesuaian antara UU Perlindungan Anak dengan kenyataan terhadap perlindungan anak di Indonesia.
            Saya cenderung mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak ini mandul. Karena, hampir sebagian besar isi dari  Undang-Undang ini tidak  sungguh-sungguh untuk direalisasikan. Yang perlu mendapat perhatian kita juga, sejak disahkannya UU Perlindungan Anak tahun 2002 hingga saat ini belum pernah ada Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya  (ini adalah bunyi ayat  2 pasal 5 Bab III ‘Tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara’ dari UUD 1945, yang berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”). Kasihan sekali anak-anak Indonesia. Belum punya tempat yang layak untuk menjadi prioritas dalam pembangunan negeri ini.
            Banyak hal yang membuat hati rasanya tercabik-cabik jika melihat hak-hak anak dengan begitu mudahnya dilanggar hampir oleh semua orang yang mengatakan dirinya pintar, berpendidikan, bermoral. Demi alasan yang dicari-cari untuk kepentingan orang dewasa, sekali lagi ‘demi kepentingan orang dewasa’ bukan kepentingan terbaik bagi anak.
            Kita bisa saksikan sendiri pelanggaran itu. Pelanggaran yang sangat besar dan massif seiring dengan begitu banyaknya kasus kekerasan yang menimpa anak, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku (konteks anak sebagai pelaku pun sesungguhnya ia adalah korban dari kelalaian orang-orang dewasa).

 Yang paling mudah dan sangat kasat mata untuk dilihat oleh setiap orang adalah pelanggaran terhadap hak anak untuk dirahasiakan identitas dirinya ketika anak berada atau tersangkut masalah hukum.
Pasal 17 UU Perlindungan anak ayat (2) berbunyi “ Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Kemudian Pasal 64 ayat (2) point ‘g’ berbunyi “ Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui  Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Jelas sekali bunyi pasal tersebut dan tidak butuh penafsiran lagi. Namun dalam kenyataannya pasal ini sangat-sangat mandul, tidak ada artinya, tidak memberi dampak apapun bagi anak-anak yang berada dalam kondisi tersebut. Anak dibiarkan disorot habis-habisan diberbagai media. Ada yang wajahnya disamarkan ada juga yang dengan telanjang orang bisa tahu siapa anak itu. Kalaupun anak itu tidak diperlihatkan tetapi orangtuanya berbondong-bondong dikunjungi, dihadirkan ke media untuk berbicara di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Apakah dengan menghadirkan orangtua berarti anak tidak tertutupi identitasnya? Logika apa yang mengatakan anak dan orangtua tidak ada kaitannya. Namun pada kenyataanya semua itu  terus dan terus terjadi . Anak dibiarkan terlabelisasi sebagai korban kekerasan seksual. Anak dibiarkan dicap sebagai penjahat, pelaku kekerasan seksual ataupun pelaku kekerasan lainnya. Apakah pihak yang berlomba-lomba membuat berita itu tidak memikirkan kalau hal itu terjadi pada anak mereka?. Apakah mereka tidak berpikir bahwa anak-anak itu masih punya kehidupan yang panjang?. Bagaimana mereka menjalani hidupnya kelak dengan pelabelan yang melekat pada dirinya sepanjang hidupnya?
Padahal..dalam UU Perlindungan anak  jelas-jelas disebutkan dalam pasal 76 point (a) berbunyi : Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bertugas:.......dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi....sebenarnya ada yang diamanahkan dalam UU untuk menjadi pengawas. Tapi..lagi-lagi pengawasan ini tidak berjalan, KPAI tidak pernah menyatakan protes keras terhadap semua media yang menunjukkan wajah anak korban/pelaku kekerasan.  Termasuk tidak pernah ada teguran ke media ketika menghadirkan keluarga korban. Tidak pernah protes jika keluarga korban dihadirkan ke media. Tidak pernah protes ketika anak yang jadi korban pelecehan /kekerasan  seksual di wawancarai oleh para awak media. kenyataan malah anggota KPAI ikut hadir di media dan duduk satu forum dengan keluarga korban/pelaku kekerasan. Sangat sulit diterima akal  kalau pengawas malah bersikap sangat permisif terhadap  pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini bisa berdampak bahwa sesuatu yang harusnya dilarang menjadi  menjadi sesuatu yang normal. Sebuah kesalahan fatal dalam memperlakukan anak menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah. Kalau sudah begini, apakah UU nya yang salah? Sudah  tidak  relevan lagi dengan keumuman yang ada ?
Seharusnya kita mulai belajar dari negara-negara maju dalam memberikan perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).  Kita sering mendengar terjadi kekerasan seksual atau kekerasan penggunaan senjata baik menimpa pada anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku di negara-negara maju. Pernah kah kita melihat si korban atau si pelaku? Pernahkah kita lihat Korban, keluarga korban/pelaku yang di tanyai oleh wartawan? Pernah kah kita melihat rekonstruksi kekerasan itu di televisi. Kita tidak pernah tahu siapa korban dan siapa pelaku karena semua identitas sangat dirahasiakan demi kepentingan terbaik bagi anak, sebagaimana amanah dari Konvensi Hak Anak PBB.
Apa yang dituangkan dalam Undang-Undang tentunya sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang. Bukan hasil berpikir sesaat. Harusnya kita semua belajar untuk lebih menahan diri, terlebih bagi para  pekerja maupun aktivis perlindungan anak. Jangan menodai perjuangan kita terhadap anak. Kita tidak boleh tergoda dengan popularitas pemberitaan. Banyak cara yang lebih bijak untuk memberikan pelajaran bagi semua pihak, tanpa merugikan hak anak-anak. Jangan sampai para pekerja/ aktivis anak diibaratkan mencari popularitas di atas derita anak-anak.
Sadarkah kita semua. Apa sih manfaatnya mengeksploitasi identitas anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan ? Kecuali menaikan rating sebuah media/ stasiun televisi karena memenuhi hasrat manusia untuk selalu mau tahu urusan orang lain.
 Dengan adanya tayangan-tayangan yang vulgar mengenai kejadian kekerasan seksual atau kekerasan lainnya justru akan menambah pengetahuan tentang kekerasan pada anak. Karena,  apa yang selama ini tidak ada di benak anak-anak menjadikannya dengan mudah begitu saja hadir dengan menyaksikan beraneka tayangan kekerasan.
 Kemudian juga.. untuk apa anak harus ditanya-tanya oleh wartawan? Apa relevansinya dengan upaya 'pertimbangan yang terbaik bagi anak '? Kebaikan apa yang didapat anak? Sudah tertimpa masalah masih harus pula ditanya-tanyain oleh pihak yang tidak punya kepentingan apapun selain bisnis. Padahal jika cara nya tidak tepat, maka pada saat anak ditanya-tanya sama saja dengan menorehkan masalahnya semakin dalam didalam diri anak. 
Alasan untuk menjadi pelajaran dari berbagai kasus yang terjadi, rasanya terlalu dicari-cari. Hal ini karena yang terjadi justru malah peniruan-peniruan yang dengan mudah menginspirasi otak anak-anak. Padahal, masih banyak sekali  cara untuk mengambil pelajaran tanpa harus mengeksploitasi para ABH dan keluarganya. Kalau semua pihak menyadari betapa pentingnya masalah ini bagi anak-anak, saya yakin tidak ada yang tidak bisa untuk dilakukan. Kenyataan negara-negara maju mampu menjaga hak anak dari pemberitaan identitasnya di media, mengapa Indonesia  tidak ?.
Seharusnya anak menjadi  korban maupun pelaku hanya bisa ditanya oleh pihak Unit PPA dari kepolisian demi sebuah penyidikan dan penuntasan kasusnya, yang kedua oleh psikolog atau pendamping ahli  yang memang berkepentingan untuk memulihkan kondisi anak. Selebihnya anak harus dikembalikan pada kondisi semula, di hilangkan traumanya,  jiwa kanak-kanaknya jangan sampai hilang karena peristiwa yang dialaminya.
Kapan  yaa...kita  bisa saksikan anak-anak  di televisi maupun media  dalam konteks anak-anak yang bahagia, berprestasi dalam hal apapun tidak hanya prestasi bidang akademis. Tentu itu akan menginspirasi perilaku positif untuk anak-anak lain. Tak ada lagi peniruan perilaku kekerasan.
Kapan yaa??

To be continued...