Kesalahan Orangtua pada Remaja
Membesarkan
anak remaja memang pekerjaan yang sangat menantang. Banyak orangtua yang
berusaha keras menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi pada si
remaja, namun tidak sedikit juga orangtua yang berpikir sebaliknya: menganggap cara yang mereka lakukan adalah sudah yang terbaik. Mereka umumnya menolak untuk dikritik, merasa apa yang mereka lakukan sudah benar, sudah sama dengan apa yang dulu orangtua mereka lakukan.
“Yang namanya anak harus nurut apa
kata orangtua, titik!”
Begitu kira-kira pendapat sebagian besar para
orangtua.
Orangtua harus menyadari bahwa dunia sudah
berubah, dan akan terus berubah. Akan selalu ada kemajuan zaman dalam
setiap perkembangan laju kehidupan, juga perubahan cara membimbing remaja
seiring dengan perubahan zaman. Begitu juga dengan cara-cara menghadapi
si remaja harus ada penyesuaian dengan kondisi kekinian, walaupun
tentu saja nilai-nilai yang dianut atau dipegang suatu keluarga tetap
dijaga.
Remaja sekarang mendapatkan pengetahuan lebih
banyak dan akses mendapatkan informasi yang lebih mudah dibandingkan
dengan zaman dulu. Era keterbukaan informasi memudahkan remaja
mendapatkan pengetahuan namun sekaligus juga tantangan, karena di satu
sisi si remaja juga harus siap menghadapi gencarnya paparan budaya
permissive, budaya serba bebas yang bertentangan dengan budaya lokal.
Jika tidak hati-hati akan membuat si remaja terjerumus gaya hidup yang
salah.
Orangtua harus menyadari akan perubahan zaman
yang ada. Sehinga, tidak memaksakan penerapkan pola lama saat
menghadapi si remaja. Saat ini si remaja memiliki banyak pilihan
menghadapi kehidupannya disbanding zaman orangtua mereka. Si remaja
begitu mudah beralih mencari kehidupan yang menyenangkan bagi dirinya
bersama teman-temannya, jika ia merasa tidak nyaman dengan apa yang
dilakukan oleh orangtuanya. Orangtua yang hanya mau didengar tanpa mau
mendengar apa yang diinginkan anak, apa yang diharapkan anak, hanya
akan membuat anak semakin tertekan dan menjauh dari orangtua.
Bagi
remaja, kedekatan dengan teman-temannya menempati urutan pertama
dibandingkan dengan kedekatan dengan orangtua. Pada umumnya, masa
remaja masa ingin memisahkan diri dari orangtuanya dan tidak ingin
dianggap kanak-kanak lagi. Jadi, sangat bisa dimaklumi ketika para
orangtua bersikap otoriter terhadap remaja, maka semakin jauh lah mereka
dari orangtuanya. Bisa kita saksikan banyak remaja enggan untuk
berkomunikasi dengan orangtuanya yang mereka anggap keras, kaku, dan
kuper menurut bahasa mereka. Sehingga, saat ayah atau ibunya menelpon
atau berkirim pesan, jawaban si remaja pasti tidak lebih dari ”ya,
tidak atau tidak tahu”. Mereka jadi enggan berkomunikasi dengan orang
tua mereka. Beda hal nya ketika mereka bersama dengan teman-temannya,
bahkan waktu mereka seringkali habis hanya untuk berkumpul dengan
teman-temannya. Remaja juga menjadi lebih sulit untuk diajak orangtuanya
untuk ikut acara keluarga atau acara yan melibatkan anggota keluarga.
Mereka lebih memilih pergi bersama dengan teman-temannya.
Lebih
memilih bergaul dengan teman dan berusaha memisahkan diri dengan
orangtuanya adalah suatu hal yang biasa terjadi pada usia remaja. JIka
ditambah dengan ketidak siapan orangtua menjadi teman bagi si remaja,
maka semakin jauhlah si remaja dengan orangtuanya. Si remaja sedang
belajar mandiri, belajar memisahkan diri dari orangtua , belajar
menjadi dewasa dengan berusaha melepaskan ketergantungan secara
emosional dengan orangtuanya
JIka ternyata didapati
hubungan orangtua dengan si remaja semakin buruk, apa yang sebaiknya
dilakukan orangtua? Apakah dengan bersikap semakin keras pada anak?
agar anaknya tetap menjadi anak yang penurut dengan perkataan
orangtuanya, tidak membantah orangtuanya. Dengan harapan anaknya tetap
menjadi remaja yang baik, tidak terpengaruh berbagai keburukan. Atau
justru menuruti semua kemauan si remaja agar ia tidak menjauhi
orangtuanya .
Jelas, harapan orangtua adalah yang
terbaik bagi si remaja. Namun, cara yang tidak tepat justru dapat
menjauhkan si remaja dari orangtuanya. Membuat si remaja jadi sangat
membenci orangtuanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, si remaja justru
melakukan pelanggaran susila hanya untuk menunjukkan pemberontakannya
atas sikap orangtuanya yang sangat keras dan selalu memaksakan
kehendaknya dalam mendidik anaknya. Merasa dibatasi untuk berpendapat,
tidak boleh ada bantahan. Kalau kondisinya sudah demikian, maka semakin
beratlah usaha orangtua untuk mendidik si remaja.
Bersikap
sangat permisif pun bukan solusi yang tepat. Sikap permisif hanya akan
mendorong remaja kebingungan, tidak tentu arah, tidak tahu apa yang
terbaik bagi dirinya. Sikap permisif hanya akan membuat remaja kurang
punya perhitungan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab.
Para
orangtua harus menyadari bahwa si remaja bukan anak kecil lagi.
Menjadi remaja adalah saatnya menguji keterampilan hidup (life skill)
mereka.
Remaja juga umumnya lebih moody dibandingkan
masa kanak-kanak. Banyak hal-hal baru yang dirasakan oleh para
orangtua dengan sikap si remaja ini. Kehidupan remaja memaksa para
orangtua untuk memikirkan berbagai hal baru mengenai kehidupan remaja
seperti munculnya kebiasaan pulang larut malam, mulai punya pacar, dan
pergaulan dengan teman-temannya.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa membimbing remaja ibarat menguji batas kesabaran
para orangtua. Remaja sebenarnya masih memiliki sifat kanak-kanak ,
mereka masih tetap butuh orangtua namun seringkali mereka berusaha
menyangkalnya.
Membangun hubungan orangtua dengan remaja kuncinya
adalah mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang sebaiknya
dihindari . Berikut ini adalah beberapa kesalahan yang sering tidak
disadari oleh para orangtua ketika mereka membimbing remaja.
1. Tanpa disadari orangtua sering membuat harapan yang terburuk bagi anak
Banyak
para orangtua yang menganggap membesarkan remaja sebagai cobaan berat ,
mereka merasa tak berdaya ketika anak mereka berubah menjadi pribadi
yang terduga, sulit bahkan seperti monster yang tidak bisa disentuh.
Ada
yang perlu dicermati, orang tua seringkali memberikan pesan dengan
berfokus pada hal negatif . Mereka lebih sering mengungkapkan
larangan-larangan yang harus dijauhkan ketimbang memberi saran untuk
melakukan hal-hal yang positif.
Contohnya : Para orangtua
menganggap bahwa “anak yang baik itu jika tidak melakukan hal-hal
buruk” “ Kamu harus jadi anak yang baik, jauhi narkoba, jauhi pergaulan
dengan orang-orang yang salah, jauhi perilaku seks bebas”. Apa yang
dimaksudkan oleh orangtua benar adanya. Namun, jika hanya mengedepankan
hal-hal negative tanpa ada sedikitpun dorongan yang bersifat positif,
hanya akan menanamkan hal-hal negative tersebut dalam benak si remaja.
Hal
ini bisa menjadi self-fulfilling prophecy. Harapan akan sesuatu yang
negative, justru akan mempromosikan perilaku negative tersebut. Karena
hal-hal negative tersebut yang terus menerus didengar oleh remaja , maka
hal buruk tersebut menjadi tertanam kuat dalam benak si remaja dan
justru mendorongnya mendekati perilaku negatif itu.
Yang
sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah berfokus pada minat dan hobi
remaja. Sekalipun orangtua tidak terlalu memahami bidang yang diminati
anak, tetap lah berusaha memberikan dukungan. Apa yang dilakukan oleh
orangtua akan membuka jalan terjalinnya komunikasi dengan si remaja.
Sekaligus membangun hubungan yang baik dengan si remaja yang
disayanginya. Di satu sisi juga mendorong orangtua ikut belajar
sesuatu yang baru.
2. Orangtua seringkali hanya berfokus pada buku yang dibacanya.
Para
orangtua seringkali lebih mendengarkan saran para ahli dari buku
ketimbang mempercayai naluri mereka dalam membimbing si remaja . Hal
ini bukan berarti membaca buku tentang parenting tidak baik. Ilmu
selamanya akan selalu bermanfaat. Buku akan menjadi masalah ketika
orangtua menggunakannya untuk menggantikan keterampilan bawaan mereka
sendiri.
Sering terjadi, ketika rekomendasi dan gaya
pribadi mereka tidak cocok dengan apa yang mereka baca dalam buku, orang
tua menjadi cemas dan kurang percaya diri.
Langkah
yang terbaik adalah gunakan buku untuk memperoleh perspektif baru
tentang perilaku remaja yang membingungkan dan perlu dicari
referensinya - kemudian simpan bukunya dan yakinkan bahwa Anda telah
mempelajari apa yang Anda butuhkan. Yakinlah bahwa anda lah yang tahu
tentang apa yang paling penting bagi Anda dan si remaja.
3. Orangtua seringkali terlalu berlebihan untuk hal-hal yang kecil
Kadang
orang tua bersikap sangat protektif. Mereka berusaha menghindarkan
remaja dari kepedihan, kekecewaan dan kegagalan, sehingga si remaja
kehilangan kesempatan untuk belajar tentang dunia nyata.
Orangtua
harus bisa melihat gambaran besar dari kehidupan remaja, jika apa yang
dilakukan si remaja masih dalam taraf yang wajar maka beri kelonggaran
pada si remaja untuk membuat keputusan sendiri sesuai dengan usianya
dan biarkan mereka belajar menerima konsekuensi dari pilihannya.
Kecuali
jika orangtua mendapati si remaja cenderung melakukan perbuatan yang
berresiko bagi kesehatan maupun keselamatannya maka selayaknya peran
orangtua untuk mengambil sikap.
Kadang orangtua tidak
suka melihat potongan rambut atau gaya berpakaian anaknya. Atau tidak
suka ketika anaknya tidak dilibatkan dalam suatu pertandingan. Orangtua
banyak ikut campur mengatur penampilan ataupun kegiatan anak. Dalam hal
ini, sebelum orang tua ikut terlibat coba lihat gambaran besarnya.
Apakah yang dilakukan anak sangat membahayakan atau tidak . JIka tidak
membahayakan, berilah kelonggaran pada anak untuk memutuskan sendiri.
Biarkan ia belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri sesuai
dengan tahapan usianya. Hal ini sekaligus menjadi kesempatan bagi anak
untuk belajar menerima konsekuensi dari pilihannya.
"Banyak
orang tua tidak ingin anaknya tumbuh dengan merasakan rasa sakit,
kekecewaan, atau kegagalan" . Padahal sikap melindungi remaja dari
realitas kehidupan, justru menghilangkan kesempatan berharga untuk
belajar mandiri.
4. Orangtua kadang mengabaikan masalah besar
JIka
orang tua menemukan bukti kecurigaan bahwa si remaja mengkonsumsi
alcohol atau obat-obatan maka orang tua harus segera mengamambil
tindakan. Jangan biarkan bukti kecurigaan itu hingga menjadi masalah
yang berat dan sulit teratasi.
Usia 13 – 18 tahun
adalah saat-saat sangat kritis agar para orangtua bisa dekat dengan si
remaja. Remaja masih sangat labil, kondisi emosionalnya sangat
fluktuatif, perlu untuk terus ada orangtua yang hadir ditengah-tengah
kehidupan mereka .
Orangtua harus perhatian, bersikap
tegas dan segera mencari solusi jika melihat perubahan penampilan
remaja yang mencolok dan membahayakan, seperti wajah yang terlihat
kuyu dan terlihat tidak bugar, prestasi akademis yang menurun drastis,
atau juga pergaulan dengan teman dari geng yang tidak baik.
5. Penerapan disiplin yang terlalu berlebihan atau justru terlalu sedikit.
Beberapa
orang tua, merasakan kehilangan kontrol atas perilaku remaja mereka,
sehingga bersikap reaktif setiap kali si remaja melanggar aturan. Ada
juga orangtua yang justru menghindari semua konflik karena takut remaja
mereka kabur.
Para orangtua tidak perlu melakukan salah satu
dari hal di atas. Apa yang dirasakan oleh orangtua adalah berkaitan
dengan bagaimana menemukan keseimbangan antara ketaatan dan kebebasan.
Jika
orangtua terlalu menekankan ketaatan, bisa jadi hal ini membuat
remaja selalu mendapat hukuman. Berapa harga yang harus dibayar dengan
sikap seperti ini ? Remaja yang dibesarkan di lingkungan yang kaku akan
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya dalam memecahkan
masalah atau keterampilan kepemimpinan - karena semua keputusan ada pada
orangtua.
Namun terlalu sedikit disiplin juga tidak
tepat. Remaja membutuhkan kejelasan sikap dan aturan dalam
kehidupannya agar nantinya mereka mampu menjelajahi dunia luar.
Orangtua
harus bisa membuat aturan nilai-nilai inti keluarga dan
mengkomunikasikannya dengan remaja, baik melalui kata-kata maupun
tindakan. Jadilah orangtua yang otoritatif, pendekatan yang membantu
anak-anak mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan dengan cara
yang tepat.
Apa yang dilakukan oleh orang tua terhadap
remaja memiliki pengaruh sangat dalam bahkan melebihi dari apa
yang orangtua pikirkan. Hubungan yang baik antara orangtua dan remaja
membuat remaja ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang
tuanya. Kelekatan yang baik dengan orangtua membuat mereka siap
menghadapi tantangan dunia luar. Ketika orangtua tidak ada didekat
mereka, mereka tetap berpegang pada pondasi yang tertanam kokoh dalam
diri mereka.
Jika orangtua menemukan remaja dalam
masalah , bantulah bagaimana cara menghadapinya terutama masalah yang
membahayakan keselamatan. Diskusikan dengan mereka, berikan solusi yang
membuat mereka nyaman. Jangan bertindak seperti menginterogasi , tapi
buatlah percakapan yang menarik bagi si remaja.
Orangtua
biasanya menganggap bahwa perasaan yang baik itu menyehatkan. Namun
demikian, tidak selamanya remaja hanya tahu perasaan yang baik saja.
Setiap orang perlu tahu bagaimana rasanya perasaan buruk terutama
ketika menyakiti hati orang lain atau melakukan suatu kesalahan. Adanya
rasa bersalah harus bisa dirasakan oleh seorang remaja, Karena bentuk
perasaan seperti itu merupakan emosi yang sehat ketika dia membuat
kesalahan atau menyakiti hati orang lain.
Orangtua
juga perlu menyadari bahwa tindakan nyata lebih bermakna dari pada
hanya sekedar kata-kata. Oleh karena itu remaja perlu melihat contoh
dari orangtuanya mengenai moral yang baik dan juga standar etika sejak
dia masih kecil. Sehingga, disaat ia menginjak remaja , ketika
berhadapan dengan berbgaai situasi , ia mampu menghadapinya karena
punya contoh model yang baik dari orang tuanya.
Referensi:
http://www.webmd.com/parenting